
Subsidi Energi 2019 Naik, Waspada Defisit Migas Tinggi
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
16 August 2018 19:26

Jakarta, CNBC Indonesia- Alokasi subsidi energi di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019 bengkak jadi Rp 156,5 triliun.
Alokasi ini melonjak 65% ketimbang APBN 2018 yang mematok Rp 94,6 triliun. Naiknya subsidi ini tak lain karena asumsi harga minyak yang juga tinggi dari US$ 48 per barel jadi US$ 70 per barel.
Pengamat energi Fabby Tumiwa menyayangkan adanya peningkatan subsidi energi, khususnya untuk bahan bakar minyak (BBM). Ditambah subsidi ini tidak diberikan untuk penggunaan energi terbarukan seperti yang pernah diungkapkan sebelumnya. "Pemerintah perlu klarifikasi tentang subsidi untuk penggunaan energi terbarukan tersebut," ujar Fabby kepada CNBC Indonesia saat dihubungi Kamis (16/8/2018).
Kendati demikian, ia bisa memahami kendala pemerintah dan DPR untuk mengurangi subsidi di tahun politik.
Rincinya, pemerintah meningkatkan alokasi subsidi yang ditujukan untuk dua sektor yakni subsidi BBM-LPG dan subsidi listrik. Untuk subsidi BBM sebesar Rp 100,1 triliun, dengan penyaluran subsidi solar Rp 2000 per liter. Sementara untuk volumenya adalah; solar 14,5 juta KL, minyak tanah 610 ribu KL, LPG 6,9 juta KG.
"Untuk subsidi LPG 3 KG juga cukup besar dan ini terjadi karena Kementerian ESDM tidak berhasil melakukan distribusi LPG 3 KG secara tertutup dan tepat sasaran," tuturnya.
Adapun, dalam subsidi listrik, pemerintah mengalokasi Rp 56,5 triliun untuk subsidi tepat sasaran pelanggan 450 VA dan 900 VA, peningkatan rasio elektrifikasi, peningkatan penggunaan energi terbarukan. Fabby berpendapat, walaupun sudah lebih terarah untuk golongan pelanggan 450VA dan 900 VA, tapi terarahnya belum optimal.
Sementara itu pakar energi dari Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan kucuran subsidi yang besar tanpa adanya kenaikan harga di 2019 bakal berisiko bagi neraca perdagangan dan keuangan negara.
Harga BBM yang tidak naik, kata dia, hanya mendorong peningkatan konsumsi. Sementara harga minyak trennya cenderung naik, ditambah dengan rupiah yang melemah. Ini bakal mengakibatkan impor migas makin tinggi dan defisit menggunung.
"Defisitnya tidak diatasi sungguh-sungguh, ya makin lama akan makin besar pasti, seperti sekarang ini," kata Pri.
Kondisi ini sudah berlarut dan terjadi struktural di sektor migas RI dan tak pernah dibenahi sungguh-sungguh, solusi yang dicari biasanya solusi instan. "Solusi sebenarnya benahi sektor migas secara mendasar, baik di hulu maupun di hilir."
Ia menilai, solusi perbaikan neraca perdagangan migas tidak sekedar dengan mendorong kebijakan seperti gross split, dan untuk sektor hilir, kebijakan harga bbm jangan dipolitisir. Pri Agung berpendapat, solusi-solusi yang ditawarkan sekarang ini, seperti B20, membeli minyak KKKS, itu cenderung reaktif saja.
"Apa tidak ada manfaatnya? Tentu ada, tapi terbatas dan tidak akan cukup menutup defisit neraca perdagangan migas yang ada," tambahnya.
Berdasar data Badan Pusat Stasistik, secara kumulatif, dari periode Januari-Juli 2018, defisit migas sudah mencapai US$6,65 miliar, atau sekitar Rp97,37 triliun menggunakan kurs rupiah saat ini. Nilai itu melambung sekitar 44% dari capaian di periode yang sama tahun lalu sebesar US$4,62 miliar.
Meroketnya defisit migas tidak lain akibat eskpor migas yang hanya tumbuh sebesar 14,26% YoY pada periode Januari-Juli 2018, sedangkan impor migas tumbuh lebih cepat sebesar 24,51% YoY di periode yang sama.
(gus/gus) Next Article Gerindra Sindir Gali Lubang Tutup Lubang Utang Pemerintah
Alokasi ini melonjak 65% ketimbang APBN 2018 yang mematok Rp 94,6 triliun. Naiknya subsidi ini tak lain karena asumsi harga minyak yang juga tinggi dari US$ 48 per barel jadi US$ 70 per barel.
Kendati demikian, ia bisa memahami kendala pemerintah dan DPR untuk mengurangi subsidi di tahun politik.
Rincinya, pemerintah meningkatkan alokasi subsidi yang ditujukan untuk dua sektor yakni subsidi BBM-LPG dan subsidi listrik. Untuk subsidi BBM sebesar Rp 100,1 triliun, dengan penyaluran subsidi solar Rp 2000 per liter. Sementara untuk volumenya adalah; solar 14,5 juta KL, minyak tanah 610 ribu KL, LPG 6,9 juta KG.
"Untuk subsidi LPG 3 KG juga cukup besar dan ini terjadi karena Kementerian ESDM tidak berhasil melakukan distribusi LPG 3 KG secara tertutup dan tepat sasaran," tuturnya.
Adapun, dalam subsidi listrik, pemerintah mengalokasi Rp 56,5 triliun untuk subsidi tepat sasaran pelanggan 450 VA dan 900 VA, peningkatan rasio elektrifikasi, peningkatan penggunaan energi terbarukan. Fabby berpendapat, walaupun sudah lebih terarah untuk golongan pelanggan 450VA dan 900 VA, tapi terarahnya belum optimal.
Sementara itu pakar energi dari Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan kucuran subsidi yang besar tanpa adanya kenaikan harga di 2019 bakal berisiko bagi neraca perdagangan dan keuangan negara.
Harga BBM yang tidak naik, kata dia, hanya mendorong peningkatan konsumsi. Sementara harga minyak trennya cenderung naik, ditambah dengan rupiah yang melemah. Ini bakal mengakibatkan impor migas makin tinggi dan defisit menggunung.
"Defisitnya tidak diatasi sungguh-sungguh, ya makin lama akan makin besar pasti, seperti sekarang ini," kata Pri.
Kondisi ini sudah berlarut dan terjadi struktural di sektor migas RI dan tak pernah dibenahi sungguh-sungguh, solusi yang dicari biasanya solusi instan. "Solusi sebenarnya benahi sektor migas secara mendasar, baik di hulu maupun di hilir."
Ia menilai, solusi perbaikan neraca perdagangan migas tidak sekedar dengan mendorong kebijakan seperti gross split, dan untuk sektor hilir, kebijakan harga bbm jangan dipolitisir. Pri Agung berpendapat, solusi-solusi yang ditawarkan sekarang ini, seperti B20, membeli minyak KKKS, itu cenderung reaktif saja.
"Apa tidak ada manfaatnya? Tentu ada, tapi terbatas dan tidak akan cukup menutup defisit neraca perdagangan migas yang ada," tambahnya.
Berdasar data Badan Pusat Stasistik, secara kumulatif, dari periode Januari-Juli 2018, defisit migas sudah mencapai US$6,65 miliar, atau sekitar Rp97,37 triliun menggunakan kurs rupiah saat ini. Nilai itu melambung sekitar 44% dari capaian di periode yang sama tahun lalu sebesar US$4,62 miliar.
Meroketnya defisit migas tidak lain akibat eskpor migas yang hanya tumbuh sebesar 14,26% YoY pada periode Januari-Juli 2018, sedangkan impor migas tumbuh lebih cepat sebesar 24,51% YoY di periode yang sama.
(gus/gus) Next Article Gerindra Sindir Gali Lubang Tutup Lubang Utang Pemerintah
Most Popular