SWI: Jangan Percaya Testimoni Indosurya Cs, Kebanyakan Palsu!
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI), Tongam L Tobing menyinggung permasalahan investasi bodong yang dilakukan oleh Koperasi Sejahtera Bersama dan Indosurya. Ia pun memberi tips agar masyarakat tidak terjatuh di lubang yang sama.
Tongam mengatakan, ada dua hal yang harus diperhatikan seseorang sebelum melakukan investasi. Dua hal itu ia sebut sebagai 2L yaitu Legal dan Logis.
Legal dalam hal ini yaitu memperhatikan izin usaha dan produk yang ditawarkan. Sementara logis adalah melihat sisi return yang ditawarkan, bila menjanjikan keuntungan tinggi dengan harga murah, itu patut dicurigai.
Tongam menegaskan, jangan hanya melihat legalitas dari badan hukumnya saja tapi juga produknya. Banyak perusahaan bodong yang memang memiliki izin usaha dari Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) tapi tidak dari OJK.
"Misal ada Indosurya dan Sejahtera Bersama itu kan produknya tidak sesuai dengan prinsip Koperasi Simpan Pinjam. Itu mereka lakukan deposit taking bukan sesuai dengan simpanan koperasi," kata dia pada acara Kelas Investasi Detik Preneur, yang dilaksanakan di Institut Pertanian Bogor (IPB), Selasa, (28/2/2023).
Selain melihat sisi legal, masyarakat juga diminta logis jika mendapat tawaran investasi. Kadang, sosok marketing investasi bodong sering menawarkan produknya lewat testimoni.
"Paling sering itu kan testimoni. Padahal, itu palsu semua. Kadang diberikan memang testimoni. Tapi banyak yang palsu. Maka, logis juga jangan lupa," ungkap Tongam.
Sebelumnya, Sektor keuangan Indonesia tengah digemparkan oleh sejumlah kasus koperasi gagal bayar. Seperti Kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya yang menyebabkan kerugian sebesar Rp15 triliun dan KSP Sejahtera Bersama (KSP SB) yang menyebabkan kerugian sebesar Rp 8,8 triliun.
Hal ini telah membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) murka. Ia telah memanggil Menteri Koperasi dan UKM (MenkopUKM) Teten Masduki dan memerintahkannya untuk membentuk lembaga simpan pinjam (LPS) khusus koperasi.
Namun, tidak hanya kedua koperasi itu saja. KemenkopUKM menyebut setidaknya ada 8 kasus koperasi bermasalah yang menyebabkan nilai kerugian sebear Rp 26 triliun.
(RCI/dhf)