Internasional

Jangan Berharap Banyak pada Rencana Pertemuan Trump-Putin

Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
27 June 2018 11:59
Pertemuan itu direncanakan berlangsung di negara ketiga bulan depan meski kedua negara sama-sama tidak berharap banyak.
Foto: REUTERS/Yuri Kadobnov/Pool
Jakarta, CNBC Indonesia - Gedung Putih dan Kremlin sedang melakukan persiapan lanjutan untuk pertemuan puncak antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Persiapan itu direncanakan berlangsung di negara ketiga bulan depan meski kedua negara sama-sama tidak berharap banyak.

John Bolton, penasihat keamanan nasional Trump yang keras, akan menyempurnakan agenda pertemuan yang direncanakan dalam pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dan kemudian dengan Putin sendiri di Moskow pada hari Rabu (27/6/2018).

Menurut seorang pejabat senior Rusia, pertemuan akan diadakan setelah kunjungan Trump ke Inggris pada 13 Juli. Berbeda dengan perkiraan sebelumnya bahwa para pemimpin mungkin akan bertemu di Austria, ternyata kedua belah pihak telah mencapai kesepakatan awal untuk memilih negara tuan rumah lain yang secara logistik lebih nyaman, kata pejabat itu.

Meskipun pertemuan puncak dengan Trump akan menjadi prestasi bagi Putin karena Rusia telah mengupayakan pertemuan seperti itu selama 18 bulan, namun Kremlin hampir tidak berhasil.

"Dengan Trump, lebih baik untuk terus berhati-hati. Bertemu saja sudah berarti kemajuan, sehingga bila keduanya mencapai kesepakatan, meski hanya satu, maka itu akan berarti kemenangan," kata pejabat senior Rusia, Financial Times melaporkan dan dikutip CNBC International.

"Tidak ada gunanya memaksa orang untuk berbicara satu sama lain ketika yang mereka lakukan hanyalah menggonggong. Jika kedua pihak merasa butuh [untuk berbicara], maka itulah kemajuan."

Tapi di Moskow dan Washington, harapan akan tercapainya terobosan dalam hubungan itu rendah.

Hubungan bilateral, yang hancur setelah aneksasi Crimea oleh Moskow dan meingkatnya konflik di timur Ukraina, telah semakin buruk ketika Washington mengeluarkan sanksi terberatnya terhadap Rusia di April atas kegiatan yang disebut Moskow sebagai 'kegiatan memfitnah di seluruh dunia', termasuk di Ukrania dan Suriah, ruang cyber, dan upaya untuk 'mengembangkan demokrasi barat'.

Investigasi AS yang dipimpin oleh Robert Mueller, mantan kepala FBI, sedang menilai apakah tim kampanye Trump bersekongkol dengan Rusia untuk membantu memenangkan pemilihannya, sebuah upaya yang dicemooh oleh sang presiden sebagai 'perburuan penyihir' (witch-hunt) .

Para pejabat AS meragukan presiden dapat melakukan tawar-menawar penting dengan Rusia, tetapi beberapa mendukung prospek upaya untuk meredakan ketegangan yang mungkin datang dari dua pemimpin jika bertemu.

"Trump secara konsisten telah menarik serangannya dan sangat, sangat enggan mengritik Putin," kata Andrew Weiss, mantan direktur Rusia di Dewan Keamanan Nasional. "Agenda ini saya pikir adalah untuk membuat percikan besar dan bukannya untuk mendorong bagian-bagian terpisah dari agenda Rusia-AS ke depannya."


Penilaian itu mencerminkan harapan Kremlin. "Saya tidak berpikir kita bisa mencapai kesepakatan yang akan menjadi terobosan, itu lebih seperti ajang pamer," kata pejabat senior Rusia.

Para pejabat Kremlin mengharapkan kedua pemimpin untuk membahas Ukraina, Suriah, Korea Utara dan pengawasan senjata, namun mereka percaya bahwa tidak mungkin untuk menuntaskan kesepakatan minimum di bidang-bidang ini yang dapat dilewatkan sebagai sebuah keberhasilan.

Para pejabat Rusia mengatakan kedua pihak lebih mungkin untuk mengejar kesepakatan kerjasama dalam hal yang kurang berat, 'sekunder', yang kemudian dapat digunakan sebagai alasan untuk secara bertahap mencoba meyakinkan mereka untuk kembali terhubung.

Namun para ahli kebijakan luar negeri Rusia dan AS telah memperingatkan terkikisnya kepercayaan dan penurunan arsitektur pengendalian senjata telah mendorong hubungan antara dua kekuatan nuklir dunia itu mungkin lebih berbahaya daripada di masa Uni Soviet.

"Potensi krisis militer antara Rusia dan Amerika Serikat saat ini sedang dibayangi oleh segala sesuatu yang terjadi, seperti masa depan kesepakatan Iran dan negosiasi Korea Utara," kata Andrei Baklitsky, seorang ahli senjata nuklir di PIR Center yang berbasis di Moskow. "Tapi itu masih sangat nyata dan itu sangat menakutkan."

Seorang ahli perlucutan senjata di kementerian luar negeri Rusia mengatakan pengawasan senjata pantas menjadi 'agenda teratas' di pertemuan itu.

Tetapi pejabat Kremlin yakin tidak ada kemungkinan topik ini akan menghasilkan kesepakatan politik.

"Kita sedang berada di jalur ke bawah," kata pejabat senior. itu "Kita akan membutuhkan terlalu banyak kepercayaan... dan kami tidak memiliki sedikitpun kepercayaan itu."
(prm) Next Article Bertemu Putin, Trump Tak Kejar Rusia Soal Intervensi Pilpres

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular