Kisah Sukses Energi Hijau di Balik Gegap Gempita Asian Games

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
10 August 2018 13:03
Tidak Berhenti Menjadi Pemasok Listrik
Foto: Ist ESDM
Dengan terpangkasnya harga jual hingga seperempat tersebut, di atas kertas mestinya proyek PLTS Jakabaring tidak layak untuk dilanjutkan apalagi dengan durasi kontrak jual beli listrik (power purchase agreement/ PPA) yang hanya selama 20 tahun.

“Dalam perhitungan kami, internal rate of return (IRR) Jakabaring sebenarnya masih negatif,” tutur Arief, menolak menjelaskan secara lebih detil mengenai besaran IRR negatif tersebut. IRR adalah perhitungan hasil investasi yang akan menjadi present value dari aliran kas masuk (cash inflow).


Perhitungan Margin PLTS Jakabaring
Biaya Investasi Rp 26 miliar
Kapasitas terpasang2 MW
Produksi listrik1,6 MW-1,8 MW
Produksi sehari 6 MWhour-8 MWhour
Biaya pemeliharaanRp 30 juta per bulan/ Rp 360 juta per tahun
Harga jual listrikRp 899/kWh
Kontrak20 tahun
Sumber: PDPDE Sumsel, diolah

Dengan asumsi produksi listrik maksimum sebesar 8.000 kWh per hari, dan harga jual Rp 899/kWh, maka PLTS Jakabaring meraup pemasukan Rp 7,19 juta dalam sehari. Karenanya di atas kertas PDPDE meraup Rp 2,63 miliar per tahun dari PLTS tersebut.

Namun perlu dicatat, produksi solar panel terpangkas pada musim hujan dan berawan, sehingga produksi listrik pun terdiskon rata-rata 40% yang jika ditranslasikan dalam bentuk pendapatan maka nilainya setara dengan Rp 1,05 miliar. Jika dikurangi biaya pemeliharaan rata-rata Rp 360 juta/tahun, maka margin yang dihasilkan sebesar Rp 690 juta/tahun.

Jika dikali dengan periode kontrak 20 tahun, maka PLTS Jakabaring meraup Rp 13,8 miliar dalam 2 dekade atau nyaris separuh dari biaya investasi Rp 26 miliar. Dengan lata lain, PLTS Jakabaring belum bisa mencapai titik impas (payback periode) pada masa kontrak pertama dan perlu dua kali masa kontrak untuk bisa membukukan keuntungan bersih investasi.

Perhitungan ini bahkan belum memasukkan net present value (nilai kekinian dari sebuah investasi berdasarkan selisih pemasukan dan pengeluaran dengan memasukkan faktor diskon dan opportunity cost of capital).

Artinya, perlu tambahan kontrak baru dari PLN untuk membuat investasi ini bisa menutup modal awal yang dikeluarkan. Jika anda adalah investor Jakabaring dan saat ini berusia 35 tahun, maka anda kemungkinan besar sudah meninggal sebelum sempat mendapatkan uang anda balik dan menikmati keuntungan bersih dari investasi di sini.

Kondisi ini terjadi karena Permen 50/2017 mengharuskan demikian. Permen yang banyak “dimusuhi” pelaku usaha EBT ini memang tidak memberikan pemanis bagi pengembangan EBT di tengah tingginya biaya produksi listrik EBT dibandingkan dengan bahan bakar fosil.


Biaya Pembangkitan Listrik Dunia (US$ sen/kWH)
Jenis PembangkitRerata (2016)
Bahan Bakar Fosil 5 – 17
Panel Surya/Solar PV13,1
Panas Matahari24,2
Biomassa8,1
Panas Bumi6,4
Hidro 5,1
Angin (Onshore)5,6
Catatan: * = Sesuai Permen ESDM 50/2017. Untuk biaya paling rendah digunakan biaya nasional. Pada kenyataannya, apabila BPP lokal lebih rendah dari BPP nasional, maka digunakan harga negosiasi antara PLN dan Independent Power Producer/IPP            
** = Data tidak tersedia. Menggunakan rata-rata global.


Di Indonesia, mengutip data PT Pembangkit Listrik Negara (PLN), harga jual pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara bahkan bisa mencapai Rp 650/kWh. Jika anda adalah bos PLN—yang saat ini menanggung utang yang tak sedikit-,  anda tentu lebih memilih membeli listrik dari PLTU, ketimbang dari energi terbarukan yang masih lebih mahal di kisaran Rp 1.100/kWh.

Untuk menemukan titik temu di antara dua kondisi itu (ekspektasi harga jual listrik murah di pihak PLN versus harga jual tinggi dari sisi pengembang EBT), maka Permen 50/2017 muncul menjadi jamu pahit yang menyehatkan industri EBT, dan bukannya menjadi gula-gula.

Harga jual listrik yang “sedang-sedang saja” itu membuat pengembang EBT harus memutar otak agar tetap bisa mengembangkan energi bersih dengan tanpa berakhir pailit. Inilah yang kemudian dilakukan PDPDE Sumsel agar bisa menjalankan bisnisnya dalam jangka panjang.

Mereka harus memutar otak dengan tidak bergantung pada penjualan listrik saja untuk mengoperasikan bisnisnya, melainkan harus menjual “nilai tambah” dari PLTS yang dibangunnya tersebut.

“Kami akan membuka training center di Jakabaring dan menjadikannya sebagai obyek wisata sehingga ada pendapatan berulang di luar PLTS. Jakabaring akan menjadi green ecotourism sport center yang pertama di Indonesia,” ungkap Arief.

Dia mengakui saat ini pendapatan berulang (recurring income) dari pemasukan tourism dan sport center itu masih kecil, hanya berkisar 5%-10% dari total pendapatan perseroan per tahun. “Ke depannya, semoga bisa lebih baik dari itu,” ujar Arief. (ags/dob)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular