- IHSG menguat sementara mata uang rupiah babak belur pada perdagangan kemarin
- Wall Street mengakhiri tren negatif dengan menguat pada perdagangan kemarin
- Pelemahan rupiah, lesunya ekonomi China, dan ekspektasi kenaikan suku bunga di AS bisa membuat pasar keuangan RI tertekan
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak beragam pada perdagangan awal pekan, Senin (10/7/2023), Pasar saham mampu menguat sedangkan rupiah layu.
Pelemahan rupiah bisa membuat pasar keuangan RI makin tertekan pada hari ini. Selengkapnya mengenai sentimen penggerak pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 dan 4 artikel ini.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat pada perdagangan Senin (10/7/2023), meski ada sentimen negatif dari China, di mana inflasinya kembali menurun pada Juni 2023.
Hingga akhir perdagangan hari ini, IHSG menguat 0,22% ke posisi 6.731,04. IHSG masih bertahan di level psikologis 6.700 hingga akhir perdagangan.
Sektor properti menjadi kontributor terbesar penguatan IHSG yakni sebesar 2,25%. Selain itu, sektor energi juga menjadi leader IHSG yakni sebesar 1,14%.
Sementara saham yang menjadi leader sepanjang perdagangan kemarin adalah BYAN dengan indeks poin 2,96. Kemudian ada tiga bank besar yakni BBRI (2,73 indeks poin), BMRI (2,41 indeks poin), dan BBCA (1,67 indeks poin).
Kinerja positif IHSG terjadi saat inflasi China mengalami penurunan kembali pada Juni. Inflasi China turun ke level nol menegaskan pelemahan permintaan dan menambah kekhawatiran terhadap ancaman deflasi.
Berdasarkan data dari Biro Statistik Nasional (NBS) China, melaporkan indeks harga konsumen (consumer price index/CPI) tidak berubah atau 0 pada Juni 2023 dari tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).
Angka tersebut lebih rendah dari ekspektasi dalam survei ekonom yang memperkirakan inflasi sebesar 0,2% dan dibandingkan dengan angka Mei lalu sebesar 0,2% (yoy). Sedangkan CPI inti, yang tidak termasuk biaya makanan dan energi yang bergejolak, melambat menjadi 0,4%, dari 0,6%.
Di kawasan Asia IHSG tidak sendiri menguat, ada Indeks Hang Seng Hong Kong ditutup menguat 0,62% ke posisi 18.479,721, Shanghai Composite China bertambah 0,22% ke 3.203,7, dan Straits Times Singapura tumbuh 0,31% ke 3.149,32.
Sedangkan untuk indeks Nikkei 225 Jepang ditutup melemah 0,61% ke 32.189,699, ASX 200 Australia terkoreksi 0,54% ke 7.004, dan KOSPI Korea Selatan terpangkas 0,24% menjadi 2.520,7.
Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah untuk empat hari berturut-turut. Rupiah menutup data perdagangan berada di level Rp 15.190/US$ pada Senin (10/7/2023).
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Edi Susianto, mengungkapkan, pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bersamaan juga dengan mata uang negara Asia lainnya, kecuali baht Thailand dan rupee India.
Penyebab rupiah tersungkur dalam empat hari beruntun, kata Edi karena adanya faktor eksternal yang berasal dari AS dan China.
Pertama, Edi merinci, sentimen bahwa bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) diperkirakan masih akan hawkish, bahkan diperkirakan Fed Fund Rate (FFR) masih akan naik dua kali lagi sampai akhir tahun.
Kedua, yakni perkembangan data ekonomi baik di Uni Eropa dan China yang berada di bawah ekspektasi pasar.
Indeks utama Wall Street ditutup menguat pada perdagangan Senin (10/7/2023). Pembukaan positif karena investor bersiap untuk serangkaian data inflasi akhir pekan ini dan bersiap untuk memulai musim pendapatan kuartal kedua.
Indeks Dow Jones ditutuo melesat 209,52 poin atau 0,62% menjadi 33.944,4. Sementara S&P500 naik 0,24% ke 4.409,53 dan indeks Nasdaq menguat 0,18% menjadi 13.685,48.
Laporan indeks harga konsumen akan dirilis Rabu, diikuti oleh indeks harga produsen yang rilis Kamis.
Data inflasi minggu ini mengikuti laporan pekerjaan yang dirilis minggu lalu yang menimbulkan kekhawatiran atas potensi kenaikan suku bunga Federal Reserve.
Pekan lalu, S&P 500 turun1,16%, sedangkan Nasdaq Composite dan Dow masing-masing melemah 0,92% dan 1,96%.
Meskipun nonfarm payrolls tumbuh kurang dari yang diharapkan pada bulan Juni, pertumbuhan upah yang sedikit lebih kuat dari perkiraan menimbulkan kekhawatiran atas potensi kenaikan suku bunga Federal Reserve.
Tom Lee dari Fundstrat memperkirakan inflasi datang lebih ringan dari yang diharapkan, yang dapat memicu reli.
"Kami pikir peluang taktis muncul karena minggu lalu pasar menjual karena laporan pekerjaan terlalu kuat, imbal hasil benar-benar muncul. Jadi investor agak (takut) Fed lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama (dan) sedikit bearish untuk minggu ini, dan saya pikir CPI inti bisa mencapai 0,2 atau lebih baik," Lee, pendiri dan kepala penelitian di Fundstrat Global Advisors, seperti yang dikutip CNBC Internasional pada Senin (10/7/2023).
Investor juga memiliki banyak laporan pendapatan triwulanan untuk dipertimbangkan minggu ini. Raksasa keuangan BlackRock, JPMorgan Chase, Wells Fargo dan Citigroup semuanya akan melaporkan dan memulai musim pendapatan kuartal kedua.
IHSG menguat pada perdagangan kemarin, tapi tampaknya hari ini IHSG akan menemui tantangan karena beberapa sentimen yang cenderung negatif.
IHSG diperkirakan masih akan bergerak di rentang 6.700 sebagai support hingga 6.760 sebagai resisten terdekat.
Sentimen pertama dari luar negeri berasal dari China, di mana rilis inflasi menimbulkan kekhawatiran bahwa ekonomi Negeri Tirai Bambu tersebut masih belum kuat untuk pulih.
Berdasarkan data dari Biro Statistik Nasional (NBS) China, melaporkan indeks harga konsumen (consumer price index/CPI) turun menjadi 0% pada Juni 2023 (year-on-year/yoy), dari sebelumnya pada Mei lalu sebesar 0,2%.
Angka tersebut lebih rendah dari ekspektasi dalam survei ekonom yang memperkirakan inflasi sebesar 0,2% dan dibandingkan dengan angka Mei lalu sebesar 0,2% (yoy). Sedangkan CPI inti, yang tidak termasuk biaya makanan dan energi yang bergejolak, melambat menjadi 0,4%, dari 0,6%.
Secara bulanan (month to month/mtm), China mengalami deflasi 0,2% pada Juni. Artinya, deflasi terus terjadi dalam lima hari beruntun.
Data inflasi ini menambah bukti bahwa pemulihan ekonomi China tengah kehilangan momentum. Kekhawatiran deflasi telah meningkat dalam beberapa bulan terakhir, membebani kepercayaan konsumen.
Tentu saja daya beli yang lesu di China akan menjadi berbahaya bagi Indonesia, terutama untuk ekspor. China adalah pasar ekspor terbesar Indonesia, kala ekonomi lesu permintaan barang dikhawatirkan menurun sehingga akan berdampak menurunnya potensi capital flow ke Indonesia.
Adapun untuk inflasi produsen berdasarkan producer price index (PPI) China juga turun lebih cepat yaitu 5,4% (yoy), dibandingkan penurunan pada Mei lalu dan sebagai laju terdalam sejak Desember 2015.
Ahli Statistik NBS, Dong Lijuan memaparkan bahwa deflasi harga produsen dipicu oleh penurunan harga komoditas internasional yang berkepanjangan. Penurunan harga minyak dan batu bara yang terus berlanjut.
Kemudian, investor saat ini menanti rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) pada Rabu dan Kamis pekan ini. Data inflasi AS akan dirilis pada Rabu waktu setempat, sedangkan data PPI akan dirilis esok harinya.
Konsensus ekonom menyebut, inflasi tahunan AS per Juni turun menjadi 3,1% dari 4% pada bulan sebelumnya , dan menandai laju tahunan paling lambat sejak Maret 2021.
Inflasi inti tahunan juga diperkirakan akan melandai ke 5% dari bulan sebelumnya 5,3%.
Sementara inflasi produsen diproyeksikan naik 0,2% pada Juni, setelah turun 0,3% pada Mei.
PPI kemungkinan naik hanya 0,2% dari posisi tahun lalu, yang akan menandai kenaikan tahunan terkecil sejak September 2020, dan dibandingkan dengan puncak 11,7% pada Maret tahun lalu.
Sementara itu, sentimen dari dalam negeri masih terkait rupiah yang kembali berada di level Rp15.100 per dolar AS. Data Refinitiv menunjukkan rupiah sudah ambruk selama empat hari beruntun dengan pelemahan mencapai 1,32%. Nilai tukar rupiah saat ini adalah yang terendah sejak 23 Maret 2023.
Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro mengatakan pelemahan hingga 1% dalam lima perdagangan rupiah kemungkinan besar ini disebabkan oleh ketatnya likuiditas valas domestik.
"Kami mencatat pengambilan valas untuk repatriasi dividen masih belum selesai, dan serta kembalinya siklus impor setelah lebaran, terutama impor migas.' ungkap Satria kepada CNBC Indonesia.
"Ketatnya likuiditas valas domestik juga terlihat dari penurunan US$2 miliar dari cadangan devisa BI. Divergensi kebijakan moneter antara bank sentral global yang mayoritas hawkish dengan BI, yang masih bersifat dovish, juga berkontribusi pada pelemahan nilai tukar," sambungnya.
Sementara itu, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Edi Susianto mengungkapkan penyebab rupiah karena adanya faktor eksternal yang berasal dari AS dan China.
Pertama, Edi merinci, sentimen bahwa bank sentral AS Federal Reserve (The Fed) diperkirakan masih akan hawkish, bahkan diperkirakan Fed Fund Rate (FFR) masih akan naik dua kali lagi sampai akhir tahun. Kedua, yakni perkembangan data ekonomi baik di Uni Eropa dan China yang berada di bawah ekspektasi pasar.
"Kedua hal tersebut mendorong pelaku pasar cenderung melakukan langkah risk off, di mana preferensi investor asing untuk memegang aset dalam dolar AS mengalami peningkatan," jelas Edi kepada CNBC Indonesia, Senin (10/7/2023).
Sementara itu para pelaku pasar pesimis terhadap pertumbuhan ekonomi China karena inflasi yang mencapai 0% sehingga dapat berdampak ke Indonesia sebagai mitra dagang.
Pelemahan rupiah, kata Edi juga disebabkan karena adanya faktor internal, karena banyak investor asing yang menarik diri dari pasar keuangan domestik, terutama di pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Data Kementerian Keuangan menunjukkan kepemilikan SBN oleh investor asing per Jumat (7/7/2023) tercatat Rp 843,09 triliun atau 15,38%.
Kepemilikan tersebut turun sekitar Rp 3,8 triliun jika dibandingkan per akhir Juni. Pada akhir Juni lalu, porsi kepemilikan asing pada SBN masih tercatat 15,51% atau
846,89 triliun.
"Di mana sebelumnya inflow asing di pasar SBN relatif lumayan besar, dengan adanya sentimen di atas, menyebabkan investor asing melakukan koreksi atau outflow agak besar dalam tiga sampai empat hari terakhir," tutur Edi.
"Sehingga menyebabkan rupiah melemah cukup signifikan dalam kurun waktu tersebut. Mudah-mudahan koreksinya hanya bersifat temporer," kata Edi lagi.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data ekonomi pada Senin (10/7/2023):
- Indeks Keyakinan Konsumen Australia (7.30 WIB)
- Data Pengangguran Britania Raya (13.00 WIB)
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada Senin:
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) SBAT (10.00 WIB)
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) BOSS (14.00 WIB)
- Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) YELO (14.00 WIB)
Data Indikator Ekonomi Makro
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.