
Impor Migas Biang Kerok Defisit RI, Bagaimana Solusinya?
Raditya Hanung & Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
16 August 2018 12:47

Jakarta, CNBC Indonesia- Impor minyak dan gas bumi (migas) lagi-lagi jadi biang kerok penyebab defisitnya neraca perdagangan Indonesia yang semakin melebar.
Badan Pusat Statistik mencatat (BPS), nilai impor migas pada Juli 2018 naik 22,2% dibandingkan Juni 2018, menjadi US$ 2,61 miliar atau Rp 38,18 triliun.
Direktur Statistik Distribusi BPS Anggoro Dwitjahyono menjelaskan, defisit migas tentunya masih disebabkan oleh tingginya impor dan kenaikan harga minyak dunia. Ia memaparkan, peningkatan nilai impor migas ini dipicu oleh naiknya nilai impor seluruh komponen migas. "Peningkatan impor migas secara kumulatif masih disebabkan oleh kenaikan harga minyak dan naiknya impor seluruh komponen migas, yaitu minyak mentah, hasil minyak, dan gas," ujar Anggoro kepada CNBC Indonesia saat dihubungi Senin (13/8/2018).
Meski impor migas Juni tergolong tinggi, menurut data BPS angka ini masih lebih rendah ketimbang realisasi Mei lalu yang bertepatan dengan persiapan kebutuhan lebaran dan libur panjang.
Impor migas di bulan Mei masih mencetak rekor sebagai impor tertinggi yang dicatat BPS dalam 13 bulan terakhir, yakni mencapai US$ 2,86 miliar atau Rp 41,8 triliun, sedangkan impor migas pada Juni 2018 tercatat US$ 2,14 miliar.
Sedangkan, dari sisi volume, impor migas pada Juli 2018 tercatat turun 1,63% dibandingkan volume impor migas Juli 2017. Pada Juli 2018, BPS membukukan volume impor migas sebesar 4,09 juta ton atau turun dari periode yang sama tahun lalu yang sebesar 4,17 juta ton. Namun, jika dilihat secara month to month (m-to-m), volume impor migas naik 23,03% dari volume impor migas pada Juni 2018 yang sebesar 3,33 juta ton.
Sebelumnya, dalam rilis statistik ekspor-impor Juli 2018, BPS mencatat bahwa nilai impor pada bulan itu merupakan yang tertinggi sejak 2008. "Impor Juli 2018 terbesar sejak 2008," ungkap Kepala Sub Direktorat Impor BPS Rina Dwi Sulastri di Kantor BPS, Jakarta, Rabu (15/8/2018).
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan defisit pada Juli ini disebabkan oleh defisit sektor migas sebesar US$ 1,19 miliar dan sektor nonmigas defisit US$ 84 juta.
Lantas apa solusi untuk menekan defisit migas yang menjadi-jadi?
Secara jangka panjang, penguatan hilirisasi migas dalam negeri perlu menjadi ujung tombak. Janji Presiden Joko Widodo untuk membangun kilang minyak dalam negeri juga harus terealisasi. Sebagai informasi, pembangunan kilang baru Bontang dan Tuban (Grass Root Refinery/GRR) sudah dimasukkan ke dalam proyek strategis nasional (PSN) di bawah payung hukum Perpres No. 58 tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Tidak hanya itu, di dalam daftar PSN juga direncanakan proyek Revitalisasi 5 Minyak Kilang Eksisting (RDMP). Kilang minyak eksisting yang akan ditingkatkan kapasitasnya, di antaranya Cilacap, Balongan, Dumai, Balikpapan, dan Plaju. Apabila keseluruhan proyek ini berjalan signifikan, maka kapasitas produksi kilang minyak Indonesia pun akan melambung, dan akhirnya meringankan beban impor migas tanah air.
Namun, perlu dicatat, bahwa yang namanya investasi memang butuh waktu. Dampak dari pembangunan atau revitalisasi kilang minyak tidak akan bisa dirasakan dalam jangka pendek. Di saat rupiah makin lemah seperti saat ini, pemerintah perlu solusi bersifat quick-win.
Munculnya kebijakan kewajiban campuran 20% minyak nabati ke dalam Bahan Bakar Minyak (BBM), atau akrab disebut B20, dapat menjadi salah satu strategi yang ampuh. Namun, untuk mendapatkan hasil yang lebih cepat dan signifikan, mau tidak mau pemerintah harus menahan laju impor migas yang semakin deras tersebut. Konsumsi migas nasional harus bisa dibatasi.
Memang, saat konsumsi migas yang merupakan salah satu bahan baku utama industri nasional dibatasi, pada akhirnya pertumbuhan ekonomi yang akan mejadi korban. Namun, hal ini layak untuk dieksekusi, mengingat "lampu kuning" yang menyala untuk depresiasi rupiah yang makin parah serta defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang semakin besar.
(gus) Next Article Migas Penyebab Defisit Neraca Perdagangan, Ini Jawaban Jonan
Badan Pusat Statistik mencatat (BPS), nilai impor migas pada Juli 2018 naik 22,2% dibandingkan Juni 2018, menjadi US$ 2,61 miliar atau Rp 38,18 triliun.
Meski impor migas Juni tergolong tinggi, menurut data BPS angka ini masih lebih rendah ketimbang realisasi Mei lalu yang bertepatan dengan persiapan kebutuhan lebaran dan libur panjang.
Impor migas di bulan Mei masih mencetak rekor sebagai impor tertinggi yang dicatat BPS dalam 13 bulan terakhir, yakni mencapai US$ 2,86 miliar atau Rp 41,8 triliun, sedangkan impor migas pada Juni 2018 tercatat US$ 2,14 miliar.
Sedangkan, dari sisi volume, impor migas pada Juli 2018 tercatat turun 1,63% dibandingkan volume impor migas Juli 2017. Pada Juli 2018, BPS membukukan volume impor migas sebesar 4,09 juta ton atau turun dari periode yang sama tahun lalu yang sebesar 4,17 juta ton. Namun, jika dilihat secara month to month (m-to-m), volume impor migas naik 23,03% dari volume impor migas pada Juni 2018 yang sebesar 3,33 juta ton.
Sebelumnya, dalam rilis statistik ekspor-impor Juli 2018, BPS mencatat bahwa nilai impor pada bulan itu merupakan yang tertinggi sejak 2008. "Impor Juli 2018 terbesar sejak 2008," ungkap Kepala Sub Direktorat Impor BPS Rina Dwi Sulastri di Kantor BPS, Jakarta, Rabu (15/8/2018).
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan defisit pada Juli ini disebabkan oleh defisit sektor migas sebesar US$ 1,19 miliar dan sektor nonmigas defisit US$ 84 juta.
Lantas apa solusi untuk menekan defisit migas yang menjadi-jadi?
Secara jangka panjang, penguatan hilirisasi migas dalam negeri perlu menjadi ujung tombak. Janji Presiden Joko Widodo untuk membangun kilang minyak dalam negeri juga harus terealisasi. Sebagai informasi, pembangunan kilang baru Bontang dan Tuban (Grass Root Refinery/GRR) sudah dimasukkan ke dalam proyek strategis nasional (PSN) di bawah payung hukum Perpres No. 58 tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Tidak hanya itu, di dalam daftar PSN juga direncanakan proyek Revitalisasi 5 Minyak Kilang Eksisting (RDMP). Kilang minyak eksisting yang akan ditingkatkan kapasitasnya, di antaranya Cilacap, Balongan, Dumai, Balikpapan, dan Plaju. Apabila keseluruhan proyek ini berjalan signifikan, maka kapasitas produksi kilang minyak Indonesia pun akan melambung, dan akhirnya meringankan beban impor migas tanah air.
Namun, perlu dicatat, bahwa yang namanya investasi memang butuh waktu. Dampak dari pembangunan atau revitalisasi kilang minyak tidak akan bisa dirasakan dalam jangka pendek. Di saat rupiah makin lemah seperti saat ini, pemerintah perlu solusi bersifat quick-win.
Munculnya kebijakan kewajiban campuran 20% minyak nabati ke dalam Bahan Bakar Minyak (BBM), atau akrab disebut B20, dapat menjadi salah satu strategi yang ampuh. Namun, untuk mendapatkan hasil yang lebih cepat dan signifikan, mau tidak mau pemerintah harus menahan laju impor migas yang semakin deras tersebut. Konsumsi migas nasional harus bisa dibatasi.
Memang, saat konsumsi migas yang merupakan salah satu bahan baku utama industri nasional dibatasi, pada akhirnya pertumbuhan ekonomi yang akan mejadi korban. Namun, hal ini layak untuk dieksekusi, mengingat "lampu kuning" yang menyala untuk depresiasi rupiah yang makin parah serta defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang semakin besar.
(gus) Next Article Migas Penyebab Defisit Neraca Perdagangan, Ini Jawaban Jonan
Most Popular