Cantrang, Kawan atau Ancaman?

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
19 January 2018 13:55
Cantrang, Kawan atau Ancaman?
Foto: Ist
Jakarta, CNBC Indonesia – Sejak pertama kali Menteri Susi Pudjiastuti mengumandangkan larangan cantrang pada 2015, pro dan kontra langsung bermunculan hingga kini.

Bahkan, usai rembug yang melibatkan Presiden Joko Widodo, Menteri Susi, bupati dan perwakilan nelayan pada Rabu (17/01/2018) masih ada saja opini-opini tentang cantrang.

Terkait hal tersebut, Tim Riset CNBC Indonesia mengulas sisi positif dan negatif cantrang dari berbagai sudut pandang yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan, lalu aktivis lingkungan, akademisi, dan nelayan. 

Selama puluhan tahun digunakan, cantrang telah berevolusi dari alat tangkap ramah lingkungan menjadi alat tangkap yang merusak lingkungan. Ukuran kapal, mesin penggerak, dan panjang tali selambar yang digunakan dimodifikasi menjadi lebih besar dari waktu ke waktu.

Ukuran kapal cantrang bermetamorfosis, mulai di bawah 5 Gross Ton (GT) pada era 1980-an menjadi hingga 30 GT dan bergardan. Dalam kasus tertentu, Menteri Susi bahkan pernah menyatakan terdapat kapal seberat 70-100 GT menarik cantrang dengan gardan dan diberi pemberat.

Mata jaring cantrang pun saat ini berukuran rata-rata 1,5 inci sehingga dari yang awalnya hanya menangkap ikan besar sejak tahun 2000 juga turut menjaring ikan kecil.

Hingga tahun 2015, jumlah armada kapal pengguna cantrang pun telah melambung tinggi menjadi 13.300 unit kapal, dari semula 1.370 unit kapal pada 1980-an.

Alhasil, proporsi daerah penangkapan bagi setiap unit kapal cantrang di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Laut Jawa menjadi kurang dari 5 km persegi. Rasio rerata luasan daerah penangkapan pun menurun dari 600 km persegi menjadi 45 km persegi per kapal per tahun.

Menurut data KKP, dalam kurun waktu 14 tahun juga terjadi penurunan signifikan catch per unit effort (CPUE) dalam 14 tahun di perairan Laut Jawa, yakni dari 156 kg per setting pada 2002, menjadi 60 kg per setting pada 2015. Selain itu, hasil tangkapan cantrang didominasi ikan berukuran kecil, sehingga menunjukkan indeks keragaman yang tidak sehat.

Pada ulasan tim riset CNBC sebelumnya terkait sejarah cantrang, perkembangan cantrang saat ini memang sudah melanggar  apa yang diatur oleh regulasi yang diterbitkan beberapa tahun terakhir, seperti diuraikan pada tabel berikut.

Foto: Ist




Aktivis lingkungan cenderung satu suara dengan KKP. Organisasi World Wildlife Fund (WWF) berpendapat bahwa tantangan terbesar saat ini adalah menghentikan laju kerusakan ekosistem dan degradasi sumberdaya perikanan akibat alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.

Berdasarkan pantauan Tim Riset CNBC terhadap data status tingkat eksploitasi (STI) sumberdaya ikan di masing-masing wilayah perairan Indonesia, yang terlampir pada  Keputusan Menteri KP No. 45/2011, kondisi eksploitasi Laut Jawa dan Samudera Hindia (selatan Jawa) dimana nelayan pengguna cantrang berpusat, mengindikasikan kondisi yang memprihantinkan. Mayoritas jenis ikan mengalami kondisi overekploitasi dan fully-exploited.

Cantrang, Teman atau Lawan?
Selain itu, hasil kajian WWF menyatakan bahwa hanya sekitar 18-40% hasil tangkapan trawl dan cantrang yang bernilai ekonomis dan dapat dikonsumsi, 60-82% di antaranya adalah tangkapan sampingan atau tidak dimanfaatkan sehingga sebagian besar hasil tangkapan tersebut dibuang ke laut dalam keadaan mati.

Hasil tangkapan trawl dan cantrang tidak selektif atau menangkap semua ukuran ikan, udang, kepiting, serta biota lainnya. Biota-biota yang belum matang dan memijah ikut tertangkap, sehingga tidak dapat berkembang biak menghasilkan individu baru.

Kondisi ini menyebabkan deplesi stok atau pengurangan stok sumber daya ikan, dan hasil tangkapan akan semakin berkurang. Hal ini mengindikasikan adanya kerugian nelayan dalam jangka panjang.
WWF menambahkan meski cantrang menghindari terumbu karang, tetapi kelompok-kelompok kecil karang hidup yang berada di dasar perairan akan ikut tersapu. Alhasil, produktivitas dan habitat biota pada dasar perairan akan terganggu dan rusak.    Kajian Dr. Nimmi Zulbainarni, S.Pi, M.Si, staf pengajar di Departemen Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 5 Kabupaten di Jawa Tengah pada 2016, menyatakan bahwa dampak ekonomi (kehilangan pendapatan) dan sosial (kehilangan pekerjaan) bagi pelaku usaha yang terkena pelarangan cantrang  di 5 wilayah kajian mencapai Rp 3,4 Triliun, dimana hampir 80% nya adalah nelayan cantrang.

Kemudian, berdasarkan hasil uji petik yang dilakukan di Indramayu, Tegal, dan Lamongan, ikan-ikan yang ditangkap adalah ikan-ikan ukuran kecil, ada yang layak dan tidak layak tangkap. Beberapa ikan juga didapatkan sebelum mencapai umur dewasanya, sehingga terindikasi adanya tangkapan biota yang belum matang.

Cantrang, Teman atau Lawan?
Sebagai kesimpulan, Dr. Nimmi menyampaikan penggunaan cantrang cukup dikendalikan dan diatur penggunaannya, khususnya mengenai ukuran mata jaring yang saat ini terlalu kecil serta penggunaan pemberat dan tali selambar. Melihat potensi kerugian bagi pelaku usaha perikanan, pelarangan cantrang sepenuhnya hanya akan memiskinkan nelayan.     Nelayan pengguna cantrang jelas menyampaikan keluhan terkait regulasi larangan penggunaan cantrang. Berbagai argumentasi dilontarkan, dari mulai ancaman produksi tangkapan ikan yang berkurang, masalah pembiayaan untuk penggantian alat tangkap, kehilangan pekerjaan, bahkan klaim bahwa cantrang adalah alat tangkap ikan yang ramah lingkungan.

Rentetan demo terus dilakukan hingga Presiden Jokowi dipaksa turun tangan.
Perwakilan dari nelayan yang mengatasnamakan Aliansi Nelayan Indonesia beberapa kali menyerukan dampak larangan cantrang terhadap kondisi nelayan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Aliansi Nelayan Indonesia menyampaikan bahwa  tidak hanya nelayan yang dirugikan, akan tetapi industri pengolahan ikan dan aktivitas di pelabuhan akan terdisrupsi. Maka dari itu, dampak ekonomi dan sosial yang terjadi dapat menjadi masif.

Cantrang, Teman atau Lawan?
Apabila melihat data Badan Pusat Statistik, pada 5 besar provinsi dimana nelayan cantrang beroperasi, mayoritas hasil tangkapan ikan dari tahun 2001-2015 menunjukkan tren pertumbuhan yang cukup signifikan.

Memang pada Provinsi Jawa Tengah, produksi perikanan tangkap sempat jatuh ke level 154.442 ton pada tahun 2007 akan tetapi setelah itu kembali menunjukkan tren pertumbuhan yang positif dan mencapai level 271.332 ton pada 2015
.

Cantrang, Teman atau Lawan?
Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan masing-masing mengalami pertumbuhan produksi dalam kurun waktu 2001-2015. Tren penurunan produksi perikanan tangkap hanya ditunjukkan oleh Provinsi Banten. Potensi penurunan hasil tangkap akibat larangan penggunaan cantrang tentu saja sangat mengancam nelayan cantrang dan industri perikanan terkait, padahal selama 14 tahun ini mereka menikmati pertumbuhan hasil tangkapan yang signifikan.

Hal inilah yang menjadi landasan utama perlawanan mereka terhadap aturan yang dikeluarkan Menteri Susi.
Namun, Tim Riset CNBC mencatat bahwa adanya pembiaran cantrang tanpa pengendalian pun berpotensi akan mengancam stok perikanan dalam jangka panjang. Apabila melihat catatan historis, Tragedi Bagan Siapiapi memberikan suatu pelajaran penting.

Kota Bagan Siapiapi merupakan kota nelayan, yang pada era 1980-an tercatat sebagai salah satu daerah penghasil ikan terbesar dan pelabuhan nelayan teramai di Indonesia. 
Namun, kejayaan tersebut tak bertahan hingga masa kini, terutama setelah mulai meredupnya hasil perikanan sejak tahun 1970-an. Potensi perikanan Selat Melaka memang masih tetap besar namun sebenarnya sudah over fishing.

Biang keladi penyebab over fishing ini adalah alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, yaitu trawl alias 'pukat harimau'. Maka dari itu, jangan sampai tragedi Bagan Siapiapi terulang kembali di Laut Jawa.  Meskipun cantrang bukanlah trawl, akan tetapi tanpa pengendalian yang kuat, modifikasi cantrang masa kini menyimpan potensi perusakan yang serupa dengan trawl      
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular