Internasional

Bank Pemerintah Bermasalah, Swasta Ketiban Pulung

Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
04 July 2018 16:10
Bank Pemerintah Bermasalah, Swasta Ketiban Pulung
Foto: Getty Images/CNBC International
Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis sektor perbankan India telah menyebabkan sebagian besar bank milik negara lumpuh dengan segunung kredit macet, investigasi penggelapan (fraud) dan pengerem pertumbuhan bisnis pun jadi pilihan.

Di tengah badai yang sedang menghadang, bank-bank swasta muncul sebagai pemenang.

Lembaga keuangan milik pemerintah menguasai sekitar 70% aset-aset perbankan di India, tetapi mereka sedang menghadapi masalah potensi kredit macet yang mencapai US$150 miliar (Rp 2.152 triliun). Sebenarnya, 21 bank milik negara telah menekan pinjaman sekitar 8,26 triliun rupee (Rp 1.729 triliun) hingga 31 Desember 2018.

Sementara itu, bank-bank swasta dikabarkan memiliki kredit macet hanya sekitar 1,1 triliun rupee, seperti dilaporkan Reuters dan dilansir CNBC International, Rabu (3/7/2018).

Bank swasta lebih kompetitif

Para pakar yakin bahwa selama bertahun-tahun bank-bank swasta kemungkinan akan memperoleh lebih banyak pangsa pasar daripada bank milik negara karena neraca keuangan mereka lebih kuat. Mereka juga tidak terlalu banyak menyalurkan pinjaman kepada sektor yang bermasalah, memiliki kepemimpinan yang lebih kuat dan mereka juga lebih kompetitif.

"Saat ini pangsa pasar bank swasta 30%, jika Anda mengambil sudut pandang 10 tahun mendatang kemungkinan bisa menjadi 60%," ujar Sukumar Rajah selaku Senior Managing Director di Franklin Templeton Emerging Markets Equity kepada CNBC International. Alhasil, "Kesehatan keseluruhan sistem perbankan akan membaik karena bank yang lebih bagus akan mengambil porsi lebih besar di pasaran dan bank yang lebih lemah porsinya akan kecil di pasaran."

Bank pemerintah sudah kehilangan pangsa pasar, khususnya 11 bank yang ditempatkan dalam kerangka kerja rencana aksi (PCA) oleh bank sentral India, Reserve Bank of India, menurut Sanjeev Prasad selaku Co-Head di Kotak Institutional Equities.

Kerangka kerja itu digunakan bank sentral untuk menilai risiko-risiko yang berkaitan dengan modal, kualitas aset dan profitabilitas. Ketika sebuah bank ditempatkan ke dalam PCA, kemampuannya untuk memberi pinjaman pun terbatas. Di atas itu, berbagai laporan menunjukkan bahwa bank swasta kemungkinan berjuang untuk mempertahankan pangsa pasar deposito mereka.

Namun, pertanyaan yang layak diangkat adalah apakah bank swasta India memiliki simpanan yang cukup memenuhi persyaratan pendanaan di salah satu negara dengan perekonomian utama yang tumbuh paling cepat di dunia, kata Prasad. Bank-bank swasta telah memperluas pinjaman mereka dalam beberapa tahun terakhir dan banyak dari mereka yang sudah menjalankannya dengan "rasio kredit terhadap simpanan (LDR) yang sangat tinggi," katanya.

LDR biasanya digunakan untuk mengukur likuiditas suatu bank dengan membandingkan total pinjaman dengan total dana pihak ketiga (DPK) atau simpanan nasabah di bank. Jika rasionya terlalu tinggi, berarti bank menyalurkan DPK dalam jumlah besar menjadi kredit. Hal itu bisa menunjukkan potensi masalah likuiditas ketika kondisi sedang menurun.

India perlu mencari cara untuk memindahkan simpanan dari bank negara ke bank swasta, tambah Prasad. Tetap saja, ada berbagai alternatif cara-cara pendanaan yang tersedia untuk memenuhi permintaan pendanaan dari perusahaan maupun individu.

"Pandangan saya adalah, secara bertahap, banyak pendanaan jangka panjang dari perusahaan India juga bisa dipenuhi dari pasar obligasi korporasi yang berkembang cukup baik," katanya. "Diantara pasar obligasi korporasi dan bank swasta, menurut saya sebagian besar persyaratannya bisa dipenuhi sepanjang perusahaan India memperhatikannya."

Tentang pinjaman langsung ke individu, Prasad berkata sebagian besar dilakukan oleh bank swasta dan perusahaan keuangan non-bank.

Selama bertahun-tahun, bank milik negara mendanai proyek-proyek di berbagai sektor seperti baja, daya dan infrastruktur yang bukanlah terbaik di kelasnya. Kemudian mereka menjadi aset bermasalah ketika roda bisnis berputar, kata Rajah dari Franklin Templeton.

Namun tidak seperti di masa lalu, pemerintah India saat ini tidak terlalu berkenan untuk menyelamatkan bank bermasalah hanya dengan melakukan rekapitalisasi terhadap mereka. Justru, pemerintah mendorong perubahan struktural yang lebih besar.

"Pemerintahan ini bersama dengan [Reserve Bank of India] telah mengambil sikap yang lebih keras dengan mengatakan 'Anda tahu ini adalah isu struktural, kita tidak bisa terus-terusan menyelamatkan bank-bank ini'. Terlalu banyak menghabiskan uang publik," kata Rajah. 

Dia menjelaskan bahwa pemerintah tidak akan memperbolehkan bank negara untuk gagal (default), tetapi pemerintah tidak akan menjamin profitabilitas bank.

Tetap saja di bulan Januari, pemerintah mengatakan akan menggelontorkan hampir US$14 miliar ke 10 bank negara di bulan Maret sebagai ganti dari reformasi yang mereka implementasi. Itu adalah bagian dari upaya lebih luas yang diumumkan Oktober lalu, di mana pemerintah berkata akan menyuntikkan sekitar US$33 miliar ke bank negara selama dua tahun.

Mengikuti pengumuman itu, Reserve Bank of India memperketat pedoman bagi bank-bank untuk menyelesaikan aset macet di bulan Februari. Dengan peraturan baru, bank-bank tidak akan bisa menggunakan skema restrukturisasi pinjaman untuk menunda pengakuan utang macet. Alhasil, profitabilitas bank terdampak karena harus menyerap kredit macet dengan membentuk pencadangan (provision). Pencadangan dilakukan sebagai antisipasi jika pinjaman tak tertagih dan tak dibayarkan.

Bank negara juga terganggu oleh penipuan. Misalnya, bank negara terbesar kedua di India bernama Punjab National Bank mengatakan karyawan-karyawan nakal melakukan penipuan besar-besaran senilai US$2 miliar selama beberapa tahun.

Tantangan sebenarnya

Para pakar sepakat bahwa deklarasi aset bermasalah oleh bank akan muncul selama beberapa kuartal ke depan. Namun, ada berbagai tantangan ke depan seraya bank mulai memulihkan kredit macet. Awal tahun ini, Tata Steel membeli Bushan Steel yang bangkrut seharga 352 miliar rupee, nilainya dikabarkan hampir dua-pertiga utang yang perusahaan pinjam.

"Sejauh ini, nampaknya itu akan berlanjut," kata Prasad. "Tantangan sebenarnya akan muncul pinjaman perusahaan listik dan usaha lebih kecil (usaha kecil menengah/UKM)."

Dia menjelaskan tidak mungkin perusahaan listrik bermasalah akan mendapatkan pembeli yang sesuai karena sektor itu masih memiliki masalah di sekitar distribusi. Perusahaan lebih kecil akan menghadapi masalah sama dan hanya pembeli yang berkenan yang kemungkinan akan menjadi pemilik bisnis-bisnis ini, tambahnya.

Tahun lalu, India mengubah undang-undang kepailitan dan kebangkrutan, mencegah orang yang tidak beralasan membeli semua aset bermasalah mereka dengan harga diskon.

"Masalahnya adalah, jika mereka tidak mengubah undang-undang yang saat ini melarang promotor [pimpinan perusahaan] bertaruh untuk asetnya, kemudian banyak perusahaan-perusahaan kecil yang harus terlikuidasi," kata Prasad. Dia menambahkan bahwa hal tersebut akan memiliki dampak sosio-ekonomi terkait dengan kehilangan pekerjaan.

"Pemerintah harus memikirkan berbagai isu," tambahnya. "Mereka harus memperoleh keseimbangan tertentu, terkait mungkin memperbolehkan perusahaan lebih kecil atau promotor juga bertaruh untuk aset yang sama."



Pengakuan dan resolusi cepat atas aset bermasalah akan memperkuat bank-bank India selama beberapa tahun ke depan, menurut Geeta Chugh selaku Senior Director di S&P.

"Sebelum undang-undang kebangkrutan yang baru, tingkat pemulihan di India rendah yaitu sekitar 26% dan butuh waktu lebih dari empat tahun untuk pulih," katanya ke CNBC. Dia merujuk pada bagian utang default dan bunga yang bisa bank peroleh kembali ketika peminjam pailit.

Dia menambahkan pemulihan sektor berbasis aset keras seperti baja akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan di industri teknik, pengadaan dan konstruksi.

Harsh Modi selaku Co-Head Asia ex Japan Bank Equity Research di J.P. Morgan menjelaskan bahwa bagian sistem perbankan yang fokus pada ritel kemungkinan akan terus bekerja dengan baik karena penetrasi kredit di rumah tangga India masih sangat rendah dan ekonomi yang tumbuh akan menciptakan "angin buritan struktural untuk bisnis-bisnis ritel".

Namun bisnis pinjaman korporasi, yang berurusan dengan kredit macet, akan lebih didorong, kata Modi kepada CNBC International. Dia menjelaskan banyak aset macet yang sudah disahkan, tetapi resolusi akan memakan waktu. Perlu waktu antara 12-18 bulan untuk membersihkan sektor perbankan India secara menyeluruh, tambahnya.

Modi juga menjelaskan bahwa undang-undang kebangkrutan India yang baru menghapuskan subyektivitas di proses resolusi. 
"Itu sudah cukup institusional dan obyektif. Itulah alasan mengapa kita sangat berharap bahwa [...] saat dirampungkan, kita bisa bergerak ke fase pertumbuhan berikutnya," katanya.
(roy) Next Article Tak Hanya RI, Bank Global Juga Disapu Tsunami PHK

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular