Jakarta, CNBC Indonesia - Pengawasan Devisa Hasil Ekspor (DHE) melibatkan tiga otoritas keuangan mulai dari Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan, hingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun, pengawasan belum maksimal karena sistem yang dipakai belum sepenuhnya terintegrasi.
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 98/PMK.04/2019, OJK, BI, dan Kementerian Keuangan memiliki peran yang berbeda.
Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) akan melakukan pengawasan pelaksanaan atas ekspor barang. BI akan bertugas melakukan pengawasan pelaksanaan atas kewajiban pemasukan DHE SDA ke dalam sistem keuangan Indonesia dan penggunaan DHE.
Sementara itu, OJK akan melakukan pengawasan escrow account pada bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing (valas).
Saat ini pengawasan DHE hanya dilakukan melalui pertukaran data. Belum ada sistem yang terintegrasi yang bisa dipakai secara bersamaan antara OJK, BI, dan DJBC. Hanya BI yang bisa melihat data transaksi DHE secara real time.
Sesuai aturan dan alur yang ada, DHE SDA harus dilaporkan paling lambat tiga bulan setelah melakukan ekspor.
 Foto: DJBC Konsep Pengawasan DHE SDA |
Eksportir dari sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan tersebut akan dikenai denda jika tidak melaporkan dan menempatkan DHE mereka hingga batas waktu yang ditentukan.
BI terlebih dahulu akan menghubungi eksportir untuk mengingatkan kewajiban eksportir. Jika tidak ada jawaban selama 3-4 bulan setelah batas waktu penempatan maka BI akan meminta DJBC menerbitkan surat tagihan.
"(Data dari BI) tidak diatur rutin, tidak. Itu dinamis. Kalau (ada pelanggaran) terus disampaikan ke kita. BI melaporkan ketika temuan aja, dikumpulkan, tidak satu-satu. Kapan dan transaksi kemana. Informasi itu gak ada di sistem yang ada di kami. Nyicil atau enggak kita gak ngerti, " tutur Kasubdit Ekspor Direktorat Teknis Kepabeanan DJBC Vita Budhi Sulistyo, saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Selasa (20/12/22).
Keterbatasan tersebut kerap menyulitkan DJBC karena selama proses penerbitan terjadi banyak perubahan. Di antaranya adalah eksportir sudah berpindah alamat, gulung tikar, atau berganti nama.
Padahal, DJBC sebagai pelaksana di lapangan adalah pihak yang akan melakukan penagihan. "Apakah yang sudah bersangkutan sudah membayar. Kapan dia menyelesaikan kadang kita gak bisa monitor. Karena sistem informasi kita mengacu dari sistem di BI. Karena itu penyelesaiannya di bank, gak ke kita," ujar Vita.
BI juga hanya memberikan surat tagihan secara berkala dan tidak ada jadwal yang ditentukan.
Sejak relaksasi denda berakhir dan sanksi pengenaan berlaku kembali pada 2021, BI baru mengirim lima kali surat tagihan. Total da 216 eksportir yang melanggar. Nilai sanksi diperkirakan mencapai Rp 53 miliar.
Dari penagihan senilai Rp 53 miliar banyak sebanyak 30% sudah dilakukan pelunasan.
Pelaksana Direktorat Teknis Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Riza Agustian Achmad menjelaskan keseluruhan denda sebesar Rp 53 miliar adalah karena eksportir belum melaporkan DHE. Tarif denda yang diberlakukan adalah 0,5% dari nilai DHE SDA yang belum ditempatkan ke dalam Rekening Khusus DHE SDA.
Dengan menghitung besaran tarif denda sebesar 0,5% dan total nilai denda sebesar Rp 53 miliar maka DHE yang belum dilaporkan mencapai Rp 10,6 triliun.
Nilai tersebut setara dengan US$ 680,14 juta bila dihitung dengan menggunakan kurs Rp 15.585/US$1.
BI dan Kementerian Keuangan bukan tidak menyadari keterbatasan tersebut. Kedua instansi kini tengah menyiapkan satu sistem yang bisa mengintegrasikan data DJB dan BI. Sistem tersebut diharapkan bisa sudah tercipta pada tahun depan sehingga pengawasan DHE bisa dimaksimalkan.
Kepala ekonom BCA David Sumual mengatakan langkah BI dan DJBC untuk mengintegrasi sistem pengawasan adalah inisiatif yang sangat baik.
"Ini inisiatif yang sangat baik dari kedua instansi. Perlu dibangun sistem informasi dan automasi agar info tentang DHE ini bisa ditindaklanjuti sehingga devisa ekspor kita optimal," tutur David, kepada CNBC Indonesia.
Terintegrasinya sistem pengawasan diharapkan juga bisa mempermudah untuk menindaklanjuti pelanggaran karena eksportir yang belum melaporkan DHE bisa langsung terbaca.
Senada, kepala ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro juga melihat integrasi data antara otoritas keuangan akan menjadi kunci dalam pengawasan DHE. "Kuncinya (pengawasan DHE) ada di data sharing atau pooling data ," tutur Andry, kepada CNBC Indonesia
Devisa Hasil Ekspor tengah menjadi pembicaraan hangat. Pasalnya, banyak DHE yang lebih banyak parkir di luar negeri. Kondisi ini berimbas pada semakin tergerusnya cadangan devisa (cadev) serta stabilitas nilai tukar.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan sampai meminta BI untuk membentuk mekanisme agar dolar AS di Tanah Air bertahan lebih lama. Banyaknya DHE yang diparkir di luar negeri membuat cadev justru terkuras di tengah lonjakan ekspor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia pada Januari-November 2022 menembus US$268,18 miliar atau naik 28,16% dibandingkan periode yang sama pada periode tahun lalu.
Cadev pada akhir November 2022 tercatat US$ 134 miliar. Jika menilik posisi cadev per Desember 2021 yang tercatat US$ 144,9 dan cadev per akhir November sebesar US$ 134 miliar maka pada tahun ini cadev sudah terkuras US$ 10,9 miliar.
Lebih besarnya bunga deposito dolar AS di Singapura merupakan salah satu faktor keringnya pasokan dolar di Tanah Air. Dengan iming-iming bunga yang lebih tinggi, eksportir Indonesia akan lebih tertarik menaruh pendapatan ekspor atau dana valas mereka di Singapura.
Secara aturan, Indonesia memang belum bisa memaksa eksportir untuk menahan DHE nya dalam jangka waktu tertentu atau mengkonversi dolar mereka.
Aturan yang ada hanya meminta eksportir untuk melaporkan dan memasukkan DHE ke bank dalam negeri. Tidak ada kewajiban untuk menahannya dalam jangka waktu tertentu sehingga DHE bisa keluar dengan cepat.
 Foto: Mandiri Institute Mandiri Spending Index |
Dalam beberapa bulan terakhir, bank-bank Singapura bersaing ketat dalam menarik dana nasabah, termasuk dari eksportir Indonesia.
UOB, misalnya, menawarkan bunga untuk deposito dolar AS sebesar 3,8 - 4,66% untuk tenor 1-12 bulan. Bandingkan dengan bunga deposito dolar AS di BCA yang ada di kisaran 0,75-1,75%
Bunga deposito dolar AS tenor 1-12 bulan di OCBC kini ada di 3,63- 4,55% sementara di DBS di 3,87 - 4,72%. Kisaran bunga tersebut berselisih hampir 2% dibandingkan tingkat bunga penjaminan valas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) 1 bulan yang di angka 1,75%, berlaku untuk periode 9 Desember 2022 hingga 31 Januari 2023.
TIM RISET CNBC INDONESIA