
Gagalnya Industri Garam RI
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
25 January 2018 12:01

Produksi garam di Indonesia umumnya dilakukan dengan menguapkan air laut di atas lahan luas menggunakan energi panas matahari (solar evaporation). Dikutip dari Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag), faktor-faktor desain lokasi area produksi garam yang menentukan adalah “air laut” sebagai bahan baku, “tanah” sebagai faktor sarana utama, dan “iklim” sebagai faktor sumber tenaga.
Sayangnya, dengan menggunakan metode solar evaporation secara tradisional, faktor-faktor yang berpengaruh pada kualitas dan kuantitas garam itu justru menjadi kendala dalam proses produksi, karena:
(ray/ray)
![]() |
Sayangnya, dengan menggunakan metode solar evaporation secara tradisional, faktor-faktor yang berpengaruh pada kualitas dan kuantitas garam itu justru menjadi kendala dalam proses produksi, karena:
- Di Indonesia, air laut banyak yang bercampur dengan air tawar karena sebagian besar laut menjadi muara bagi aliran sunga tawar. Di samping itu, air laut juga sering tercemar dengan polutan tertentu.
- Curah hujan di area produksi garam pada musim kemarau berkisar 100 - 300 mm per musim dengan tingkat kelembaban 60% - 80%. Hal ini mengakibatkan kualitas garam rendah. Di negara produsen garam besar seperti Australia, curah hujan pada musim kemarauh hanya 10 - 100 mm per musim dengan tingkat kelembaban 30 - 40%.
- Musim kemarau dengan paparan panas tinggi di Indonesia berlangsung relatif pendek hanya 3 - 4 bulan per tahun. Sementara itu, di Australia dan China panjang paparan sinar matahari dapat mencapai 11 bulan per tahun.
- Pesisir yang landai, tanah tak poros/tembus, dan laut yang tenang dengan variasi pasang surut tak terlalu besar tidak dimiliki oleh seluruh wilayah pesisir Indonesia, sehingga, pada 2015 hanya ada sembilan provinsi yang memiliki tambak garam.
Pages
Most Popular