
Wah, Pemakaian AC Bikin Konsumsi Listrik Dunia Meroket
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
16 July 2018 15:11

Jakarta, CNBC Indonesia- Badan Energi Internasional (International Energy Agency/IEA) mencatat penggunaan pendingin ruangan (Air Conditioner/AC) ternyata memicu permintaan listrik dunia yang semakin tinggi.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol kepada media saat dijumpai di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (16/7/2018).
Lebih lanjut, Fatih memaparkan, saat ini, 90% rumah tangga di AS & Jepang memiliki pendingin udara dibandingkan 32% di negara berkembang di Asia, atau sekitar 10% rumah tangga di Indonesia atau kurang dari 30% di Thailand.
Penggunaan pendingin udara menjadi yang paling cepat berkembang di gedung-gedung saat ini. IEA mencatat, penggunaannya telah meningkat tiga kali lipat sejak 1990. Di Tiongkok, permintaan listrik meningkat menjadi 70 kali lipat sejak 1990.
"Ini adalah jalur yang akan diikuti oleh banyak negara berkembang di tahun-tahun mendatang, termasuk dalam hal ini Indonesia," tutur Fatih.
Selain itu, Fatih mengungkapkan, dalam laporan yang baru-baru ini dirilis tentang Future of Cooling, IEA mendapati permintaan energi untuk pendingin ruangan secara global dapat meningkat tiga kali lipat di 2050. Ini setara dengan kebutuhan kapasitas listrik untuk menyalakan Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang.
"Di ASEAN, kami memperkirakan mesin pendinginan bisa tumbuh sampai 35% di 2050," kata Fatih.
'Titik buta' yang kritis ini, lanjut Fatih, akan menjadi salah satu pendorong utama permintaan listrik global selama tiga dekade ke depan.
Kenaikan permintaan pendingin akan sangat penting di wilayah terpanas di dunia, seperti Asia Tenggara, dan akan memiliki implikasi besar untuk jumlah investasi sektor listrik yang diperlukan dari waktu ke waktu.
Tetapi, tambahnya, pendingin udara hemat energi dapat mengurangi separuh pertumbuhan listrik, memotong kebutuhan kapasitas daya tambahan sebesar 1.300 GW secara global, setara dengan semua pembangkit listrik berbahan bakar batubara di Tiongkok dan India hari ini.
"Di ASEAN, 35% pertumbuhan permintaan listrik yang dihasilkan oleh pendingin udara dapat dikurangi setengahnya jika kebijakan diterapkan untuk mendukung penyebaran AC berefisiensi tinggi, yang akan membuat perbedaan besar pada kebutuhan investasi sektor tenaga listrik, dan emisi gas rumah kaca," pungkas Fatih.
(gus) Next Article Bahas Migas, Jonan Bertemu dengan Badan Energi Internasional
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol kepada media saat dijumpai di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (16/7/2018).
Penggunaan pendingin udara menjadi yang paling cepat berkembang di gedung-gedung saat ini. IEA mencatat, penggunaannya telah meningkat tiga kali lipat sejak 1990. Di Tiongkok, permintaan listrik meningkat menjadi 70 kali lipat sejak 1990.
"Ini adalah jalur yang akan diikuti oleh banyak negara berkembang di tahun-tahun mendatang, termasuk dalam hal ini Indonesia," tutur Fatih.
Selain itu, Fatih mengungkapkan, dalam laporan yang baru-baru ini dirilis tentang Future of Cooling, IEA mendapati permintaan energi untuk pendingin ruangan secara global dapat meningkat tiga kali lipat di 2050. Ini setara dengan kebutuhan kapasitas listrik untuk menyalakan Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang.
"Di ASEAN, kami memperkirakan mesin pendinginan bisa tumbuh sampai 35% di 2050," kata Fatih.
'Titik buta' yang kritis ini, lanjut Fatih, akan menjadi salah satu pendorong utama permintaan listrik global selama tiga dekade ke depan.
Kenaikan permintaan pendingin akan sangat penting di wilayah terpanas di dunia, seperti Asia Tenggara, dan akan memiliki implikasi besar untuk jumlah investasi sektor listrik yang diperlukan dari waktu ke waktu.
Tetapi, tambahnya, pendingin udara hemat energi dapat mengurangi separuh pertumbuhan listrik, memotong kebutuhan kapasitas daya tambahan sebesar 1.300 GW secara global, setara dengan semua pembangkit listrik berbahan bakar batubara di Tiongkok dan India hari ini.
"Di ASEAN, 35% pertumbuhan permintaan listrik yang dihasilkan oleh pendingin udara dapat dikurangi setengahnya jika kebijakan diterapkan untuk mendukung penyebaran AC berefisiensi tinggi, yang akan membuat perbedaan besar pada kebutuhan investasi sektor tenaga listrik, dan emisi gas rumah kaca," pungkas Fatih.
(gus) Next Article Bahas Migas, Jonan Bertemu dengan Badan Energi Internasional
Most Popular