
Hati-Hati, Defisit Migas RI Sudah Sentuh Rp 97 T
Gustidha Budiartie & Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
16 August 2018 12:14

Jakarta, CNBC Indonesia- Badan Pusat Statistik baru saja mengumumkan neraca dagang RI yang kembali defisit, disebabkan oleh impor migas yang tinggi.
BPS mencatat defisit perdagangan sebesar US$2,03 miliar pada bulan lalu, sebagian besarnya disumbangkan oleh defisit neraca perdagangan migas yang mencapai US$1,19 miliar. Artinya, jebloknya defisit migas menyumbang nyaris 60% dari defisit neraca perdagangan nasional.
Komoditas impor migas yang naik untuk Juli adalah impor minyak mentah senilai US$622,2 juta, hasil minyak US$1,7 miliar, dan impor gas US$284,6 juta.
Secara kumulatif, dari periode Januari-Juli 2018, defisit migas sudah mencapai US$6,65 miliar, atau sekitar Rp97,37 triliun menggunakan kurs rupiah saat ini. Nilai itu melambung sekitar 44% dari capaian di periode yang sama tahun lalu sebesar US$4,62 miliar.
Meroketnya defisit migas tidak lain akibat eskpor migas yang hanya tumbuh sebesar 14,26% YoY pada periode Januari-Juli 2018, sedangkan impor migas tumbuh lebih cepat sebesar 24,51% YoY di periode yang sama.
Sebagai negara penyandang status net importir minyak, ada dua alasan yang mendorong membengkaknya defisit migas di tahun ini. Faktor tersebut adalah naiknya harga minyak dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah.
Rata-rata harga minyak jenis Brent berada di kisaran US$45,17/barel di tahun 2016. Sedangkan, rata-rata harganya di tahun 2017 tercatat sebesar US$54,78/barel, atau terjadi peningkatan sebesar 21,27% YoY. Di sepanjang tahun berjalan ini, harga minyak Brent juga masih tercatat menanjak di kisaran 8,50% hingga perdagangan kemarin.
Hati-Hati Menggerus Anggaran
Kementerian Keuangan merilis realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 per akhir Juli. Belanja non-Kementerian/Lembaga (K/L) hingga 31 Juli 2018 mencapai Rp321,1 triliun, atau meningkat hingga 16,4% secara tahunan (year-on-year/YoY). Realisasi itu juga sudah mencapai 52,9% dari target APBN 2018 yang sebesar Rp607,1 triliun.
Peningkatan itu disumbangkan oleh komponen pembayaran bunga utang dan subsidi yang melonjak masing-masing sebesar 11,9% YoY dan 34,5% YoY. Peningkatan yang cukup signifikan dari pos subsidi disumbangkan oleh melambungnya subsidi energi lebih dari 60% menjadi Rp71 triliun.
Subsidi listrik mencatat kenaikan 49,6% YoY per akhir Juli 2018. Padahal, pada tahun lalu subsidi listrik turun 34% YoY menyusul pencabutan subsidi listrik golongan 900 VA yang masuk dalam kategori mampu di awal 2017.
Kenaikan lebih besar dibukukan oleh subsidi BBM dan Elpiji yang melambung sebesar 71,1% YoY menjadi Rp40,7 triliun. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, subsidi di pos ini hanya naik sebesar 4,9% YoY. Bahkan, pada tahun 2016 (hingga 29 Juli), subsidi BBM dan Elpiji turun sebesar 46,7% YoY.
Sejak awal pemerintahannya, Presiden Joko Widodo sebenarnya sudah berikhtiar memangkas anggaran subsidi energi, demi alokasi yang lebih banyak untuk pos belanja lainnya (terutama untuk pembangunan infrastruktur). Hal itu bisa dilakukan karena harga minyak dunia memang sedang anjlok.
Namun, kini mimpi Jokowi menemui tembok besar yang menghadang. Harga minyak global kembali melesat. Selain tembok besar, Jokowi pun dihadapkan dengan tahun politik di mana harga BBM lagi-lagi dikorbankan.
Alih-alih harga disesuaikan untuk menolong keuangan negara, harga malah ditahan, Tak hanya itu, penahanan harga juga ditujukan untuk BBM non subsidi seperti BBM premium. Alhasil, tak hanya keuangan negara yang kena imbas, tapi juga keuangan BUMN terkait.
(gus) Next Article Ini 5 Faktor Penyebab RI Terus-Terusan Defisit Migas
BPS mencatat defisit perdagangan sebesar US$2,03 miliar pada bulan lalu, sebagian besarnya disumbangkan oleh defisit neraca perdagangan migas yang mencapai US$1,19 miliar. Artinya, jebloknya defisit migas menyumbang nyaris 60% dari defisit neraca perdagangan nasional.
Secara kumulatif, dari periode Januari-Juli 2018, defisit migas sudah mencapai US$6,65 miliar, atau sekitar Rp97,37 triliun menggunakan kurs rupiah saat ini. Nilai itu melambung sekitar 44% dari capaian di periode yang sama tahun lalu sebesar US$4,62 miliar.
Meroketnya defisit migas tidak lain akibat eskpor migas yang hanya tumbuh sebesar 14,26% YoY pada periode Januari-Juli 2018, sedangkan impor migas tumbuh lebih cepat sebesar 24,51% YoY di periode yang sama.
Sebagai negara penyandang status net importir minyak, ada dua alasan yang mendorong membengkaknya defisit migas di tahun ini. Faktor tersebut adalah naiknya harga minyak dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah.
Rata-rata harga minyak jenis Brent berada di kisaran US$45,17/barel di tahun 2016. Sedangkan, rata-rata harganya di tahun 2017 tercatat sebesar US$54,78/barel, atau terjadi peningkatan sebesar 21,27% YoY. Di sepanjang tahun berjalan ini, harga minyak Brent juga masih tercatat menanjak di kisaran 8,50% hingga perdagangan kemarin.
Hati-Hati Menggerus Anggaran
Kementerian Keuangan merilis realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 per akhir Juli. Belanja non-Kementerian/Lembaga (K/L) hingga 31 Juli 2018 mencapai Rp321,1 triliun, atau meningkat hingga 16,4% secara tahunan (year-on-year/YoY). Realisasi itu juga sudah mencapai 52,9% dari target APBN 2018 yang sebesar Rp607,1 triliun.
Peningkatan itu disumbangkan oleh komponen pembayaran bunga utang dan subsidi yang melonjak masing-masing sebesar 11,9% YoY dan 34,5% YoY. Peningkatan yang cukup signifikan dari pos subsidi disumbangkan oleh melambungnya subsidi energi lebih dari 60% menjadi Rp71 triliun.
Subsidi listrik mencatat kenaikan 49,6% YoY per akhir Juli 2018. Padahal, pada tahun lalu subsidi listrik turun 34% YoY menyusul pencabutan subsidi listrik golongan 900 VA yang masuk dalam kategori mampu di awal 2017.
Kenaikan lebih besar dibukukan oleh subsidi BBM dan Elpiji yang melambung sebesar 71,1% YoY menjadi Rp40,7 triliun. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, subsidi di pos ini hanya naik sebesar 4,9% YoY. Bahkan, pada tahun 2016 (hingga 29 Juli), subsidi BBM dan Elpiji turun sebesar 46,7% YoY.
Sejak awal pemerintahannya, Presiden Joko Widodo sebenarnya sudah berikhtiar memangkas anggaran subsidi energi, demi alokasi yang lebih banyak untuk pos belanja lainnya (terutama untuk pembangunan infrastruktur). Hal itu bisa dilakukan karena harga minyak dunia memang sedang anjlok.
Namun, kini mimpi Jokowi menemui tembok besar yang menghadang. Harga minyak global kembali melesat. Selain tembok besar, Jokowi pun dihadapkan dengan tahun politik di mana harga BBM lagi-lagi dikorbankan.
Alih-alih harga disesuaikan untuk menolong keuangan negara, harga malah ditahan, Tak hanya itu, penahanan harga juga ditujukan untuk BBM non subsidi seperti BBM premium. Alhasil, tak hanya keuangan negara yang kena imbas, tapi juga keuangan BUMN terkait.
(gus) Next Article Ini 5 Faktor Penyebab RI Terus-Terusan Defisit Migas
Most Popular