
Internasional
Rupee Tertekan, Krisis Ekonomi Mengintai
Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
08 May 2018 13:20

Bangladesh, CNBC Indonesia - Memasuki tahun 2018 pemerintah India memiliki resolusi untuk memutar-balikkan perekonomiannya. Namun, tanda-tanda tekanan pada perekonomian muncul dari satu barometer, yaitu mata uang.
Tahun lalu mata uang rupee India menguat 6,75% lawan dolar Amerika Serikat (AS), namun secara umum mengalami penurunan sejak awal tahun 2018. Nilai tukar mata uang itu menyentuh posisi 67,13 rupee (Rp 14.011) per dolar AS pada hari Senin (7/5/2018), paling rendah dalam 15 bulan.
Sejauh ini, nilai tukarnya anjlok 5,15%. Bahkan, mata uang itu diprediksi akan semakin melemah, menurut para analis termasuk bank Australia ANZ dan bank Belanda ING.
"Kami yakin masalahnya belum selesai karena beberapa faktor eksternal dan internal akan terus menyebabkan pelemahan di tahun 2018 dan tahun selanjutnya," tulis Prakash Sakpal, Ekonom Asia di ING dalam sebuah catatan bulan April.
Tertekannya rupee memberi isyarat potensi krisis yang mengintip negara dengan perekonomian terbesar ketiga di Asia itu. Pasalnya, pertumbuhan India melambat selama setahun belakangan karena bergulat dengan kejutan demonetisasi, pengenalan Pajak Barang dan Jasa dan tumpukan kredit macet di sektor perbankan.
Masalah-masalah itu memang dianggap tidak terlalu penting, tetapi kenaikan harga minyak saat ini membuat defisit negara terancam meluas ketika belanja pemerintah telah ditingkatkan.
India adalah negara pengimpor minyak dan setiap kenaikan harga minyak US$10 (Rp 140.475) per barel bisa memperburuk neraca berjalan dan keseimbangan fiskal, masing-masing sebesar 0,4% dan 0,1% terhadap produk domestik bruto (PDB). menurut estimasi para analis Nomura. Hal itu bisa memangkas sekitar 15 basis poin dari pertumbuhan negara, tulis para analis dalam sebuah catatan.
Pelemahan rupee dan kenaikan harga minyak akan mempercepat inflasi yang bisa saja memicu bank sentral Reserve Bank of India menaikkan suku bunga lebih cepat dari perkiraan, kata para analis. Tingginya suku bunga domestik, yang muncul sebelum perekonomian stabil dan lepas landas, juga bisa menggagalkan proses pemulihan India.
Tahun lalu mata uang rupee India menguat 6,75% lawan dolar Amerika Serikat (AS), namun secara umum mengalami penurunan sejak awal tahun 2018. Nilai tukar mata uang itu menyentuh posisi 67,13 rupee (Rp 14.011) per dolar AS pada hari Senin (7/5/2018), paling rendah dalam 15 bulan.
Tertekannya rupee memberi isyarat potensi krisis yang mengintip negara dengan perekonomian terbesar ketiga di Asia itu. Pasalnya, pertumbuhan India melambat selama setahun belakangan karena bergulat dengan kejutan demonetisasi, pengenalan Pajak Barang dan Jasa dan tumpukan kredit macet di sektor perbankan.
Masalah-masalah itu memang dianggap tidak terlalu penting, tetapi kenaikan harga minyak saat ini membuat defisit negara terancam meluas ketika belanja pemerintah telah ditingkatkan.
India adalah negara pengimpor minyak dan setiap kenaikan harga minyak US$10 (Rp 140.475) per barel bisa memperburuk neraca berjalan dan keseimbangan fiskal, masing-masing sebesar 0,4% dan 0,1% terhadap produk domestik bruto (PDB). menurut estimasi para analis Nomura. Hal itu bisa memangkas sekitar 15 basis poin dari pertumbuhan negara, tulis para analis dalam sebuah catatan.
Pelemahan rupee dan kenaikan harga minyak akan mempercepat inflasi yang bisa saja memicu bank sentral Reserve Bank of India menaikkan suku bunga lebih cepat dari perkiraan, kata para analis. Tingginya suku bunga domestik, yang muncul sebelum perekonomian stabil dan lepas landas, juga bisa menggagalkan proses pemulihan India.
Next Page
Membela rupee
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular