Internasional

Perang Dagang AS-China Bisa Rugikan Negara-negara Asia

Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
06 July 2018 13:40
Perang Dagang AS-China Bisa Rugikan Negara-negara Asia
Foto: Infografis, Arie Pratama
Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian negara-negara Asia, seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Asia Tenggara, akan terdampak parah jika ketegangan perdagangan antara AS dan China terus memanas, para ahli memperingatkan.

AS pada hari Jumat (6/7/2018) menjadi yang pertama menerapkan tarif pada barang-barang China senilai US$34 miliar (Rp 489,6 triliun) dari 818 kategori produk. China telah berjanji untuk memberlakukan tarif pembalasan dengan nilai yang sama terhadap produk AS.

Perang tarif bisa terus berlanjut karena Presiden Donald Trump mengatakan dia akan mempertimbangkan untuk menerapkan tarif tambahan pada US$500 miliar barang-barang China jika China membalas kebijakan dagang terbarunya itu.

Taiwan, Korea Selatan, dan negara-negara Asia Tenggara, seperti Singapura dan Malaysia, adalah beberapa negara yang paling bergantung pada ekspor, yang membuat mereka sangat rentan ketika perdagangan global terancam.


"Mengingat keterbukaan perdagangan dan eksposur ke rantai pasokan, tidak akan ada jeda apapun untuk Malaysia, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan dalam skenario risiko berbuntut panjang ini," kata Taimur Baig, kepala ekonom DBS Bank Singapura.

Ia memperkirakan pertumbuhan Singapura dapat turun 0,8% akibat "perang dagang habis-habisan," yang didefinisikan sebagai penerapan tarif sebesar 15-25% pada semua produk yang diperdagangkan antara dua ekonomi terbesar di dunia. Negara-kota di Asia Tenggara diperkirakan akan tumbuh 3% tahun ini, dilansir dari CNBC International.

Taiwan dan Malaysia diperkirakan tumbuh masing-masing 2,8% dan 5% tahun ini, turun 0,6%, tambah Baig. Sementara itu menurut ekonom, Korea Selatan bisa meleset lebih rendah 0,4% dari perkiraan pertumbuhan sebesar 2,9% pada tahun 2017.

Kedua negara utama yang terlibat perang dagang, China dan AS, dapat mengalami penurunan 0,25% dari prospek pertumbuhan mereka tahun ini, menurut perkiraan Baig.
Banyak negara Asia mengekspor 'barang setengah jadi' ke China, yang kemudian merakit potongan-potongan itu menjadi produk jadi untuk dikirim ke negara yang menjadi tujuan akhir seperti AS, kata Gareth Leather, ekonom senior Asia di Capital Economics.

Contoh 'barang setengah jadi' termasuk chip semikonduktor dan layar. Komponen-komponen tersebut biasanya diproduksi di lokasi berbeda di Asia sebelum dikirim ke China untuk dirakit menjadi produk, seperti telepon seluler dan komputer.

Putaran pertama tarif yang diterapkan pada hari Jumat tidak menargetkan "barang yang umumnya dibeli oleh konsumen Amerika seperti telepon seluler atau televisi," menurut Kantor Perwakilan Perdagangan AS. Tetapi jika tarif tersebut dan tarif berikutnya mengakibatkan penurunan ekspor China ke AS, akan ada efek yang buruk bagi negara-negara lain di Asia, tulis analis J.P. Morgan dalam sebuah catatan.

"Berdasarkan sifatnya, produk tersebut sangat bergantung pada rantai pasokan yang terintegrasi secara ketat. Untuk itu, hal ini akan menyebarkan setiap kejutan perdagangan ke kawasan itu," kata analis JPMorgan.

Ancaman tersebut hadir pada saat pasar negara berkembang, termasuk pasar di Asia, telah ditekan lebih dulu oleh arus modal keluar dan pelemahan mata uang mereka dalam prosesnya.


Pada akhir hari Kamis, dolar Taiwan turun sekitar 2,9% sejak awal tahun menjadi 30,524 per dolar AS, sementara won Korea melemah 4,9% menjadi 1.118,33 per dolar AS pada periode yang sama.

Di Asia Tenggara, mata uang Singapura turun 2% year-to-date pada hari Kamis ke 1,3645 per dolar AS, sementara ringgit Malaysia turun lebih rendah 0,07% menjadi 4,041 per dolar AS selama periode yang sama.

Tetapi sampai semua barang yang ditargetkan diketahui, sulit untuk mengukur dampak yang sebenarnya yang dapat diterima oleh ekonomi Asia, kata para ahli. Bahkan, kerusakan juga bisa lebih kecil dari yang diperkirakan karena China adalah pemasok dominan banyak barang yang dijualnya ke AS, kata Leather.

"Konsumen AS akan berjuang untuk menemukan pengganti yang cukup untuk mengganti barang-barang yang saat ini mereka beli dari China, setidaknya dalam jangka pendek. Terlebih lagi, negara-negara lain dapat melangkah menggantikannya, eksportir Asia sejatinya memiliki peluang untuk mendapatkan keuntungan dari setiap pergeseran permintaan AS," katanya.

"Sampai kita tahu persis barang mana yang menjadi target, tidak mungkin menghitung dampaknya di seluruh Asia," tambahnya.

Hari Kamis (5/7/2018), Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Sofjan Wanandi mengungkapkan Trump akan mencabut sejumlah perlakukan khusus yang saat ini diberikan ke Indonesia.

"Trump sudah kasih warning ke kita karena kita surplus, beberapa special treatment yang dia beri ke kita mau dia cabut, terutama untuk tekstil," katanya.

Sepanjang 2017, Indonesia menikmati surplus US$9,59 miliar atau sekitar Rp 134 triliun (kurs Rp 14.000).

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Hubungan Internasional, Shinta Kamdani, mengatakan AS tengah mengevaluasi produk-produk Indonesia yang mendapat kemudahan di negara tersebut.

"GSP [generalized system of preference] kita sedang di-review dan ada sekitar 124 produk dan sektor yang saat ini sedang dalam review, termasuk di dalamnya kayu plywood, cotton, macam-macam."


Simak fakta dan data perang dagang AS-China di sini: Rangkaian Kejadian Penyebab Perang Dagang AS-China
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular