
Punya Saham Freeport Bukan Tanpa Risiko
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
27 January 2018 18:51

Aturan divestasi memaksa perusahaan asing untuk menjual kepemilikannya pada harga yang berpotensi lebih rendah kepada entitas Indonesia. Akan tetapi,kepemilikan perusahaan asing tersebut sangat dimungkinkan dihargai di bawah jumlah yang dirasa cukup oleh investor asing untuk mengkompensasi risiko bisnis di masa depan, karena dua alasan.
Pertama, harga kepemilikan saham pada proses divestasi dengan proses negosiasi sangat mungkin berada pada atau di bawah apa yang disebut “harga acuan” (diatur pada Permen ESDM No.9/2017 Pasal 14 Ayat 1 sebagai “harga pasar yang wajar”). Sementara itu, apabila dilakukan dengan proses lelang normal maka akan berdampak pada harga yang lebih tinggi, dan baru jika tidak ada tawaran yang cukup kompetitif, maka saham akan hanya dijual pada “harga acuan” – atau tidak sama sekali.
Sumber: Natural Resource Governance Institute, diolah oleh Tim Riset CNBC Indonesia
Kedua, menentukan “harga acuan” juga menjadi alasan mengapa aturan divestasi tidak cukup untuk mengkompensasi investor. Permen ESDM No. 9/2017 mengganti apa yang sebelumnya disebut pendekatan replacement cost untuk memvaluasi saham, dengan pendekatan harga pasar yang wajar.
Akan tetapi, permasalahan yang muncul adalah harga pasar yang wajar ini tidak memasukkan nilai cadangan mineral dari suatu proyek pertambangan pada waktu divestasi.
Secara teori, nilai dari saham yang diperdagangkan di pasar akan memasukkan jumlah yang dihasilkan perusahaan dari produksi masa depan dikurangi pajak, yang diekspektasikan trader. Namun, Pasal 14 Ayat 1 pada Permen ESDM No. 9/2017 mengeliminasi kemungkinan dari produksi di masa depan yang digunakan untuk menilai sebuah saham/ekuitas.
Nilai yang akan dijadikan basis perhitungan hanyalah aset di atas tanah saat ini yang dimiliki oleh suatu pertambangan, yakni infrastruktur dan modal dikurangi depresiasi. Nilai ini sama saja dengan replacement cost yang didefinisikan di regulasi sebelumnya.
Investor, pada dasarnya, akan mengharapkan imbal hasil yang bagus dari penggunaan modal yang diinvestasikan. Analis sektor pertambangan biasanya menggunakan benchmark imbal hasil dalam kisaran 12,5%.
Akan tetapi, tanpa memasukkan ekpektasi profit di masa depan menjadi bagian dari dasar perhitungan harga, sangat dimungkinkan untuk banyak proyek pertambangan imbal, imbal hasil yang diharapkan akan berada di bawah benchmark tersebut. Kondisi ini mengindikasikan bahwa sejumlah proyek pertambangan di Indonesia tidak akan menarik bagi investor asing. (hps)
Pertama, harga kepemilikan saham pada proses divestasi dengan proses negosiasi sangat mungkin berada pada atau di bawah apa yang disebut “harga acuan” (diatur pada Permen ESDM No.9/2017 Pasal 14 Ayat 1 sebagai “harga pasar yang wajar”). Sementara itu, apabila dilakukan dengan proses lelang normal maka akan berdampak pada harga yang lebih tinggi, dan baru jika tidak ada tawaran yang cukup kompetitif, maka saham akan hanya dijual pada “harga acuan” – atau tidak sama sekali.
![]() |
Kedua, menentukan “harga acuan” juga menjadi alasan mengapa aturan divestasi tidak cukup untuk mengkompensasi investor. Permen ESDM No. 9/2017 mengganti apa yang sebelumnya disebut pendekatan replacement cost untuk memvaluasi saham, dengan pendekatan harga pasar yang wajar.
Akan tetapi, permasalahan yang muncul adalah harga pasar yang wajar ini tidak memasukkan nilai cadangan mineral dari suatu proyek pertambangan pada waktu divestasi.
Nilai yang akan dijadikan basis perhitungan hanyalah aset di atas tanah saat ini yang dimiliki oleh suatu pertambangan, yakni infrastruktur dan modal dikurangi depresiasi. Nilai ini sama saja dengan replacement cost yang didefinisikan di regulasi sebelumnya.
Investor, pada dasarnya, akan mengharapkan imbal hasil yang bagus dari penggunaan modal yang diinvestasikan. Analis sektor pertambangan biasanya menggunakan benchmark imbal hasil dalam kisaran 12,5%.
Akan tetapi, tanpa memasukkan ekpektasi profit di masa depan menjadi bagian dari dasar perhitungan harga, sangat dimungkinkan untuk banyak proyek pertambangan imbal, imbal hasil yang diharapkan akan berada di bawah benchmark tersebut. Kondisi ini mengindikasikan bahwa sejumlah proyek pertambangan di Indonesia tidak akan menarik bagi investor asing. (hps)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular