Internasional

Pasca Trump-Kim Bertemu, Universitas Pyongyang Ingin Bangkit

Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
19 June 2018 19:43
Pasca Trump-Kim Bertemu, Universitas Pyongyang Ingin Bangkit
Foto: Yu-Taik Chon/Handout via REUTERS
Seoul, CNBC Indonesia - Ketika satu-satunya universitas swasta di Korea Utara (Korut) melakukan upacara penyambutan tahun ajaran baru di bulan Maret, Direktur universitas yang notabene seorang warga negara Amerika Serikat (AS) tidak berada di sana. Dia terhalang larangan perjalanan dari Washington ke negara itu.

Kini, ketika Amerika Serikat (AS) dan Korut kembali membangun relasi setelah lama bermusuhan, Yu-Taik Chon selaku Direktur Pyongyang University of Science and Technology (PUST) berharap dia bisa segera kembali ke kampusnya di ibukota Korut.

Pembebasan dua karyawan PUST dan satu warga negara AS yang ditahan oleh pemerintah Korut bantu membuka pintu untuk pertemuan bersejarah antara Pemimpin Korut Kim Jong Un dan Presiden AS Donald Trump pekan lalu.

Kedua pemimpin itu sepakat untuk bekerjasama menuju denuklirisasi seutuhnya di Semenanjung Korea, seraya Washington berkomitmen untuk memberikan jaminan keamanan bagi musuh lamanya itu, serta menghentikan latihan militer utama dengan Korea Selatan (Korsel) yang membuat Korut kesal.

Chon mengajukan izin ke Kementerian Luar Negeri AS lagi supaya bisa kembali ke Pyongyang setelah pembebasan dua karyawan PUST. Kedua warga keturunan Korea-Amerika itu ditahan karena tuduhan melakukan "tindakan perseteruan" yang tidak ditentukan.

"Tahanan-tahanan itu semua bebas. Tidak ada alasan lagi untuk menghalangi saya," kata Chon kepada Reuters dalam sebuah wawancara di Seoul.

"Ketakutan terhadap segala bentuk perang hilang dan relasi kedua negara sekarang sangat berubah dari sebelumnya."

Meskipun penahanan karyawan PUST tidak ada hubungannya dengan pekerjaan Chon di universitas, insiden itu menarik perhatian yang tidak diinginkan, katanya.

"Orang-orang berpikir sekolah kami adalah tempat berbahaya."

Universitas itu kembali dihantam oleh larangan perjalanan di bulan September 2017 yang berdampak pada karyawan-karyawan kewarganegaraan Amerika berjumlah setengah dari 75 profesornya tidak bisa kembali mengajar.

PUST didirikan dan didanai oleh Kristen evangelis, meskipun Korut menjadi rezim atheis ketat di mana proselitisasi atau penyebaran agama adalah ilegal. Pejabat universitas itu mengatakan karyawan Kristen dilarang berkhotbah.

Tetap saja, salah satu narasumber dari negara Barat yang bekerja di Pyongyang mengatakan universitas itu terikat dengan komunitas evangelis internasional yang membuat Korut curiga dan terkadang membatasi hal-hal yang dilakukan sekolah itu.

Meskipun begitu, universitas itu mengajar keturunan elit Korut. Sekitar 550 siswa mempelajari subyek yang berkisar dari kapitalisme sampai kedokteran gigi, semuanya diajarkan dengan Bahasa Inggris oleh sebuah fakultas internasional.

Dengan pelarangan warga negara Amerika, PUST merekrut sekitar 50 profesor yang sebagian besar berasal dari Eropa dan China, kata Chon. Seorang profesor teknik listrik berkewarganegaraan Kanada mengadakan kuliah daring di waktu yang sama lewat Skype dengan murid-murid di Pyongyang.

Chon baru-baru ini mengadakan rapat dengan universitas-universitas Korsel, termasuk Chonnam National University yang siap mengirimkan profesor untuk mengajar di PUST ketika relasi kedua negara Korea menghangat, kata Chon dan pihak universitas.

Nam Sung-wook yang menjabat sebagai seorang profesor kajian Korea Utara di Korea University mengatakan para mahasiswa PUST adalah cendekiawan-cendekiawan terbaik, tetapi juga sangat mendukung rezim secara ideologi untuk meminimalisir risiko dipengaruhi gagasan-gagasan Barat.

"Karena akan menjadi masalah jika mereka dengan mudah mengubah cara berpikir ideloginya," kata Nam.

Lulusan universitas itu bisa ditempatkan untuk menjembatani jurang antara Pyongyang dan Washington jika negara terisolasi ini membuka diri ke dunia luar, kata para pejabat sekolah.

"Ada 520 sarjana dan sekarang 550 mahasiwa. Total ada lebih dari 1.000," kata Chon. "Mereka mengerti kami dan memiliki wawasan global, orang-orang yang bisa berbicara ke investor asing dan bernegosiasi dengan mereka."

Sebagai warga negara Amerika berusia 77 tahun yang lahir di Pyongyang, Chon menghabiskan 30 tahun masa hidupnya di industri perminyakan. Dia bekerja untuk berbagai perusahaan seperti Gulf Oil Corp dan BP sebelum mengajar teknik listrik di China dan Korut.

Setiap anggota fakultas termasuk Chon bekerja secara gratis, dan banyak pemimpin sekolah adalah evangelis Korea-Amerika, termasuk Chon sendiri.



Chon, yang berkata dia terinspirasi membantu Korut setelah kelaparan yang menyedihkan di pertengahan 1990-an, mengatakan kehidupan sehari-hari di sekolah menggarisbawahi perubahan belakangan ini.

Sempat bergantung para perekonomian yang terencana secara sentral bergaya Soviet, Korut sekarang adalah rumah bagi sistem pasar semi legal tetapi diawasi yang berkembang dan dikenal dengan sebutan 'jangmadang'. Pasar itu menjadi tempat bagi perorangan maupun tengkulak untuk melakukan jual-beli barang produksi sendiri maupun impor.

Sekarang, tiga kali dalam seminggu karyawan PUST akan berbelanja bahan makanan di pasar besar bernama Tongil Market untuk memberi makan mahasiswa dan karyawannya.

Pasar itu memiliki lantai atas yang menjadi tempat beberapa kantor dan tempat penukaran mata uang di mana Chon, katanya, menukarkan dolar AS dengan mata uang Korut.

"Menurut saya negara ini sudah jauh berubah dari tahun ke tahun. Masyarakat lebih tertarik dengan negara asing dan lebih rileks ketika berhadapan dengan kami," kata Chon.

Meskipun terdapat sanksi, harga makanan dan bahan bakar mayoritas tetap stabil di bawah kepemimpinan Kim Jong Un karena dia membuat pasar tetap terbuka, kata para pakar.

Mahasiswa PUST mendapatkan akses langka ke internet dan memiliki kesempatan belajar di luar negeri.

"Kami menghadapi masa sulit, dengan sanksi dan semuanya. Namun, sekarang saya pikir kita bisa melakukan hal-hal yang awalnya ingin kami raih, seperti berkontribusi untuk menciptakan perdamaian," kata Chon sambil tertawa.

Setiap tahun, sekolah itu memberi kredit US$10 (Rp 141.500) ke kartu para mahasiswa supaya mereka bisa membeli barang-barang seperti buku catatan atau botol minum di sebuah toko di dalam sekolah.

Para mahasiswa bahkan mendapatkan kiriman pizza dari luar sekolah untuk pesta ulang tahun, kata Chon.

"Kehidupan di sini adalah misteri untuk seluruh dunia, tapi mahasiswa dan kehidupan kami di sekolah tidak jauh berbeda dari yang lainnya," kata Chon.



Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular