CNBC Indonesia Research

Akan Larang Impor Garam, Indonesia Siap Penuhi Kebutuhan?

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
10 November 2022 15:05
Jokowi meninjau tambak garam eks tanah Hak Guna Usaha (HGU), di Desa Nunkurus, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Rabu (21/8)  (dok. Kementerian Perindustrian)
Foto: Jokowi meninjau tambak garam eks tanah Hak Guna Usaha (HGU), di Desa Nunkurus, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Rabu (21/8) (dok. Kementerian Perindustrian)

Jakarta, CNBC Indonesia - Baru-baru ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) mau mempercepat kegiatan penggaraman agar Indonesia tidak bergantung pada impor pada 2024 mendatang, termasuk berbagai industri dari aneka pangan, farmasi, dan kimia. Padahal selama ini demi memenuhi kebutuhan domestik, Indonesia harus mengimpor garam dalam jumlah besar.

Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 126/022 Tentang Percepatan Pembangunan Pergaraman Nasional, yang ditetapkan pada 27 Oktober 2022.

Lewat peraturan ini, Jokowi memandatkan kebutuhan garam nasional harus dipenuhi dari produksi dalam negeri oleh petambak garam dan badan usaha paling lambat tahun 2024. Dalam hal ini termasuk garam konsumsi, industri aneka pangan, penyamakan kulit, water treatment, pakan ternak, pengasinan ikan, peternakan dan perkebunan, sabun dan deterjen, tekstil, pengeboran minyak, kosmetik, bahkan untuk kebutuhan farmasi.

Indonesia selalu melakukan impor dalam jumlah yang besar setiap tahunnya. Meskipun Indonesia berada di daerah tropis, tidak semua wilayah cocok untuk memproduksi garam.

Untuk diketahui, Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), volume impor garam Indonesia mencapai 2,83 juta ton dengan nilai US$107,5 juta sepanjang 2021 atau sekitar Rp1,5 triliun (asumsi kurs tanggal 31 Desember 2021 sebesar Rp14.197 per US$). Untuk tahun ini, pemerintah menargetkan impor garam sebanyak 3 juta ton.

Nilai impor tersebut tersebut naik 13,7% (year-on-year/yoy) dibanding tahun sebelumnya, yang besarnya US$94,5 juta pada 2020.

Jika dirunut ke belakang, nilai impor garam Indonesia tercatat meningkat sejak 2017 hingga 2019 seperti terlihat pada grafik. Nilainya sempat turun tipis 0,9% (yoy) pada 2020, namun kembali meningkat pada 2021.

Tingginya impor garam Indonesia ini disebabkan karena beberapa hal yakni garam produksi rakyat belum bisa untuk memenuhi spesifikasi kebutuhan garam industri. Kedua, luas lahan produksi garam masih terbatas karena tidak semua wilayah Indonesia sesuai untuk produksi garam, meskipun terletak di garis khatulistiwa wilayah Indonesia sering diwarnai oleh awan atau mendung.

Sementara berdasarkan hasil riset Litbang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi garam nasional seberat 1,09 juta ton pada tahun lalu. Adapun proyeksi produksi garam tahun ini mencapai 859 ribu ton (prediksi per Juli 2022). Rendahnya proyeksi produksi garam domestik disebabkan oleh faktor alam (cuaca) akibat terjadinya La Nina moderat dan Indian Ocean Dipole (IOD) yang tetap bertahan pada fase negatif di awal kemarau ini.

"Sekitar 54% wilayah Indonesia, termasuk sejumlah sentra garam nasional telah mengalami musim kemarau meskipun terpantau masih terjadi hujan," menurut hasil riset Litbang KKP.

Beberapa tahun terakhir (2020-2022) sedang berlangsung La Nina Berantai. Kondisi serupa pernah terjadi pada periode 1973-1975 dan periode 1998-2000 sehingga mempengaruhi ketersediaan garam pada masa tersebut.

Dengan kendala yang dialami oleh Indonesia belakangan ini terkait produksi garam, tiba-tiba saja muncul larangan untuk mengimpor garam oleh Presiden Joko Widodo.

Percepatan pembangunan pergaraman nasional untuk semua kegiatan yang berhubungan dengan praproduksi, produksi, pascaproduksi pengolahan, hingga pemasaran garam.

Lagi-lagi dalam hal ini tentunya pemerintah harus jelas memiliki roadmap kegiatan hulu hingga hilir garam. Dalam hal ini tentunya ada lahan yang harus dipersiapkan, modal, kemudian ada pelatihan khusus oleh penyuluh pertanian kepada petani agar garam yang diproduksi bisa memenuhi kualitas pasar. Ketika kualitas sudah baik, tentunya bisa memenuhi kualitas pasar dan bisa bersaing bahkan lebih unggul dari garam yang diimpor selama ini.

Di sisi lain, kebijakan ini bisa menguntungkan bagi petani. Selain bisa meningkatkan produksi, diberi pelatihan, permodalan, hingga pemasaran, harga garam akan berpeluang menjadi lebih stabil.

Lalu apakah garam lokal memenuhi syarat?

Ketua Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI) Jakfar Sodikin mengatakan, secara kualitas garam RI masih cukup untuk memenuhi kebutuhan industri.

"Sekarang itu kualitas garam di tambak NHCL 4 itu 94-96% itu kualitas I. Garam itu secara visual sudah putih, sama dengan Australia kalau ditambah dengan pencucian washing plant. Sehingga NHCL bisa naik ke 97%," kata Jakfar dalam catatan CNBC Indonesia.

Kendati demikian, petani tambak lokal sebagian memang gugup dan masih belum percaya diri untuk memenuhi kebutuhan industri dan farmasi. Karena farmasi butuh kandungan garam dengan NHCL 99%, sedangkan kebutuhan industri setidaknya 97%, makanya petani masih cukup percaya diri untuk kebutuhan industri.

Pada dasarnya pemerintah harus menyadari bahwa tidak bisa menyamaratakan kualitas garam tiap daerah. Tentunya, faktor iklim begitu mempengaruhi kualitasnya.

Kalau dibandingkan dengan Australia dan India, negara ini memiliki keunggulan musim panas hingga 11 bulan. Sementara kualitas udara antara Indonesia dengan negara tersebut juga berbeda di mana humidity Indonesia tinggi mencapai 80%, dibanding Australia yang hanya 30%.

Selain itu, pemerintah harus memperhatikan penggunaan teknologi dan layout tambak seharusnya bisa diadaptasi dan distandardisasi supaya memiliki hasil yang sama dari tiap daerah, misalnya pemakaian teknologi HDPE (Geomembrane high density polyethylene) agar mendorong kualitas dan produktivitasnya.

Inilah yang harus pemerintah pikirkan bagaimana menyediakan HDPE yang terjangkau sesuai standar petambak garam jika menginginkan tercapainya produksi dalam negeri dengan kualitas yang memadai dan bisa diterima pasar.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular