
Gagalnya Industri Garam RI
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
25 January 2018 12:01

Kendala di sektor hilir atau niaga dan regulasi impor ternyata juga berkontribusi pada rendahnya produksi garam nasional.
Tren impor garam merepresentasikan ketidakmampuan pemerintah mengelola tata niaga garam nasional yang lebih baik, terutama perlindungan terhadap petani garam dari para kartel garam. Kasus dugaan penyalahgunaan izin impor yang menyeret nama Direktur Utama PT Garam (Persero) Achmad Boediono seolah mengonfirmasi ada yang tidak beres dalam pengaturan importasi garam dan perlindungan terhadap petambak garam di Indonesia. Boediono sendiri setelah ditangkap pada pertengahan 2017, kemudian ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan izin importasi distribusi garam sebanyak 75.000 ton.
Keputusan untuk melaksanakan impor garam industri pada awal 2018 ini juga sangat disayangkan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), yang berpendapat bahwa kebijakan impor garam setiap tahun menjadi penanda bahwa Pemerintah tidak serius dalam memperbaiki tata kelola garam.
Ketua Departemen Pendidikan dan Penguatan Jaringan KNTI Misbachul Munir mengatakan kuota impor yang diputuskan pemerintah selalu berlebihan. Padahal, pada saat yang sama, petambak garam nasional melaksanakan panen raya. Alhasil, kondisi itu membuat produksi garam nasional mengalami kelumpuhan. Munir pun mengatakan, akibat kuota berlebih yang selalu berulang setiap tahun, para petambak garam merasakan dampak negatifnya dan pada akhirnya secara perlahan banyak di antara petambak kemudian berlaih profesi menjadi buruh kasar. Menurut KNTI, selama ini petambak garam tradisional lokal mengalami pemiskinan dengan harga jual yang rendah di pasaran, dimana PT Garam membeli garam konsumsi dari petambak lokal dengan harga standar KW 3 yaitu Rp 200 – 250/kg, standar KW 2 Rp 450/kg, dan standar KW 1 Rp 650-700/kg. Dengan harga tersebut, petambak tidak memperoleh keuntungan yang optimal, bahkan tidak bisa menutupi biaya produksi. Merujuk pada data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), jumlah petani tambak garam di Indonesia memang menurun drastis yakni dari 30.688 jiwa pada 2012 menjadi 21.050 jiwa pada 2016. Adanya selisih kebijakan impor garam antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan juga mengindikasikan data stok dan produksi garam nasional yang tidak valid antar instansi.
(ray/ray)
Tren impor garam merepresentasikan ketidakmampuan pemerintah mengelola tata niaga garam nasional yang lebih baik, terutama perlindungan terhadap petani garam dari para kartel garam. Kasus dugaan penyalahgunaan izin impor yang menyeret nama Direktur Utama PT Garam (Persero) Achmad Boediono seolah mengonfirmasi ada yang tidak beres dalam pengaturan importasi garam dan perlindungan terhadap petambak garam di Indonesia. Boediono sendiri setelah ditangkap pada pertengahan 2017, kemudian ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan izin importasi distribusi garam sebanyak 75.000 ton.
Keputusan untuk melaksanakan impor garam industri pada awal 2018 ini juga sangat disayangkan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), yang berpendapat bahwa kebijakan impor garam setiap tahun menjadi penanda bahwa Pemerintah tidak serius dalam memperbaiki tata kelola garam.
![]() |
(ray/ray)
Pages
Most Popular