Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah melemah 5 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (4/11/2022), berada di Rp 15.735/US$. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak April 2020. Sepanjang pekan ini, rupiah melemah sekitar 1%, dan sepanjang 2022 sekitar 9%.
Dengan tekanan yang begitu besar, ada risiko rupiah akan terus melemah ke depannya. Bahkan tidak menutup kemungkinan menembus lagi Rp 16.000/US$.
Tekanan paling besar tentunya dari perkasanya dolar AS. Bank Indonesia (BI) juga mengakui kedigdayaan dolar AS terhadap sejumlah mata uang negara, termasuk nilai tukar rupiah. BI menyebut keperkasaan dolar AS memang tak terbantahkan.
Hal tersebut dikemukakan Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Kamis (3/11/2022). Perry mengatakan, hampir seluruh negara memang terkena dampak dari penguatan dolar AS.
"Dolar sangat super strong. Year to date sudah menguat, apresiasi hampir 20%," kata Perry.
Apresiasi yang dimaksud adalah indeks dolar AS yang saat ini berada di level tertinggi dalam 20 tahun terakhir.
Bank sentral AS (The Fed) kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin menjadi 3,75% - 4% pada Kamis (3/11/2022) dini hari waktu Indonesia. Suku bunga The Fed kini berada di level tertinggi sejak Januari 2008.
Saat konferensi pers ketua The Fed, Jerome Powell, mengindikasikan suku bunga bisa lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya.
"Kami masih memiliki beberapa kali kenaikan suku bunga lagi, dan data yang kami lihat sejak pertemuan terakhir menunjukkan tingkat suku bunga bisa lebih tinggi dari yang sebelumnya diperkirakan," kata Powell sebagaimana dilansir CNBC International.
Pasca penyataan tersebut, pelaku pasar melihat suku bunga The Fed bisa berada di 5,25% pada awal tahun depan. Hal tersebut terlihat di perangkat FedWatch milik CME Group, di mana pasar melihat ada probabilitas sebesar 46% suku bunga The Fed berada di 5% - 5,25% pada Maret 2023.
 Foto: FedWatch CME Group |
Semakin tinggi suku bunga, dolar AS akan semakin kuat, yield obligasi (Treasury) juga akan semakin tinggi.
Hal tersebut bisa memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia, yang pada akhirnya menambah tekanan bagi rupiah.
Hal ini disampaikan Faisal Rachman, Ekonom PT Bank Mandiri Tbk dalam risetnya, Kamis (3/11/2022). Menurutnya kenaikan suku bunga acuan AS dimungkinkan tidak akan berhenti di sini, namun sampai semester I-2023. Begitu juga dengan Eropa, karena masih tingginya inflasi.
"Semakin lama suku bunga tinggi meningkatkan ketidakpastian di pasar keuangan global, dan dengan demikian memicu arus keluar modal di pasar negara berkembang, termasuk pasar keuangan Indonesia, terutama di pasar SBN-nya," jelasnya
Sejak awal tahun hingga 27 Oktober 2022, berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI) outflow yang terjadi di pasar Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 177,08 triliun. Sementara di pasar saham masih inflow Rp 74,7 triliun. Faisal mengatakan, kaburnya asing membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bisa tertekan. Kini dolar AS sudah bertengger di level Rp15.600.
"Situasi ini memberikan tekanan pada stabilitas nilai tukar Rupiah meskipun harga komoditas yang tinggi memungkinkan Indonesia untuk terus mengalami serangkaian surplus perdagangan yang besar dan mencatat peningkatan aliran masuk FDI," papar Faisal. Bank Indonesia harus mengantisipasi ini dengan kenaikan suku bunga acuan, yang diperkirakan menjadi 5,50% pada akhir 2022 dan 5,75% tahun depan.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pasokan Valas Dalam Negeri Kering
Salah satu isu yang membuat rupiah sulit menguat adalah keringnya pasokan valuta asing di dalam negeri.
Keringnya pasokan valas terlihat dari cadangan devisa Indonesia yang terus menurun.
Awal Oktober lalu BI melaporkan posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir September 2022 mencapai US$ 130,8 miliar. Realisasi ini anjlok US$ 1,4 miliar dibandingkan posisi Agustus 2022 yang sebesar US$ 132,2 miliar.
"Penurunan posisi cadangan devisa pada September 2022 antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan untuk stabilisasi nilai tukar Rupiah sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global," tulis BI dalam siaran pers, Jumat (7/10/2022).
Cadangan devisa tersebut menjadi yang terendah sejak Mei 2020.
Jika melihat ke belakang, cadangan devisa Indonesia mencatat rekor tertinggi sepanjang masa US$ 146,9 miliar pada September 2021 lalu. Artinya, dalam setahun cadangan devisa sudah merosot US$ 16,1 miliar.
Yang menjadi perhatian adalah cadangan devisa yang terus menurun, sementara transaksi berjalan mencetak surplus hingga 29 bulan beruntun.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, surplus neraca perdagangan pada periode Januari - September 2022 mencapai US$ 39,87 miliar atau tumbuh sebesar 58,83%.
Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro melihat banyak pendapatan ekspor Indonesia disimpan di bank-bank Singapura di tengah-tengah fenomena surplus bertubi-tubi.
Salah satu cara untuk menambah pasokan devisa valas di dalam negeri yakni dengan penarikan utang melalui penerbitan global bond.
Di tahun ini, pemerintah telah menerbitkan global bond berdenominasi dolar AS senilai US$ 1,75 miliar pada Maret dan US$2,65 miliar pada September 2022.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, tanggal setelmen penerbitan global bond pada 20 September.
Dengan tambahan tersebut, nyatanya cadangan devisa pada September masih juga merosot. Artinya kebutuhan BI untuk melakukan intervensi menjaga stabilitas rupiah sangat tinggi.
BI akan melaporkan posisi cadangan devisa Oktober pada Senin (7/11/2022) pekan depan. Jika kembali terjadi penurunan tajam, tentunya akan memberikan sentimen negatif ke rupiah. Pasar akan semakin khawatir terjadi kekeringan valuta asing di dalam negeri.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pelaku Pasar Masih Getol Jual Rupiah
Sementara itu tekanan jual terhadap rupiah masih cukup tinggi, meski sudah mulai menurun. Hal ini terlihat dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters.
Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.
Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.
Survei terbaru yang dirilis Kamis (3/11/2021) menunjukkan angka untuk rupiah di 1,53, menurun ketimbang 2 pekan lalu 1,83. Posisi tersebut terbilang masih tinggi, dan menjadi salah satu yang terparah dibandingkan mata uang Asia lainnya.
Analisis Teknikal
Secara teknikal, rupiah yang disimbolkan USD/IDR terus tertekan sejak menembus ke atas rerata pergerakan 50 hari (moving average 50/MA50).
MA 50 merupakan resisten kuat, sehingga tekanan pelemahan akan lebih besar ketika rupiah menembusnya.
Rupiah kini sudah berada di atas Rp 15.450/US$ yang merupakan Fibonacci Retracement 38,2%. Level tersebut bisa menjadi 'gerbang keterpurukan' bagi rupiah, selama tertahan di atasnya. Terbukti, rupiah terus tertekan setelah menembus level tersebut.
Fibonacci Retracement tersebut ditarik dari titik terendah 24 Januari 2020 di Rp 13.565/US$ dan tertinggi 23 Maret 2020 di Rp 16.620/US$.
Selama tertahan di atas Fibonacci Retracement 32,5% tersebut rupiah berisiko terpuruk semakin jauh, menuju Rp 16.000/US$ atau di kisaran Rp 15.900/US$ yang merupakan FIb. Retracement 23,6%.
 Grafik: Rupiah (USD/IDR) Harian Foto: Refinitiv |
Resisten berada di kisaran Rp 15.760/US$ hingga Rp 15.800/US$. Jika ditembus dan tertahan di atasnya, rupiah dalam hitungan hari bisa menyentuh lagi Rp 16.000/US$.
Indikator Stochastic pada grafik harian sudah cukup lama berada di wilayah jenuh beli (overbought), juga memberikan peluang penguatan.
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Selama tertahan di bawah resisten Rp 15.760/US$ hingga Rp 15.800/US$, ada peluang rupiah menguat ke kisaran Rp 15.600/US$ hingga Rp 15.500/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA