CNBC Indonesia Research

Inilah Super Strong Dolar, Si Pembawa Malapetaka!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
04 November 2022 07:15
Dollar

Jakarta, CNBC Indonesia - Keperkasaan dolar Amerika Serikat (AS) di tahun ini sudah tidak bisa dipungkiri lagi. Bank Indonesia (BI) juga mengakui kedigdayaan dolar AS terhadap sejumlah mata uang negara, termasuk nilai tukar rupiah. BI menyebut keperkasaan dolar AS memang tak terbantahkan.

Hal tersebut dikemukakan Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Kamis (3/11/2022). Perry mengatakan, hampir seluruh negara memang terkena dampak dari penguatan dolar AS.

"Dolar sangat super strong. Year to date sudah menguat, apresiasi hampir 20%," kata Perry.

Apresiasi yang dimaksud adalah indeks dolar AS yang saat ini berada di level tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Indeks ini dibentuk dari enam mata uang yakni euro, yen, poundsterling, dolar Kanada, krona Swedia, franc Swiss, dan menjadi tolak ukur kekuatan dolar AS.

Semakin tinggi nilainya, maka semakin kuat dolar AS. Hampir semua mata uang di dunia ini bertekuk lutut di hadapan dolar AS.

Rupiah sepanjang tahun ini merosot nyaris 9%, tetapi banyak mata uang yang lebih buruk ketimbang rupiah. Di Asean rupiah menjadi yang terbaik kedua setelah dolar Singapura.

Mata uang major bahkan jeblok hingga dobel digit. Euro dan poundsterling tercatat jeblok lebih dari 13% dan 15%, yen menjadi yang terburuk setelah ambrol lebih dari 22%.

Dari semua mata uang, peso Argentina yang paling parah, ambles nyaris 35%. Hanya rubel Rusia, real Brasil dan pesi Meksiko yang mampu menguat melawan dolar AS di tahun ini.

Pelemahan mata uang sebenarnya akan menguntungkan, khususnya bagi negara eksportir. Sebab, produk yang dihasilkan akan menjadi lebih kompetitif. Tetapi, jika pelemahannya parah tentunya akan menimbulkan masalah, yakni meroketnya inflasi. Lihat saja inflasi di Turki yang menembus 85% akibat kurs lira yang jeblok lebih dari 28%.

Yen Jepang yang anjlok parah langsung direspon oleh pemerintah Jepang dengan melakukan intervensi untuk pertama kalinya sejak 1998 guna meredam kemerosotannya. Bahkan Kementerian Keuangan Jepang melaporkan pada Oktober lalu menggelontorkan US$ 43 miliar untuk meredam kemerosotan yen yang menyentuh level terlemah sejak 1990.

Kemerosotan nilai tukar mata uang memang menjadi salah satu pemicu inflasi. Jika terus dibiarkan maka inflasi bisa lepas kendali, dan malapetaka lah yang terjadi.

Inflasi tinggi akan memukul daya beli masyarakat, yang pada akhirnya membuat perekonomian merosot.

Inflasi tinggi membuat bank sentralnya agresif menaikkan suku bunga, seperti yang terjadi saat ini.

Lihat saja bagaimana langkah agresif bank sentral di berbagai negara dalam menaikkan suku bunga guna meredam inflasi yang mencapai level tertinggi dalam beberapa dekade terakhir.

Saat suku bunga tinggi, ekspansi dunia usaha dan konsumsi rumah tangga akan terhambat.

Dua faktor tersebut akan membawa perekonomian memasuki resesi. Bahkan, di tahun depan resesi berjamaah diprediksi akan terjadi.

Malapetaka lebih parah akan muncul, saat dunia mengalami resesi, dolar AS yang menyandang status safe haven akan menjadi buruan investasi. Hal ini berisiko membuat dolar AS terus digdaya.

Inflasi di berbagai negara bisa jadi akan sulit turun. Jika inflasi tidak juga turun, maka stagflasi berkepanjangan yang akan terjadi, dan ini lebih buruk ketimbang resesi.

HALAMAN SELANJUTNYA >>>  "Kebangkrutan Besar-besaran & Krisis Finansial Berlarut"

Tidak seperti resesi yang sering terjadi, stagflasi cukup langka. Istilah stagflasi pertama kali muncul pada 1970an di Amerika Serikat (AS), dan belum lagi pernah terjadi.

Stagflasi merupakan periode pelambatan atau stagnannya perekonomian disertai dengan inflasi yang tinggi. Sementara resesi merupakan kontraksi pertumbuhan ekonomi setidaknya dalam dua kuartal beruntun.

Efek keduanya sama-sama buruk bagi perekonomian maupun masyarakat, tetapi stagflasi bisa lebih parah.

Ketika inflasi tinggi dan produk domestik bruto (PDB) melambat atau stagnan, maka perlahan-lahan kondisi ekonomi akan semakin memburuk atau 'mati pelan-pelan'.

Saat kondisi perekonomian memburuk, pemutusan hubungan kerja (PHK) akan terjadi secara masif, dan tingkat pengangguran akan meroket. Inflasi dan tingkat pengangguran yang tinggi bisa menjadi ciri khas dari stagflasi. Sebab, keduanya biasanya berkebalikan.

Ekonom Nouriel Roubini, atau yang dikenal dengan Dr. Doom, ketika sukses memprediksi krisis finansial 2008, kini memproyeksikan resesi panjang dan buruk.

"Ini tidak akan menjadi resesi yang singkat dan dangkal, ini akan menjadi resesi yang parah, panjang dan buruk," kata Roubini, sebagaimana dilansir Fortune, Rabu (21/9/2022).

Ia melihat kondisi ekonomi saat ini mirip dengan 2007/2008, dilihat dari tingginya utang negara dan korporasi. Menurut Roubini angka rasio jumlah utang swasta dan publik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) global yang telah melonjak dari 200% pada 1999 menjadi 350% tahun ini.

Artinya ada risiko resesi yang terjadi gabungan antara 1970an dan 2008, dan ini bisa sangat mengerikan.

Dalam artikel Majalah Time yang terbit Kamis (13/10/2022), Dr. Doom mengatakan dunia akan menuju "kebangkrutan besar-besaran dan krisis finansial yang berlarut-larut".

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular