Special Interview

Perang Dagang, dan Anggapan RI 'Partner in Crime' AS

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
09 July 2018 19:43
Pemerintah Amerika Serikat (AS) saat ini tengah mengevaluasi sekitar 124 produk ekspor Indonesia
Foto: CNBC Indonesia/Chandra Gian Asmara
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Amerika Serikat (AS) saat ini tengah mengevaluasi sekitar 124 produk ekspor Indonesia, untuk menentukan produk apa saja yang masih layak menerima generalize system of preference (GSP).

Ada beberapa alasan yang menyebabkan pemerintah AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump melakukan evaluasi tersebut. Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Edy Putra Irawadi menyampaikan beberapa faktor dan akibat yang ditimbulkan dari cara AS ini.

Berikut petikan wawancara Edy Putra Irawadi saat berbincang dengan Reporter CNBC Indonesia, Chandra Gian Asmara di ruang kerjanya, Senin (9/7/2018).

AS saat ini tengah mengevaluasi 124 produk ekspor Indonesia yang mendapatkan fasilitas GSP. Bagaimana dampaknya ke Indonesia?

Pasti dampaknya besar. Saya tidak tahu posisinya, dahulu waktu saya di Amerika itu kerjaan saya. Sekarang yang saya tahu persis itu tekstil kita ada dalam GSP itu adalah olahan rotan, kerajinan batik. Kemudian sepatu, furniture. Apalagi? udang, perikanan masuk. GSP ini adalah preferensi yang diberikan negara maju terhadap negara berkembang supaya dia bisa bersaing dengan negara maju di negara itu. Kalau misalnya negara itu, katakanlah Indonesia itu sudah kaya, sudah mempunyai penghasilan GDP US$ 10.000 per tahun, maka ndak usah lagi ikut GSP. Kemudian, kalau produk itu harus memenuhi limit atau batas dari kompetitif, dia dikeluarkan dari GSP. Tapi itu dipakai jadi senjata juga oleh mereka. Kalau ada masalah dalam chart label, saya keluarin. Itu senjata AS.

Nah, pengalaman saya di sana, selalu kita dituduh seperti partner in crime. Partner in crime ini adalah negara-negara yang dicurigai melakukan circumvention (tipu). Circumvention pertama adalah misalnya negara X, dia mau ekspor ke Eropa atau Amerika tapi terhambat tarif maupun karena kasus. Dia transhipment di sini (Indonesia). Ini dia tukar kapal. Kemudian dia minta COO (certificate of origin) atau kartu penduduk. Jadi mereka seolah-olah pergi ke Eropa, tapi ini buat Indonesia.

Atau dia investasi berubah di sini. Sama seperti kasus mesin tik Brother. Dia kena anti dumping disana, dia rubah di sini, buka investasi (di Indonesia) hanya sekedar ngepack saja. Kita pikir ini industri, kita kasih bahwa ini dibuat di Indonesia itu masuk. Artinya memang betul ini circumvention. Artinya ada suatu ketidakjujuran negara asal kita digunakan maka kita dianggap partner in crime. Karena GSP ini lebih longgar. Kalau dia kena anti dumping, dia circumventionnya tidak bisa karena tidak ada peraturan dia. Jadi dia menggunakan GSP.

Kita itu sering dikenain loh. Dulu yang saya apal, itu kita dituduh partner in crime kasus udang. Kemudian korek api, madu, kita pernah dianggap partner in crime. Itu bukan barang buatan Indonesia. Yang saya ingat lagi elektronik itu. Sebenarnya, nature ekspor itu memang barang-barang begitu. Memang ekspor kita ke AS yang masuk ke GSP memang begitu. Ikan, tekstil, barang-barang konsumsilah. Artinya itu masih ada di dalam list yang Amerika butuh. Kalau yang lain dia ngga butuh, dia ngga akan masuk GSP. Nah sekarang kalau kita dianggap partner in crime, dikeluarin. Itu hak dia, ngga bisa.

Perang Dagang, dan Anggapan RI 'Partner in Crime' ASFoto: CNBC Indonesia/Chandra Gian Asmara


Meskipun kita kasih argumentasi untuk meyakinkan mereka?

Dulu di AS itu pernah kami kasih argumen, dan dia bisa terima.

Anda tadi mengatakan, bahwa pernah mengurusi hal ini ketika berada di AS. Boleh dijelaskan, evaluasi yang dilakukan pemerintah AS seperti apa?

Evaluasi ini mulai April - Oktober. Setiap tahun ini. Tapi evaluasi ada dua. Ada positif da negatif. Negatif itu dikeluarkan, kalau produk kita sudah memiliki daya saing, sudah terpenuhi, dia keluarkan nanti akan diumumkan Oktober.

Tapi ada isu lain. Ada gak produk baru yang masuk GSP? Biasanya alasannya itu produk Indonesia asli. Kedua dampak ekonomi terhadap masyarakat sekitar itu besar. Kemudian data ekonomi terhadap kemajuan Indonesia untuk meningkatkan ekonominya besar. Dulu saya sering isi daftar itu. Saya pernah berhasil menghasilkan VCR. Itu diterima. Apalagi produk Indonesia, itu pasti masuk.

Initnya kan sekarang segerombolan GSP. Ini masa-masa review. Kalau circumvention, AS tidak ada undang-undangnya. Tapi dia punya isu lain. Dia ada isu special 301 sama section 301. Kalau special 301 itu dia bisa membatasi impor dari negara tersebut, untuk produk apa, apabila kita melanggar pelanggaran HAKI produk AS.

Kalau section 301, kalau kita melakukan suatu hambatan impor dari AS, dia akan langsung bisa balas tidak lewat WTO. Section 301 namanya. Dia ada tiga. Super 301, section 301 dan special 301. Kalau super 301, kalau produk ekspor dia diganggu oleh negara ketiga, dia bisa retaliasi kita langsung. Sama WTO itu diharamkan karena sudah cross border.

Apakah ini menjadi alasan WTO tidak mengambil sikap?

Mungkin juga. Nah sekarang ini, dia pegang. Dia elus-elus. Nanti dia akan circumvention lagi, baik itu dalam pola investasi atau pola transhipment. Ini sudah lama terjadi. Eropa mereka udah tau kelakukan China terutama masuk ke daerah rawan. AS juga sudah tau.

Nah sekarang AS sudah tau, mereka bilang "Indonesia, Anda jangan cari pelarian". Kita itu korban, karena kita kena port shopping. Jadi ketika produk kulit China dibantai, kapal dia mengalih masuk ke Surabaya. Kita merasa itu murah, habislah industri kita. Kemudian, kemungkinan dia nge-dumping. Barang sudah kelaur dari negara dia, ditutup pasarnya. Dilempar saja barangnya. Masuklah ke Indonesia.

Jadi apa saja yang akan dilakukan menyikapi ancaman ini?

Saya sudah bilang ke pak Menko (Darmin Nasution), waktu saya dipanggil, saya cuman bilang. Perang ini itu indisipliner terhadap WTO dan perjanjian internasional. Saya harus mengatakan, ini highly concern. Kenapa WTO membiarkan ada indisipliner? Harusnya kita tidak boleh ada perang di perdagangan bebas. Ini satu.

Kedua, kegiatan port shopping harus kita jaga bener. Jadi dia lahirnya dimana, tapi masuk kemana-mana tidak bisa. Dia berlayar ke Malaysia tapi ketat kalau baja. Pindah lagi ke Thailand, dia ketat. Masuklah ke Indonesia. Ini namanya port shopping. Dia mantau kemana-mana, dia melakukan shopping ke setiap pelabuhan. Tanjung Priok ketat, mungkin dia buang ke Semarang. Itu yang diwaspadai, dulu kita kejar melalui INSW. Kemudian, circumvention tadi. Artinya dia datang untuk satu distributor untuk mendapatkan KTP Indonesia baik melalui pola transhipment atau pola transit.

Ketiga, kita harus mewaspadai produk kita yang mendapatkan preferensi. GSP. Kita harus jaga bener, dan harus ada pertemuannnya dan kita katakan kita tidak ada partner in crime karena kita ada INSW. Kita awasi secara sistem. Karena sudah ada SKA online. Kalau dulu pejabat yang minta SKA dia tinggal duduk saja di meja. Sekarang dengan sistem tidak bisa. Kita harus approve dengan Amerika. Kami punya sistem namanya SKA online, ada INSW yang mengetahui pola transhipment dan transit. Artinya kita tau barang-barang yang masuk itu seperti apa.

Apakah alasan-alasan tersebut membuat Indonesia dianggap partner in crime?

Dulu itu pak Arwen itu protes. Kalau GSP itu itungannya ekonomi saja. Kalau kita sudah kompetitif, boleh kami dikeluarkan. Artinya Indonesia tidak memiliki GSP lagi. Tapi AS menambahkan yang non ekonomi. Kalau kita menggunakan labour anak-anak, melakukan penggunaan IPR, kalau kita environment, dia berhak. Tidak usahlah Indonesia dikasih lagi (GSP). Tidak eligible, karena dia partner in crime.

Tapi bukan hanya Amerika. AS juga harus kita waspadai. Kenapa? Sekarang ini kita pernah alami. AS yang dia ekspor dan dia impor kesana itu umumnya investasi di China. Apapun itu. Oreo baju. Kita pernah kasus itu Oreo. Jadi soal partner in crime bukan hanya kita. Ini urusan dagang semua. Dia inves sana, kalau ke Indonesia dari China mutunya dikurang-kurangi. KIta tangkap disini. Itu harus diwaspadai. Jadi masalah trade mal practise ini bukan perilaku negara berkembang, tapi juga negara maju. Namanya dagang.

Jadi aku males ikut-ikutan, sudah diluar jalur.

Pemerintah mulai mengambil sikap atas dinamika ekonomi global, terutama ancaman perang dagang. Fokus pembahasan yang saat ini dilakukan pemerintah itu seperti apa?

Kita memang mau tidak mau harus breakthrough ekspor. Saya bilang ka pak Darmin, 'pak kita itu harus kejam sama ekspor' kenapa? Kalau ada yang ganggu, ibaratnya minggir. Sekarang kebanyakan ekspor terhambat karena masalah peretelan. Diganggu.

Masalah peretelan seperti apa yang dimaksud?

Perusahaan mebel datang, mereka dapat order, tiba-tiba kainnya harus pakai kuota impor. Menggunakan izin. Kemudian mebelnya ada kayu, ini harus pakai SPLK. Nah AS, 'mana order saya? belum izin belum keluar'. Diputusin sama AS.

Apakah ini menjadi salah satu faktor ekspor kita kurang bergairah?

Iyalah. Prinsipnya ekspor itu harus bebas tata niaga, jangan diganggu. Seperti paket PP 82. kalau perlu ekspor kita kasih duit. Tapi kan gak mungkin lagi. Kita cari lagi. Prinsipnya, kalau kita impor itu utang. Kalau ekspor red clause, bisa dicairkan dulu. Ini salah satu cara upaya ekspor. Kedua, carilah barang ekspor baru. Selama ini kita mengandalkan ekspor barang Tuhan. Dikasih Tuhan batubara kita jual. Dikasih Tuhan timah kita jual. Dikasih Tuhan ikan kita jual. Ini sudah rumit. Yang bisa bersaing itu high fashion, selain itu tidak ada lagi.

Sekarang ekspor kita paling besar itu dari Sumatera dan Kalimantan. Sumber lainnya dari Timur? Tidak pernah dilihat. Kita kan besar itu mineral di NTT. Tapi tidak pernah terolahkan dengan baik. Sehingga yang mau diekspor itu apa? Kita ada daya saing itu furniture, sepatu tapi sudah diganyang lagi sama Vietnam. Sekarang kita ada kelebihan di sana, tapi kita tidak fokus ke sana. Kita ada kelebihan di high fashion, jas, baju pengantin, kita ada kelebihan disitu ada baju muslim. Vietnam kalah, tapi kita tidak mendorong itu.

Saya pernah jalan ke Taipei, ada supermarket. Di dalam situ khusus Indonesia, halal dia. Itu isinya Indonesia semua, tapi produknya saya tidak pernah lihat di Jakarta. Produk banyuwangi, kecap cap bulan buatan Palembang. Rokok saja aneh-aneh. Saya tanya kenapa bisa masuk? Dia bilang saya ambil langsung dari desa.

Maksud saya, orang desa ini mampu go international. Diberikanlah kemudahan, kasih insentif jangan dikasih gede-gede. Taipei itu ada jaringan pasar di dunia. Jadi barang kita dijual lagi ke negara lain. Penduduk desa senang, makanya mereka ada perwakilan orang Taipei itu.

Makanya kita perlu cari sumber ekspor baru, bukan hanya pasar baru saja tapi sumber ekspor baru. Ini salah satu kebijakannya.

Jadi arahnya akan menghapus peretelan itu?

Sebenarnya ini sudah waktu pak Menko umumkan post border. Pak Menko sudah bicara, bahwa tata niaga akan dikecualikan. Satu super mudah bagi UKM. Kedua adalah dikecualikan untuk ekspor. Sekarang Bea Cukai baru bisa AEO. Ada tandanya. Jadi memang harusnya ekspor itu dilepas saja.

Bahkan kredit dimurahin, asuransi dibayarin, bunga diturunin. Harus pandai-pandai kita. Indonesia itu 263 juta, menarik. Cuma males akhirnya. Nanti akan dibuat lagi next kepastian tanah karena tidak ada one map policy.

Perang Dagang, dan Anggapan RI 'Partner in Crime' ASFoto: CNBC Indonesia/Chandra Gian Asmara


Arahnya akan kembali menghapus sejumlah kewenangan K/L?

Bahasa saya dengan pak Darmin ini begini. Ada yang salah dalam sistem hukum kita. Menurut saya, ada yang salah. Kenapa? Terlalu banyak menebar kewenangan, dengan tanggung jawab yang minim.

Sekarang mau bagaimana? Kalau tidak, tidak bisa berbuat kita. Mau ngapain? 5% terus, penduduk naik terus, mulut bertambah nasi yang mau dikasih makan gitu-gitu saja. Tidak ada jalan lagi, harus ada terobosan.

Kemudian apa lagi?

Sekarang ini dewa-dewa itu lagi ribut perang dagang, itu urusan perang dagang. Memang harus ada sebuah paket terobosan. Kalau pemerintah ini senjatanya cuma tiga. Fiskal, artinya either spending atau tax. Kemudian monetery policy. Ketiga, regulasi ada di sini koordinasinya. Jadi kita akan benahi tiga ini. Ini senjata kita.

Saya baru usul ke pak Darmin, sudah dibahas. Jadi ada 3, urusi produk development. Kita ini tidak ada barang baru. Kalau impor variatif. Kalau ekspor seumur hidup itu aja yang dijual. Kemudian market development. Ini sudah jaman IT. Jadi tidak hanya diverfisikasi pasar dan diversifikasi produk, tapi juga cara penjualan. Ketiga ada institusional. Nah ini banyak, seperti peraturan dan solusi.


(dru) Next Article PPATK dan Fenomena Tumpukan Uang Tunai Hingga Triliunan

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular