
Agus Marto dan Tuduhan Tak Pro Pertumbuhan Ekonomi
Arys Aditya, CNBC Indonesia
18 May 2018 09:21

Jakarta, CNBC Indonesia - Usai mengumumkan kenaikan suku bunga acuan menjadi 4,5%, Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo mengundang wartawan untuk duduk makan buka puasa semeja.
Dalam kesempatan itu, Agus yang akan genap menjabat selama 5 tahun dan bakal lengser sebagai gubernur bank sentral pada 24 Mei 2018 itu sempat mengemukakan, "Saya sedih. Sering saya sedih. Tapi tidak perlu diperlihatkan. Kesedihan harus disimpan dong."
Agus mengutarakan hal itu ketika secara usil ditanya oleh seorang jurnalis mengenai suka duka selama menjadi pejabat publik. Sebelum menjadi gubernur Bank Indonesia, Agus adalah menteri keuangan pada 2011-2013.
Agus membeberkan menjadi gubernur bank sentral memang sedikit agak mudah ketimbang jadi bendahara negara. Ketika kala itu 'digeser' oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi calon gubernur BI, Agus sempat bertubi-tubi diserang oleh para politisi karena dinilai kurang akomodatif terhadap koalisi pemerintah.
"Ketika [dua pangeran Inggris] Harry dan William melihat [ibunya] Lady Diana meninggal, mereka tetap kuat. Tidak memperlihatkan kesedihan kan. Nah itu," ungkapnya sambil mengulang, "Ya saya bisa sedih, senang atau terharu juga."
Di era kepemimpinannya, Agus Marto sering disebut sebagai gubernur BI yang hawkish alias pro terhadap rezim suku bunga acuan tinggi. Agus kerapkali dibandingkan dengan pendahulunya, Darmin Nasution yang kini menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian, yang disebut sebagai dovish karena rajin menurunkan suku bunga.
Dengan stigma ini, maka Agus distigma tidak pro sektor riil. Padahal yang sering dilupakan, Agus menjabat sebagai gubernur BI tepat di era yang dikenal sebagai taper tantrum--salah satu periode ekonomi global paling rumit dalam dekade ini. Fenomena yang sialnya, berbarengan dengan rebalancing ekonomi China sehingga melipatgandakan efeknya secara berlipat.
Di meja makan yang sebenarnya lebih banyak menghadirkan kenangan ketimbang makanan itu, bankir tulen ini menceritakan bagaimana dia yang baru seumur jagung memimpin BI harus mengatasi situasi itu.
Pembalikan arus modal asing yang menyebabkan depresiasi nilai tukar rupiah diiringi oleh pencabutan subsidi BBM, dua situasi yang sama-sama mendorong inflasi melaju lesat.
Sebagai gambaran, inflasi yang meroket akan membawa dampak yang tidak kalah mengerikan, berupa nilai tukar rupiah makin anjlok, harga barang menjadi tidak terjangkau dan dalam beberapa bulan akan menghantam pertumbuhan ekonomi dari dua sisi: daya beli masyarakat yang terlanjur longsor dan aktivitas industrial terhenti karena perbankan akan memperketat penyaluran kredit baik secara psikologis maupun melalui kenaikan instrumen suku bunga kredit.
"Itu situasi yang sulit. Sangat tidak mudah. Rapat bermalam-malam. Sulit," kata Agus menggambarkan suasana saat itu.
Hasil dari rapat bermalam-malam itu tertuang dari kebijakan ekstrem bank sentral, yakni meningkatkan suku bunga 175 basis poin, dari 5,75% menjadi 7,5%, dalam rentang 8 bulan. Sebuah preseden yang belum pernah terjadi sejak instrumen suku bunga kebijakan diperkenalkan.
Hal ini, seperti yang pernah ditulis oleh mantan Presiden The Federal Reverse, bank sentral Amerika Serikat, Alan Greenspan.
"Setiap kali the Fed menaikkan suku bunga, the Fed bisa mengguncang pasar. Risiko dari kenaikan secara tiba-tiba bisa memecahkan gelembung keyakinan investor, dan jika itu cukup membuat orang-orang ketakitan, maka bisa memicu kontraksi ekonomi yang parah," tutur Greenspan dalam Age of Turbulence.
Maka, menancaplah stigma 'Agus Marto yang hawkish'.
Meski demikian, dengan kombinasi dan kolaborasi dengan Menteri Keuangan Chatib Basri yang mengelola fiskal sepanjang 2013-2014, Indonesia mampu melewati badai tersebut.
Agus juga dikenal sebagai gubernur BI yang begitu getol memperjuangkan independensi bank sentral sampai-sampai sering dituduh menghambat lahirnya Otoritas Jasa Keuangan pada 2014.
Sampai kemudian, datang Joko Widodo, seorang tukang mebel dari Solo yang dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia pada Oktober 2014 dan langsung membuang jauh-jauh 'duri dalam daging' pengelolaan ekonomi makro dengan mencabut subsidi BBM sebulan sejak dilantik.
Kini, setelah sejak era taper tantrum perlahan memudar dan Indonesia bisa menggali keuntungan dari rezim suku bunga rendah selama tiga tahun belakangan, the Fed kembali mengguncang dunia--khususnya, dunia negara berkembang.
Kenaikan suku bunga acuan fed fund rate yang telah dimulai secara bertahap sejak tahun lalu yang memantik kenaikan imbal hasil surat utang AS, memicu gelombang pembalikan arus modal ke Paman Sam yang membuat dolar AS menguat terhadap mayoritas mata uang negara lain.
Sekali lagi, hal ini membuktikan kebenaran diktum John Connally, menteri keuangan era Presiden AS Richard Nixon. "The dollar is our currency, but it's your problem."
Dan sekali lagi, Agus Martowardojo yang menjalankan rapat dewan gubernur (RDG) terakhirnya pada Mei 2018--sebelum digantikan Perry Warjiyo pada 24 Mei 2018--harus menaikkan suku bunga acuan 7-days repo rate menjadi 4,5% dan kembali dikenang sebagai hawkish yang tidak pro pertumbuhan ekonomi.
Akhirnya, selamat jalan Pak Agus! Selamat tinggal rezim suku bunga rendah.
(roy) Next Article BI Buka Kantor Perwakilan di Beijing
Dalam kesempatan itu, Agus yang akan genap menjabat selama 5 tahun dan bakal lengser sebagai gubernur bank sentral pada 24 Mei 2018 itu sempat mengemukakan, "Saya sedih. Sering saya sedih. Tapi tidak perlu diperlihatkan. Kesedihan harus disimpan dong."
Agus mengutarakan hal itu ketika secara usil ditanya oleh seorang jurnalis mengenai suka duka selama menjadi pejabat publik. Sebelum menjadi gubernur Bank Indonesia, Agus adalah menteri keuangan pada 2011-2013.
Di era kepemimpinannya, Agus Marto sering disebut sebagai gubernur BI yang hawkish alias pro terhadap rezim suku bunga acuan tinggi. Agus kerapkali dibandingkan dengan pendahulunya, Darmin Nasution yang kini menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian, yang disebut sebagai dovish karena rajin menurunkan suku bunga.
Dengan stigma ini, maka Agus distigma tidak pro sektor riil. Padahal yang sering dilupakan, Agus menjabat sebagai gubernur BI tepat di era yang dikenal sebagai taper tantrum--salah satu periode ekonomi global paling rumit dalam dekade ini. Fenomena yang sialnya, berbarengan dengan rebalancing ekonomi China sehingga melipatgandakan efeknya secara berlipat.
Di meja makan yang sebenarnya lebih banyak menghadirkan kenangan ketimbang makanan itu, bankir tulen ini menceritakan bagaimana dia yang baru seumur jagung memimpin BI harus mengatasi situasi itu.
Pembalikan arus modal asing yang menyebabkan depresiasi nilai tukar rupiah diiringi oleh pencabutan subsidi BBM, dua situasi yang sama-sama mendorong inflasi melaju lesat.
Sebagai gambaran, inflasi yang meroket akan membawa dampak yang tidak kalah mengerikan, berupa nilai tukar rupiah makin anjlok, harga barang menjadi tidak terjangkau dan dalam beberapa bulan akan menghantam pertumbuhan ekonomi dari dua sisi: daya beli masyarakat yang terlanjur longsor dan aktivitas industrial terhenti karena perbankan akan memperketat penyaluran kredit baik secara psikologis maupun melalui kenaikan instrumen suku bunga kredit.
"Itu situasi yang sulit. Sangat tidak mudah. Rapat bermalam-malam. Sulit," kata Agus menggambarkan suasana saat itu.
Hasil dari rapat bermalam-malam itu tertuang dari kebijakan ekstrem bank sentral, yakni meningkatkan suku bunga 175 basis poin, dari 5,75% menjadi 7,5%, dalam rentang 8 bulan. Sebuah preseden yang belum pernah terjadi sejak instrumen suku bunga kebijakan diperkenalkan.
Hal ini, seperti yang pernah ditulis oleh mantan Presiden The Federal Reverse, bank sentral Amerika Serikat, Alan Greenspan.
"Setiap kali the Fed menaikkan suku bunga, the Fed bisa mengguncang pasar. Risiko dari kenaikan secara tiba-tiba bisa memecahkan gelembung keyakinan investor, dan jika itu cukup membuat orang-orang ketakitan, maka bisa memicu kontraksi ekonomi yang parah," tutur Greenspan dalam Age of Turbulence.
Maka, menancaplah stigma 'Agus Marto yang hawkish'.
Meski demikian, dengan kombinasi dan kolaborasi dengan Menteri Keuangan Chatib Basri yang mengelola fiskal sepanjang 2013-2014, Indonesia mampu melewati badai tersebut.
Agus juga dikenal sebagai gubernur BI yang begitu getol memperjuangkan independensi bank sentral sampai-sampai sering dituduh menghambat lahirnya Otoritas Jasa Keuangan pada 2014.
Sampai kemudian, datang Joko Widodo, seorang tukang mebel dari Solo yang dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia pada Oktober 2014 dan langsung membuang jauh-jauh 'duri dalam daging' pengelolaan ekonomi makro dengan mencabut subsidi BBM sebulan sejak dilantik.
Kini, setelah sejak era taper tantrum perlahan memudar dan Indonesia bisa menggali keuntungan dari rezim suku bunga rendah selama tiga tahun belakangan, the Fed kembali mengguncang dunia--khususnya, dunia negara berkembang.
Kenaikan suku bunga acuan fed fund rate yang telah dimulai secara bertahap sejak tahun lalu yang memantik kenaikan imbal hasil surat utang AS, memicu gelombang pembalikan arus modal ke Paman Sam yang membuat dolar AS menguat terhadap mayoritas mata uang negara lain.
Sekali lagi, hal ini membuktikan kebenaran diktum John Connally, menteri keuangan era Presiden AS Richard Nixon. "The dollar is our currency, but it's your problem."
Dan sekali lagi, Agus Martowardojo yang menjalankan rapat dewan gubernur (RDG) terakhirnya pada Mei 2018--sebelum digantikan Perry Warjiyo pada 24 Mei 2018--harus menaikkan suku bunga acuan 7-days repo rate menjadi 4,5% dan kembali dikenang sebagai hawkish yang tidak pro pertumbuhan ekonomi.
Akhirnya, selamat jalan Pak Agus! Selamat tinggal rezim suku bunga rendah.
(roy) Next Article BI Buka Kantor Perwakilan di Beijing
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular