Peringatan Keras Defisit Perdagangan dan Rapuhnya Ekonomi RI

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 March 2018 16:21
Peringatan Keras Defisit Perdagangan dan Rapuhnya Ekonomi RI
Foto: REUTERS/Fabian Bimmer
Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2018 kembali mengalami defisit. Dengan begitu, defisit neraca perdagangan sudah terjadi tiga bulan berturut-turut. 

Pada Februari 2018, pertumbuhan ekspor tercatat 11,76% year on year (YoY) sementara impor melonjak 25,18%. Dengan demikian, terjadi defisit US$ 116 juta. 

BPS
"Memang defisit (Februari) lebih kecil dari Januari, tapi ini mesti menjadi perhatian. Ini warning buat kita semua," tegas Suhariyanto, Kepala BPS, dalam jumpa pers rilis data perdagangan di kantor BPS, Jakarta, Kamis (15/3/2018). 

Sekali adalah kecelakaan, dua kali kebetulan, tetapi kalau sudah tiga kali itu namanya pola. Jadi kekhawatiran Ketjuk (panggilan Suhariyanto) bukan tanpa alasan. Defisit neraca perdagangan mungkin sudah menjadi pola yang bisa berulang di bulan-bulan mendatang. 

Indonesia masih punya kebiasaan atau pola yang berulang. Setiap kali pertumbuhan ekonomi terakselerasi, maka impor pasti melonjak. Penyebabnya sama, kebutuhan bahan baku dan barang modal yang meningkat seiring pertumbuhan ekonomi tidak bisa dipenuhi oleh industri dalam negeri. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut mau tidak mau memang harus impor. Pekerjaan rumah ini belum selesai sampai sekarang.

Hal tersebut kembali terkonfirmasi pada data Februari. Impor bahan baku tumbuh 23,76% selama kumulatif Januari-Februari yoy, dan barang modal tumbuh lebih kencang lagi yaitu 31,16%. 

BPS
Bank Indonesia (BI) juga menyampaikan kekhawatian serupa. Agus DW Martowardojo, Gubernur BI, mengatakan impor (terutama bahan baku) sudah meningkat sejak akhir tahun lalu. 

Tingginya impor, lanjut Agus, disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang lebih baik pada 2018. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini di kisaran 5,1-5,5%, lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 5,07%. 

Ketika impor melonjak, maka aktivitas pengiriman barang dari luar negeri pastinya juga ikut naik. Maka biaya pengiriman (freight) ikut naik, yang memberikan terkanan terhadap neraca jasa.  

Neraca perdagangan dan neraca jasa merupakan komponen dari transaksi berjalan (current account), sebuah neraca yang menggambarkan arus devisa di sebuah negara dari sektor riil. Ketika transaksi berjalan surplus, maka devisa yang tersedia cukup memadai sementara ketika defisit maka yang terjadi adalah sebaliknya. 

Betul, Indonesia memang masih mengalami defisit di transaksi berjalan. Namun dalam kondisi seperti ini, di mana neraca perdagangan dan neraca jasa tertekan, defisit transaksi berjalan cenderung semakin dalam. Pada 2017, defisit transaksi berjalan tercatat 1,7% terhadap produk domestik bruto (PDB) dan tahun ini diperkirakan naik menjadi 2,1% PDB. 

"Ini sesuatu yang perlu diwaspadai," tegas Agus.

Defisit Perdagangan dan PR Industrialisasi yang Belum TuntasReuters
Transaksi berjalan seringkali dipandang sebagai fundamental ketahanan ekonomi suatu negara dari gejolak eksternal. Ketika devisa di suatu negara cukup memadai, maka bisa menjadi bantalan untuk menahan guncangan. Oleh karena itu, mata uang negara dengan transaksi berjalan yang defisit biasanya mudah berfluktuasi karena pasokan valas bergantung kepada investasi portofolio yang bisa datang dan pergi kapan saja. 

Ini tercermin dari nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang volatilitasnya cukup tinggi yaitu 4,55%. Lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga seperti Singapura (4,17%), atau Malaysia (4,17%). 

Terhadap dolar AS, rupiah melemah 1,3% sepanjang 2018. Sementara dolar Singapura menguat 1,9% dan ringgit Malaysia 3,7%. Pelemahan rupiah salah satunya karena fundamental Indonesia yang rapuh, yaitu tidak adanya dukungan dari transaksi berjalan karena masih defisit. 

Defisit Perdagangan dan PR Industrialisasi yang Belum TuntasReuters
Transaksi berjalan yang surplus membuat mata uang negara-negara tetangga itu punya kekuatan. Mereka tidak bergantung kepada hot money untuk mengerek nilai tukarnya. 

Di Singapura, transaksi berjalan terus-menerus surplus. Kali terakhir Singapura mengalami defisit transaksi berjalan adalah pada 1984.  

Defisit Perdagangan dan PR Industrialisasi yang Belum TuntasReuters


Di Malaysia, transaksi berjalan juga masih surplus meski angkanya semakin menurun. Namun, hasil penilaian Bank Dunia menyebutkan Malaysia masih mampu mempertahankan transaksi berjalan tetap surplus. 

"Perbaikan harga komoditas akan mendorong kenaikan ekspor. Ini sepertinya masih bisa menjaga surplus neraca perdagangan, meski ada tekanan dari sisi impor dan neraca jasa yang defisit," sebut Bank Dunia.
Peringatan Keras Defisit Perdagangan dan Rapuhnya Ekonomi RIFoto: Reuters


Lalu apa pelajaran yang bisa dipetik dari defisit neraca perdagangan ini? Ada berbagai solusi, tetapi ada satu yang sangat penting yaitu membangun industri dalam negeri.

Ini seakan terlupakan di tengah hiruk-pikuk ekonomi digital. Industrialisasi seakan menjadi barang kuno, artefak dari masa lalu yang sekedar jadi pajangan. 

Namun industrialisasi adalah kunci untuk membangun fondasi ekonomi yang kokoh. Industrialisasi, terutama untuk yang berorientasi ekspor dan substitusi impor, bisa menjamin arus devisa bisa datang dan bertahan lama. Kita tidak perlu lagi bergantung kepada arus modal asing di sektor keuangan untuk memperoleh devisa. 

Ketika kita terlalu mengandalkan transaksi finansial sebagai penopang neraca pembayaran, maka fundamental ekonomi menjadi rapuh. Tiang yang menjadi penyangga mudah bergoyang ke sana-ke mari, bahkan kadang pergi meninggalkan bangunan ekonomi. 

Pada 2017, Indonesia mencatat surplus neraca pembayaran sebesar US$ 11,58 miliar. Namun, itu didukung oleh transaksi finansial yang di mana investasi portofolio menyumbang US$ 20,66 miliar yang bisa langsung menutup defisit transaksi berjalan yang sebesar US$ 17,29 miliar. 

Defisit Perdagangan dan PR Industrialisasi yang Belum TuntasBI
Namun jalan menuju industrialisasi tidak mudah. Industri dalam negeri sudah terlanjur lama tidak mendapat perhatian. Pertumbuhannya semakin melambat, dan kontribusinya terhadap PDB terus mengecil. 

Defisit Perdagangan dan PR Industrialisasi yang Belum TuntasBPS
Defisit Perdagangan dan PR Industrialisasi yang Belum TuntasBPS
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berupaya untuk membangkitkan kembali industri nasional dengan meluncurkan berbagai paket kebijakan yang bertujuan untuk mendorong investasi. Namun sejak paket pertama diluncurkan pada September 2015, belum terlihat dampaknya terhadap sektor industri. Pertumbuhannya masih melambat. 

Sepertinya butuh upaya lebih dari sekedar paket kebijakan. Perlu dorongan dari berbagai sisi untuk merangsang pertumbuhan industri.  

Dari sisi fiskal, insentif yang diberikan perlu lebih disosialisasikan dan diperluas agar peminatnya bertambah. Insentif yang ada saat ini perlu dievaluasi agar tidak seakan menggarami laut. 


Kemudian sektor keuangan juga harus berjalan seiring dengan sektor riil. Di sini, suku bunga kredit bisa (dan harus) turun lagi. BI sudah menurunkan suku bunga acuan sebesar 125 basis poin sejak Agustus 2016, tetapi penurunan suku bunga kredit masih belum menyamai itu.  

Artinya, masih ada ruang bagi perbankan untuk menurunkan suku bunga tanpa perlu menurunkan suku bunga acuan. Caranya adalah memperbaiki efisiensi perbankan. Rasio biaya operasional dibandingkan pendapatan operasional (BOPO) perbankan masih tinggi perlu diturunkan. 

Defisit Perdagangan dan PR Industrialisasi yang Belum TuntasOJK
Tahapan pembangunan Indonesia sepertinya memang belum tuntas. Indonesia belum selesai dengan industrialisasi, dan itu sepertinya perlu menjadi prioritas. Namun di tengah gelombang ekonomi digital, kebutuhan itu menjadi semakin terabaikan.
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular