Punya Saham Freeport Bukan Tanpa Risiko

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
27 January 2018 18:51
Punya Saham Freeport Bukan Tanpa Risiko
Foto: Freeport
Jakarta, CNBC Indonesia – Perbincangan tentang divestasi saham PT Freeport Indonesia selalu menjadi topik hangat disemua kalangan. Tak hanya politisi yang getol memperdebatkan, baik perspektif nasionalisme hingga mengutarakan pendapat hanya untuk kepentingan pragmatis.

Sejatinya, adanya aturan divestasi saham perusahaan tambang asing adalah sebuah upaya positif untuk menegaskan kendali Pemerintah Indonesia terhadap sumber daya mineral milik bangsa ini. Ini pula alasan kuat kenapa pemerintah ngotot untuk segera mendivestasikan saham Freeport. 

Pemerintah berharap peraturan ini akan memberikan manfaat bagi Republik Indonesia dengan berbagai macam cara, di antaranya mendapatkan manfaat langsung dari bisnis pertambangan dan membangun kehadiran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang lebih kuat di sektor pertambangan.

Namun demikian, sejumlah pengamat ekonomi juga masih mempertanyakan apakah kebijakan divestasi saham ini memang akan menguntungkan, atau ternyata malah menambah beban negara. Hingga kini, upaya divestasi Freeport Indonesia (anak perusahaan dari Freeport Mc Moran milik Amerika Serikat) pun masih menemui jalan terjal menuju kesepakatannya.

Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri pernah menilai rencana pemerintah untuk membeli saham divestasi Freeport sebanyak 51% dinilai hanya merugikan negara. Selain karena harga divestasi yang mahal, kandungan mineral yang berada di tambang tersebut pun tidak begitu banyak. Belum lagi mempertimbangkan adanya masalah keberadaan hak partisipasi Rio Tinto di tambang Grassberg milik Freeport.

Melangsir hasil kajian dari Analis Ekonom Senior dari Natural Resource Governance Institute, Tim Riset CNBC juga menguraikan beberapa risiko divestasi saham perusahaan tambang asing di Indonesia.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Investasi di Indonesia masih didominasi oleh investor asing. Dalam kurun waktu lima tahun (2011-2016), investasi domestik hanya mampu berkontribusi 33% dari total Rp 2.333,1 triliun yang diinvestasikan ke dalam ekonomi Indonesia. Peraturan divestasi bertujuan untuk membalikkan fenomena ini, dimana nantinya Indonesia akan memiliki kepemilikan yang lebih besar di sektor pertambangan. Dalam kurun waktu lima tahun tersebut, sektor pertambangan mampu menarik  Rp 221,8 triliun investasi asing. Jumlah tersebut merepresentasikan sekitar 30% dari total investasi domestik di sektor ekonomi lainnya.

Lebih lanjut, aturan divestasi mensyaratkan perusahaan asing untuk mendivestasikan sahamnya setidaknya 51%, dengan jumlah yang nampaknya akan jauh lebih besar dari rata-rata aliran penanaman modal dalam negeri di sektor pertambangan pada 5 tahun terakhir.
Punya Saham Freeport Bukan Tanpa Risiko Foto: PMA & PMDN

Dengan kata lain, aturan divestasi membutuhkan investor dalam negeri untuk mengambil alih peran investor asing yang sekarang ada di sektor pertambangan. 

Akan tetapi, berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di atas, investor dalam negeri tak punya dana besar untuk berinvestasi di sektor pertambangan menggantikan posisi investor asing.

Perbedaan kemampuan modal yang cukup besar tersebut bisa dikondisikan dengan beberapa opsi, sebagai berikut:
  1. Mengurangi investasi domestik atau menjual aset eksisting di sektor lainnya kepada investor asing, atau dengan kata lain menukar kepemilikan sektor manufaktur, pertanian, dan jasa, untuk kepemilikan perusahaan pertambangan.
  2. Meminjam dari kreditur asing, sehingga memiliki kepemilikan perusahaan tambang , tapi menambah kewajiban/liabilitas asing 
  3. Bergantung pada pemerintah untuk membeli kepemilikan perusahaan tambang asing, sehingga memaksa pemerintah untuk meminjam dari negara lain, meningkatkan pajak, atau mengurangi pengeluaran di proyek infrastruktur atau bantuan sosial.
Selain itu, memiliki saham di perusahaan tambang asing memungkinkan negara atau BUMN mempunyai kesempatan untuk mendapatkan dividen. Akan tetapi, dividen aktual yang didapatkan pembeli Indonesia dapat jadi akan mengecewakan.

Entitas atau perusahaan Indonesia bisa saja tidak memiliki cukup dana untuk membeli bagian saham dan diharuskan untuk meminjam dana dari entitas lainnya.

Pasal 2 ayat 7 dari Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 9 tahun 2017 tentang Tata Cara Divestasi Saham dan Mekanisme Penetapan Harga Saham Divestasi pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, melarang perusahaan tambang asing untuk meminjamkan dana kepada Peserta Indonesia yang akan membeli saham divestasi. Hal ini menyebabkan pembeli Indonesia harus meminjam dana dari sumber lainnya. 

Pada kasus kepemilikan Pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Barat pada saham Newmont Nusa Tenggara, ternyata dividen sejumlah Rp 475 milyar yang diperoleh pada tahun 2014 harus diimbangi oleh beban pinjaman yang sama besarnya ke Credit Suisse Singapore. Sehingga tidak ada keuntungan yang dapat diambil pemerintah pada periode itu. Aturan divestasi memaksa perusahaan asing untuk menjual kepemilikannya pada harga yang berpotensi lebih rendah kepada entitas Indonesia. Akan tetapi,kepemilikan perusahaan asing tersebut sangat dimungkinkan dihargai di bawah jumlah yang dirasa cukup oleh investor asing untuk mengkompensasi risiko bisnis di masa depan, karena dua alasan.

Pertama, harga kepemilikan saham pada proses divestasi  dengan proses negosiasi sangat mungkin berada pada atau di bawah apa yang disebut “harga acuan” (diatur pada Permen ESDM No.9/2017 Pasal 14 Ayat 1 sebagai “harga pasar yang wajar”). Sementara itu, apabila dilakukan dengan proses lelang normal maka akan berdampak pada harga yang lebih tinggi, dan baru jika tidak ada tawaran yang cukup kompetitif, maka saham akan hanya dijual pada “harga acuan” – atau tidak sama sekali.
Punya Saham Freeport Bukan Tanpa Risiko Foto: CNBC Indonesia
Sumber: Natural Resource Governance Institute, diolah oleh Tim Riset CNBC Indonesia
Kedua, menentukan “harga acuan” juga menjadi alasan mengapa aturan divestasi tidak cukup untuk mengkompensasi investor. Permen ESDM No. 9/2017 mengganti apa yang sebelumnya disebut pendekatan replacement cost untuk memvaluasi saham, dengan pendekatan harga pasar yang wajar.

Akan tetapi, permasalahan yang muncul adalah harga pasar yang wajar ini tidak memasukkan nilai cadangan mineral dari suatu proyek pertambangan pada waktu divestasi. 

Secara teori, nilai dari saham yang diperdagangkan di pasar akan memasukkan jumlah yang dihasilkan perusahaan dari produksi masa depan dikurangi pajak, yang diekspektasikan trader. Namun, Pasal 14 Ayat 1 pada Permen ESDM No. 9/2017 mengeliminasi kemungkinan dari produksi di masa depan yang digunakan untuk menilai sebuah saham/ekuitas. 

Nilai yang akan dijadikan basis perhitungan hanyalah aset di atas tanah saat ini yang dimiliki oleh suatu pertambangan, yakni infrastruktur dan modal dikurangi depresiasi. Nilai ini sama saja dengan replacement cost  yang didefinisikan di regulasi sebelumnya.

Investor, pada dasarnya, akan mengharapkan imbal hasil yang bagus dari penggunaan modal yang diinvestasikan. Analis sektor pertambangan biasanya menggunakan benchmark imbal hasil dalam kisaran 12,5%.

Akan tetapi, tanpa memasukkan ekpektasi profit di masa depan menjadi bagian dari dasar perhitungan harga, sangat dimungkinkan untuk banyak proyek pertambangan imbal, imbal hasil yang diharapkan akan berada di bawah benchmark tersebut. Kondisi ini mengindikasikan bahwa sejumlah proyek pertambangan di Indonesia tidak akan menarik bagi investor asing. 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular