Newsletter

AS & China Ramai-Ramai Tenggelamkan Rupiah, Perlukah Panik?

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
11 July 2023 05:55
Petugas menghitung uang di tempat penukaran uang Luxury Valuta Perkasa, Blok M, Jakarta, Kamis, 21/7. Rupiah tertekan pada perdagangan Kamis (21/7/2022) (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Petugas menghitung uang di tempat penukaran uang Luxury Valuta Perkasa, Blok M, Jakarta, Kamis, 21/7. Rupiah tertekan pada perdagangan Kamis (21/7/2022) (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Sementara itu, sentimen dari dalam negeri masih terkait rupiah yang kembali berada di level Rp15.100 per dolar AS. Data Refinitiv menunjukkan rupiah sudah ambruk selama empat hari beruntun dengan pelemahan mencapai 1,32%. Nilai tukar rupiah saat ini adalah yang terendah sejak 23 Maret 2023.

Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro mengatakan pelemahan hingga 1% dalam lima perdagangan rupiah kemungkinan besar ini disebabkan oleh ketatnya likuiditas valas domestik.

"Kami mencatat pengambilan valas untuk repatriasi dividen masih belum selesai, dan serta kembalinya siklus impor setelah lebaran, terutama impor migas.' ungkap Satria kepada CNBC Indonesia.

"Ketatnya likuiditas valas domestik juga terlihat dari penurunan US$2 miliar dari cadangan devisa BI. Divergensi kebijakan moneter antara bank sentral global yang mayoritas hawkish dengan BI, yang masih bersifat dovish, juga berkontribusi pada pelemahan nilai tukar," sambungnya.

Sementara itu, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Edi Susianto mengungkapkan penyebab rupiah karena adanya faktor eksternal yang berasal dari AS dan China.

Pertama, Edi merinci, sentimen bahwa bank sentral AS Federal Reserve (The Fed) diperkirakan masih akan hawkish, bahkan diperkirakan Fed Fund Rate (FFR) masih akan naik dua kali lagi sampai akhir tahun. Kedua, yakni perkembangan data ekonomi baik di Uni Eropa dan China yang berada di bawah ekspektasi pasar.

"Kedua hal tersebut mendorong pelaku pasar cenderung melakukan langkah risk off, di mana preferensi investor asing untuk memegang aset dalam dolar AS mengalami peningkatan," jelas Edi kepada CNBC Indonesia, Senin (10/7/2023).

Sementara itu para pelaku pasar pesimis terhadap pertumbuhan ekonomi China karena inflasi yang mencapai 0% sehingga dapat berdampak ke Indonesia sebagai mitra dagang.

Pelemahan rupiah, kata Edi juga disebabkan karena adanya faktor internal, karena banyak investor asing yang menarik diri dari pasar keuangan domestik, terutama di pasar Surat Berharga Negara (SBN).
Data Kementerian Keuangan menunjukkan kepemilikan SBN oleh investor asing per Jumat (7/7/2023) tercatat Rp 843,09 triliun atau 15,38%.
Kepemilikan tersebut turun sekitar Rp 3,8 triliun jika dibandingkan per akhir Juni. Pada akhir Juni lalu, porsi kepemilikan asing pada SBN masih tercatat 15,51% atau
846,89 triliun.

"Di mana sebelumnya inflow asing di pasar SBN relatif lumayan besar, dengan adanya sentimen di atas, menyebabkan investor asing melakukan koreksi atau outflow agak besar dalam tiga sampai empat hari terakhir," tutur Edi.

"Sehingga menyebabkan rupiah melemah cukup signifikan dalam kurun waktu tersebut. Mudah-mudahan koreksinya hanya bersifat temporer," kata Edi lagi.

(ras/ras)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular