Jakarta, CNBC Indonesia - Kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya kembali menyedot perhatian publik. Terlebih, setelah putusan pengadilan yang membebaskan para tersangka hingga membuat enteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menko Polhukam) Mahfud MD geram.
Di sisi lain, Mahfud tak menampik masih ada celah besar yang dimanfaatkan para koperasi bodong, termasuk Indosurya yang hingga mampu mengumpulkan uang masyarakat selama bertahun-tahun. Bahkan, Indosurya menjadi kasus penipuan terbesar di Indonesia dengan nilai mencapai Rp 106 triliun.
Menurut Mahfud, undang-undang koperasi yang berlaku saat ini, yakni UU no 25 Tahun 1992 menetapkan bahwa koperasi memiliki wewenang mengawasi sendiri kegiatannya. Sehingga, pemerintah tidak bisa ikut memantau kegiatan koperasi.
Atas dasar itu, Mahfud meminta pengertian DPR agar dapat mempercepat revisi UU Koperasi.
"Mohon pengertiannya untuk merevisi UU Koperasi agar penipuan berkedok koperasi bisa segera diakhiri dan ditangkal pada masa yang akan datang," pinta Mahfud.
Itu merupakan solusi jangka panjang. Sedang untuk jangka pendek, Mahfud meminta agar kasus Indosurya dibuka kembali. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat korban kasus tersebut banyak, mencapai 23.000 orang.
Perintah tersebut merupakan kelanjutan atas hasil pertemuan bersama Kejagung, Polri, Menteri Koperasi dan UKM akhir pekan lalu. Pertemuan ini membahas soal putusan pengadilan yang membebaskan tersangka Indosurya, Henry Surya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kejagung) Ketut Sumendana membeberkan modus tersangka Henry Surya. Henry merupakan bos Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya.
Kasus tersebut menjadi kasus penipuan terbesar di Indonesia. Selama beroperasi, Indosurya berhasil menghimpun dana masyarakat hingga Rp 106 triliun.
Menurut Ketut, pengumpulan dana itu dilakukan selama 2012 hingga 2020 atas perintah Henry Surya. Selama delapan tahun ini, Henry membuka 2 kantor pusat dan 191 kantor cabang di seluruh Indonesia tanpa pemberitahuan kepada Kementerian Koperasi dan UKM serta tidak diketahui oleh anggota.
Aksi tersebut dibantu oleh Suwito Ayub dan Junie Indira yang belakangan juga divonis lepas oleh pengadilan. Sebanyak 23.000 nasabah pun berhasil terjaring.
"Berdasarkan hasil audit, nasabah yang tidak terbayarkan lebih dari 6.000 nasabah yang jumlah kerugiannya sebesar kurang lebih Rp 16 Triliun. Sehingga, perbuatan para pelaku sangat melukai hati masyarakat yang menjadi korban dari kegiatan KSP Indosurya," jelas Ketut dalam keterangan resmi yang diterima CNBC Indonesia, Selasa (31/1/2023).
Dana yang terkumpul menurut sebagian ia alokasikan ke 26 perusahaan cangkang miliknya. Sisanya dibelikan aset berupa tanah, bangunan dan mobil atas nama pribadi dan atas nama PT Sun Internasional Capital.
"Perbuatan HENRY SURYA, JUNIE INDIRA, dan SUWITO AYUB dengan dalih membuat koperasi simpan pinjam, semata-mata untuk mengelabui masyarakat yang membuat pengumpulan uang KSP Indosurya seolah-olah untuk kepentingan dan kesejahteraan para anggota. Padahal perbuatan tersebut dilakukan untuk menghindari adanya pengawasan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta menghindari proses perijinan penghimpunan dana masyarakat melalui Bank Indonesia," tutur Ketut.
Kejagung juga menyimpulkan, Indosurya tidak memiliki legal standing sebagai koperasi. Adapun alasannya adalah sebagai berikut.
a) Tidak pernah dilakukan rapat anggota yang memiliki kewenangan tertinggi minimal 1 tahun sekali sebagai bentuk pertanggungjawaban;
b) Anggota yang direkrut tidak memiliki kartu keanggotaan dan tidak pernah dilibatkan dalam mengambil keputusan penting seperti pembagian dividen / Sisa Hasil Usaha (SHU) setiap tahunnya dan perubahan nama koperasi menjadi KOSPIN Indosurya Cipta;
c) Produk yang dijual tidak masuk akal seperti simpanan berjangka yang nilai simpanannya mulai Rp50juta sampai jumlah tidak terbatas dengan iming-iming bunga 8,5% sampai 11,5 % yang tidak sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia.
Atas semua rekam jejak Indosurya yang seperti itu, Kejagung menilai vonis lepas Henry Surya adalah sangat keliru sebagaimana dalam Pasal 253 huruf a KUHAP yang berbunyi "Majelis Hakim dalam memutus perkara tersebut tidak menerapkan peraturan hukum sebagaimana mestinya", putusan Majelis Hakim tidak sejalan dengan tuntutan dari Penuntut Umum.
"Oleh karenanya, Penuntut Umum mengajukan upaya hukum KASASI dalam waktu 14 hari kedepan sebagaimana diatur dalam Pasal 245 KUHAP," tegas Ketut.
Menteri Koperasi & UMKM Teten Masduki mengatakan, pemerintah akan merevisi UU Koperasi No.25 Tahun 1992 tersebut. Revisi ini diharapkan akan membuat kontrol pemerintah mennjadi lebih kuat.
"(Revisi) agar ada kewenangan Kemenkop untuk mengawasi KSP dan ada sanksi pidana bagi manajemen koperasi yang nakal dan koperasi yang menjalankan jasa keuangan bukan hanya anggota yang diawasi oleh," terang Teten.
Ia menambahkan, undang-undang yang berlaku selama ini memberikan celah bagi KSP sehingga praktek shadow banking. Pihaknya akan meminta KSP mengubah kelembagaannya menjadi bukan lagi KSP melainkan jadi koperasi jasa keuangan di OJK.
"Sayangnya banyak KSP seperti itu berlindung dibalik "jati diri koperasi" yang menolak pengawasan di bawah OJK (di bawah UU P2SK). Tapi, kami sudah ada kesepakatan dg OJK dalam masa transisi 2 tahun ke depan mereka para KSP harus kembali KSP murni atau pindah ke open loop," terang Teten.