Trump Ancam Perang Dagang, RI Siapkan Rencana Ini

Rivi Satrianegara, CNBC Indonesia
10 July 2018 08:37
Pemerintah sudah kirim tim ke AS untuk melakukan lobi pada pemerintah AS.
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah menyiapkan sejumlah langkah untuk antisipasi ancaman Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk menerapkan tarif bea masuk atas 124 produk Indonesia.

Rapat terbatas yang berlangsung secara tertutup yang dilaksanakan di Istana Bogor kemarin (9/7/2018) dengan salah satu agenda membahas ancaman perang dagang AS. Presiden Joko Widodo memimpin langsung rapat yang dihadiri sejumlah menteri dan kepala lembaga itu.

Dalam rapat yang bertajuk Strategi dan Kebijakan Menghadapi Dampak Ketidakpastian Perekonomian Global tersebut, pemerintah memastikan akan melakukan komunikasi lebih lanjut dengan AS.

Satu hal yang dipegang oleh Indonesia adalah keyakinan untuk meredam ancaman AS agar tak benar-benar terjadi.

"Kami tidak melihat itu ancaman yang besar, karena kami akan terus melanjutkan komunikasi dengan AS," kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto usai ratas, di Istana Bogor, Senin (9/7/2018).

Airlangga menjelaskan, langkah-langkah terkait ancaman pengenaan tarif atas 124 produk Indonesia akan melibatkan Bank Indonesia serta Otoritas Jasa Keuangan. Evaluasi atas generalized system of preference (GSP), semacam kebijakan perdagangan yang memberi pemotongan bea masuk impor, dinilai Airlangga sebagal hal biasa.

"Semua negara yang punya GSP di-review, tapi Indonesia jadi salah satu negara yang dilakukan review tahun ini," kata Airlangga.

Sebelumnya, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan akan ada tim yang berangkat ke AS untuk melakukan pembahasan terkait penerapan tarif tersebut.

Dia belum dapat memastikan kapan tim tersebut berangkat, namun dia sebut sekitar akhir Juli. "Kita akan kirimkan tim ke Amerika untuk negosiasi supaya fasilitas GSP kita tetap dipertahankan," kata Oke.

Oke mengakui, saat ini Indonesia memang penyumbang defisit neraca perdagangan AS urutan ke-16. Akan tetapi, sejatinya hal itu tak lantas bisa dijadikan alasan pencabutan GSP.

"Semua negara menyatakan bahwa [penerapan tarif karena menyebabkan defisit] itu melanggar ketentuan WTO (World Trade Organization). Iya, kami melihatnya itu. Tapi kan gak peduli dia, NAFTA keluar, ini keluar, kan kesepakatan-kesepakatannya itu, seperti itu lah," terang Oke.

Dalam kesempatan sama, Ketua Tim Ahli Wakil Presiden RI Sofjan Wanandi, mengatakan AS tidak main-main dalam menyeimbangkan neraca perdagangan dengan sejumlah negara.


Menurut dia, Indonesia tetap harus bersiap atas keputusan apa yang akan diambil Trump. Walau begitu, dia yakin pencabutan fasilitas GSP tak akan terjadi atas seluruh 124 produk asal Indonesia. Sebab, di antara produk-produk itu ada yang memang dibutuhkan oleh AS.

"Saya tidak percaya semua dicabut, beberapa dia perlu juga," ujar Sofjan.

Sofjan menyebut, ancaman pencabutan fasilitas GPS berpotensi menggerus US$ 1,7-1,8 miliar per tahun, atau sekitar Rp 25,2 triliun (kurs Rp 14.000/US$) dari perdagangan antara Indonesia dan AS.

Jumlah total ekspor Indonesia ke AS, disampaikan Sofjan berkisar US$ 20 miliar per tahun. Jika GPS dicabut atas 124 produk Indonesia, jumlahnya akan berkurang sejumlah potensi kehilangan tersebut.


Atas kondisi yang ada, Sofjan menegaskan pula langkah untuk melakukan tindakan balasan atau retaliasi belum menjadi salah satu opsi. "Kalau itu [retaliasi] terlalu kecillah, kita tidak ada retaliasi. Itu [tinjauan AS] sebenanrnya dilakukan tiap dua tahun sekali, kita evaluasi juga. Cuma ini dia minta kita serius untuk selesaikan," tuturnya.

Membahas tentang alasan ancaman pencabutan GPS, Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Edy Putra Irawadi mengatakan ada beberapa alasan di balik ancaman AS.

Menurut dia, Pemerintah AS mungkin merasa Indonesia seperti partner in crime atau negara-negara yang selama ini terindikasi bersekongkol dengan negara lain untuk mensiasati aturan-aturan perdagangan di Negeri Paman Sam itu.

"Kita dicurigai melakukan circumvention [tipu-tipu]. Misalnya, negara X mau ekspor ke AS tapi dia terhambat karena tarif atau kasus. Dia transhipment, dia tukar kapal, dan mendapatkan certificate of origin. Seolah-olah dia pergi, tapi buat Indonesia," katanya.


"Atau, investasi dia berubah. Dia bikin investasi di sini hanya untuk sekedar nge-pack saja, baru dikirim ke sana. Kita pikir ini industri yang dibuat oleh Indonesia. Jadi kita digunakan, makanya kita dianggap partner in crime," katanya.

Namun, Edy menegaskan, slogan 'partner in crime' dalam sistem perdagangan global juga digunakan oleh seluruh negara, tak terkecuali pemerintah AS. Hal ini yang menjadi tanda tanya dari keputusan Trump mengevaluasi produk eskpor Indonesia.



(roy) Next Article Diam-diam RI Siapkan Simulasi Perang Dagang dengan Trump

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular