Gagalnya Industri Garam RI

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
25 January 2018 12:01
Gagalnya Industri Garam RI
Foto: CNBC Indonesia/ Donald
Jakarta, CNBC Indonesia - RI boleh memiliki lebih dari 95.000 kilometer garis pantai, akan tetapi negara kepulauan ini masih harus mengimpor garam dari negara lain dalam kisaran 1,5 - 2 juta ton setiap tahunnya untuk memenuhi kebutuhan nasional mencapai 3,2 - 3,5 juta ton.

Impor garam juga seringkali menjadi polemik di republik ini, seperti yang terjadi sekarang. Kisruh kali ini dipicu perbedaan data rekomendasi impor, di mana Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan impor cukup 2,13 juta ton sementara Kementerian Perindustrian meminta hingga 3,7 juta ton.

Terkait dengan impor ini, Tim Riset CNBC Indonesia menguraikan faktor-faktor yang berkontribusi membuat industri garam nasional harus bersusah payah untuk dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri. 

Tingginya kebutuhan garam nasional yang melebihi kemampuan produksi otomatis mengakibatkan defisit, dan memaksa Indonesia selalu mengimpor garam secara masif selama bertahun-tahun. Defisit terbesar periode 2011-2015 ada pada tahun 2013, yakni sebesar 2,48 juta ton. Pada tahun 2015, Indonesia berhasil memangkas defisit menjadi 0,91 juta ton. Pada periode tersebut, impor garam (garam konsumsi dan produksi) dapat ditekan menjadi hanya 1,86 juta ton, atau menurun 18,06% dibandingkan 2014 yang mengimpor 2,27 juta ton. Namun demikian, perbaikan tersebut tidak bertahan lama. Hanya dalam selang setahun defisit kembali melambung tinggi, setelah produksi garam hancur habis-habisan pada tahun 2016 akibat Indonesia diserang La Nina yang menyebabkan petambak garam tidak mendapat sinar matahari yang cukup mengingat sepanjang tahun itu RI juga dilanda musim kemarau basah.

Sumber: Neraca Garam Nasional oleh KKP, Kemenperin, Kemendag, dan BPS. Diolah oleh Tim Riset CNBCFoto: CNBC Indonesia
Sumber: Neraca Garam Nasional oleh KKP, Kemenperin, Kemendag, dan BPS.
Diolah oleh Tim Riset CNBC

Namun, kondisi cuaca ekstrim pada 2016 tentu saja tidak selalu terjadi di setiap tahun, sehingga cuaca tidak dapat dijadikan alasan tunggal mengapa produksi garam Indonesia selalu minim dari tahun ke tahun. 


Produksi garam di Indonesia umumnya dilakukan dengan menguapkan air laut di atas lahan luas menggunakan energi panas matahari (solar evaporation). Dikutip dari Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag), faktor-faktor desain lokasi area produksi garam yang menentukan adalah “air laut” sebagai bahan baku, “tanah” sebagai faktor sarana utama, dan “iklim” sebagai faktor sumber tenaga. 


Sayangnya, dengan menggunakan metode solar evaporation secara tradisional, faktor-faktor yang berpengaruh pada kualitas dan kuantitas garam itu justru menjadi kendala dalam proses produksi, karena:
  • Di Indonesia, air laut banyak yang bercampur dengan air tawar karena sebagian besar laut menjadi muara bagi aliran sunga tawar. Di samping itu, air laut juga sering tercemar dengan polutan tertentu.
  • Curah hujan di area produksi garam pada musim kemarau berkisar 100 - 300 mm per musim dengan tingkat kelembaban 60% - 80%. Hal ini mengakibatkan kualitas garam rendah. Di negara produsen garam besar seperti Australia, curah hujan pada musim kemarauh hanya 10 - 100 mm per musim dengan tingkat kelembaban 30 - 40%.
  • Musim kemarau dengan paparan panas tinggi di Indonesia berlangsung relatif pendek hanya 3 - 4 bulan per tahun. Sementara itu, di Australia dan China panjang paparan sinar matahari dapat mencapai 11 bulan per tahun.
  • Pesisir yang landai, tanah tak poros/tembus, dan laut yang tenang dengan variasi pasang surut tak terlalu besar tidak dimiliki oleh seluruh wilayah pesisir Indonesia, sehingga, pada 2015 hanya ada sembilan provinsi yang memiliki tambak garam. 
Karena sejumlah faktor di atas, garam rakyat yang diproduksi di Indonesia hanya memiliki kandungan NaCl sebesar 81%-96%, sehingga masih belum mampu untuk memenuhi kebutuhan garam nasional, khususnya garam industri yang mensyaratkan kualitas garam memiliki kandungan NaCl minimal sebesar 97%. Direktur Kawasan Iptek Garam Universitas Trunojoyo Madura, Makhfud Efendy, pun turut mengkonfirmasi bahwa iklim tropis dan garis pantai terpanjang kedua di dunia bukan keunggulan komparatif Indonesia untuk produksi garam. Berbagai keuntungan kondisi alam telah membuat produksi garam dengan teknik penguapan air laut di negara-negara subtropis lebih baik dibandingkan di Indonesia. Produksi dan produktivitas garam nasional selama periode 2011-2014 mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Selama periode tersebut, produktivitas garam tertinggi terjadi pada tahun 2011 yang mencapai 91,7 ton/ha dengan masa produksi 4,8 bulan, sementara masa produksi tercepat terjadi pada tahun 2013 yaitu selama dua bulan namun memiliki produktivitas yang rendah yaitu hanya mencapai 39,6 ton/ha.

Menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan, fluktuasi baik dari sisi produksi, produktivitas, maupun masa panen garam nasional disebabkan oleh teknik produksi dan peralatan yang digunakan masih sangat tradisional, serta bergantung pada musim.

Adapun di luar musim produksi, petani garam sebagian besar melakukan usaha lain misalnya budidaya tambak udang.
Selain itu, produksi garam di Indonesia sebagian besar merupakan hasil dari tambak rakyat dengan luas tempat produksi rata-rata sebesar 0,5-3 hektar dengan lokasi yang terpencar-pencar.  Padahal, untuk mengembangkan garam dalam skala besar yang terintegrasi dan efisien, dibutuhkan satu kesatuan lahan datar cukup luas berkisar 4.000 ha - 6.000 ha sehingga mendapatkan manfaat dari skala ekonomi. Dengan melihat kondisi di atas, produktivitas garam dapat dinilai belum optimal dan masih relatif rendah dibandingkan dengan negara produsen garam laut lainnya, seperti Australia yang mampu meproduksi garam dengan produktivitas 350 ton/ha.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim dan Kemanusiaan Abdul Halim menilai Pemerintah Indonesia tidak maksimal dalam menangani kegagalan produk garam nasional.

Pemerintah, jelasnya, minim melibatkan teknologi guna peningkatan produksi dan produktivitas garam rakyat. Intervensi teknologi dapat dilakukan misalnya dengan lebih banyak menggunakan teknologi prisma dan geomembran.
Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Tekonologi (BPPT) Eniya Listiani Dewi juga turut menambahkan bahwa salah satu langkah yang bisa dilakukan untuk menggenjot produktivitas dan kualitas garam nasional adalah dengan melaksanakan integrasi lahan dan program di satu area.

Untuk kebutuhan tersebut, dia menghitung bahwa lahan yang dibutuhkan minimal seluas 400 hektar dan bisa dilaksanakan hingga optimum di lahan 5.000 hektar.
Di atas lahan seluas itu, proses produksi akan dilakukan di empat area: area penampungan air laut, area untuk penguapan atau evaporasi, area hasil evaporasi ditampung menjadi air tua, dan area rekristalisasi.

Dengan adanya konsep seperti itu, Eniya mengklaim bahwa Indonesia sebenarnya sudah siap melaksanakan industrialisasi pada komoditas garam. Namun, berdasarkan kajian BPPT, untuk sementara proses tersebut baru cocok dilaksanakan di kawasan Indonesia Timur seperti Nusa Tenggara Timur.
  Kendala di sektor hilir atau niaga dan regulasi impor ternyata juga berkontribusi pada rendahnya produksi garam nasional.

Tren impor garam merepresentasikan ketidakmampuan pemerintah mengelola tata niaga garam nasional yang lebih baik, terutama perlindungan terhadap petani garam dari para kartel garam.
Kasus dugaan penyalahgunaan izin impor yang menyeret nama Direktur Utama PT Garam (Persero) Achmad Boediono seolah mengonfirmasi ada yang tidak beres dalam pengaturan importasi garam dan perlindungan terhadap petambak garam di Indonesia. Boediono sendiri setelah ditangkap pada pertengahan 2017, kemudian ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penyalahgunaan izin importasi distribusi garam sebanyak 75.000 ton.

Keputusan untuk melaksanakan impor garam industri pada awal 2018 ini juga sangat disayangkan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), yang berpendapat bahwa kebijakan impor garam setiap tahun menjadi penanda bahwa Pemerintah tidak serius dalam memperbaiki tata kelola garam.

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah oleh Tim Riset CNBC Indonesia
Ketua Departemen Pendidikan dan Penguatan Jaringan KNTI Misbachul Munir mengatakan kuota impor yang diputuskan pemerintah selalu berlebihan. Padahal, pada saat yang sama, petambak garam nasional melaksanakan panen raya. Alhasil, kondisi itu membuat produksi garam nasional mengalami kelumpuhan. Munir pun mengatakan, akibat kuota berlebih yang selalu berulang setiap tahun, para petambak garam merasakan dampak negatifnya dan pada akhirnya secara perlahan banyak di antara petambak kemudian berlaih profesi menjadi buruh kasar.  Menurut KNTI,  selama ini petambak garam tradisional lokal mengalami pemiskinan dengan harga jual yang rendah di pasaran, dimana PT Garam membeli garam konsumsi dari petambak lokal dengan harga standar KW 3 yaitu Rp 200 – 250/kg, standar KW 2 Rp 450/kg, dan standar KW 1 Rp 650-700/kg. Dengan harga tersebut, petambak tidak memperoleh keuntungan yang optimal, bahkan tidak bisa menutupi biaya produksi. Merujuk pada data Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), jumlah petani tambak garam di Indonesia memang menurun drastis yakni dari 30.688 jiwa pada 2012 menjadi 21.050 jiwa pada 2016.  Adanya selisih kebijakan impor garam antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan juga mengindikasikan data stok dan produksi garam nasional yang tidak valid antar instansi.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular