Gagalnya Industri Garam RI

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
25 January 2018 12:01
Minim Intervensi Teknologi, Produksi Garam Sulit Digenjot
Foto: CNBC Indonesia/ Donald
Produksi dan produktivitas garam nasional selama periode 2011-2014 mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Selama periode tersebut, produktivitas garam tertinggi terjadi pada tahun 2011 yang mencapai 91,7 ton/ha dengan masa produksi 4,8 bulan, sementara masa produksi tercepat terjadi pada tahun 2013 yaitu selama dua bulan namun memiliki produktivitas yang rendah yaitu hanya mencapai 39,6 ton/ha.

Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, fluktuasi baik dari sisi produksi, produktivitas, maupun masa panen garam nasional disebabkan oleh teknik produksi dan peralatan yang digunakan masih sangat tradisional, serta bergantung pada musim.

Adapun di luar musim produksi, petani garam sebagian besar melakukan usaha lain misalnya budidaya tambak udang.
Selain itu, produksi garam di Indonesia sebagian besar merupakan hasil dari tambak rakyat dengan luas tempat produksi rata-rata sebesar 0,5-3 hektar dengan lokasi yang terpencar-pencar.  Padahal, untuk mengembangkan garam dalam skala besar yang terintegrasi dan efisien, dibutuhkan satu kesatuan lahan datar cukup luas berkisar 4.000 ha - 6.000 ha sehingga mendapatkan manfaat dari skala ekonomi. Dengan melihat kondisi di atas, produktivitas garam dapat dinilai belum optimal dan masih relatif rendah dibandingkan dengan negara produsen garam laut lainnya, seperti Australia yang mampu meproduksi garam dengan produktivitas 350 ton/ha.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim dan Kemanusiaan Abdul Halim menilai Pemerintah Indonesia tidak maksimal dalam menangani kegagalan produk garam nasional.

Pemerintah, jelasnya, minim melibatkan teknologi guna peningkatan produksi dan produktivitas garam rakyat. Intervensi teknologi dapat dilakukan misalnya dengan lebih banyak menggunakan teknologi prisma dan geomembran.
Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Tekonologi (BPPT) Eniya Listiani Dewi juga turut menambahkan bahwa salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk menggenjot produktivitas dan kualitas garam nasional adalah dengan melaksanakan integrasi lahan dan program di satu area.

Untuk kebutuhan tersebut, dia menghitung bahwa lahan yang dibutuhkan minimal seluas 400 hektar dan bisa dilaksanakan hingga optimum di lahan 5.000 hektar.
Di atas lahan seluas itu, proses produksi akan dilakukan di empat area: area penampungan air laut, area untuk penguapan atau evaporasi, area hasil evaporasi ditampung menjadi air tua, dan area rekristalisasi.

Dengan adanya konsep seperti itu, Eniya mengklaim bahwa Indonesia sebenarnya sudah siap melaksanakan industrialisasi pada komoditas garam. Namun, berdasarkan kajian BPPT, untuk sementara proses tersebut baru cocok dilaksanakan di kawasan Indonesia Timur seperti Nusa Tenggara Timur.
  (ray/ray)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular