CNBC Indonesia Research

Suku Bunga The Fed Bisa 5,25%, Selamat Datang Lagi Resesi!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
03 November 2022 13:40
Jerome Powell
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin menjadi 3,75% - 4% pada Kamis (3/11/2022) dini hari waktu Indonesia.

Suku bunga The Fed kini berada di level tertinggi sejak Januari 2008.

Kenaikan tersebut sudah diantisipasi pelaku pasar jauh-jauh hari sebelumnya, proyeksi ke depannya lah yang paling dinanti. Sayangnya bank sentral paling powerful di dunia ini belum memberikan kejelasan, pasar pun bingung.

Pergerakan yield obligasi AS (Treasury), indeks dolar dan emas menunjukkan pelaku pasar belum bisa memastikan ke mana arah The Fed selanjutnya.

Saat awal pengumuman suku bunga, yield Treasury dan indeks dolar AS mengalami penurunan, sementara emas melesat hingga 1,3% ke US$ 1.669/troy ons

Namun, saat konferensi pers ketua The Fed, Jerome Powell, semuanya berbalik arah. Emas justru berakhir melemah 0,77% ke US$ 1.634/troy ons. Yield Treasury sempat menanjak sebelum berakhir nyaris stagnan di kisaran 4,06%, begitu juga dengan indeks dolar AS.

Kebingungan para investor terjadi melihat statement The Fed yang dirilis serta pernyataan Powell dalam konferensi pers.

The Fed memberikan sinyal akan adanya kemungkinan perubahan kebijakan yang awalnya disambut baik pelaku pasar. The Fed menyatakan dalam menentukan kenaikan suku bunga ke depannya akan memperhitungkan seberapa besar kenaikan suku bunga yang sudah dilakukan, efeknya terhadap kegiatan ekonomi dan inflasi, serta perkembangan kondisi perekonomian dan finansial.

Sementara itu, Powell justru mengindikasikan suku bunga bisa lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya.

"Kami masih memiliki beberapa kali kenaikan suku bunga lagi, dan data yang kami lihat sejak pertemuan terakhir menunjukkan tingkat suku bunga bisa lebih tinggi dari yang sebelumnya diperkirakan," kata Powell sebagaimana dilansir CNBC International.

Pasca penyataan tersebut, pelaku pasar melihat suku bunga The Fed bisa berada di 5,25% pada awal tahun depan. Hal tersebut terlihat di perangkat FedWatch milik CME Group, di mana pasar melihat ada probabilitas sebesar 46% suku bunga The Fed berada di 5% - 5,25% pada Maret 2023.

idrFoto: FedWatch CME Group

Dengan tingkat suku bunga yang semakin tinggi, maka peluang Amerika Serikat untuk lepas dari resesi atau soft landing di 2023 semakin menyempit. Hal itu juga diakui oleh Powell.

"Apakah peluang soft landing semakin kecil? iya. Apakah itu masih mungkin terjadi? tentu saja," kata Powell.

Tetapi Powell untuk bisa menghindarkan perekonomian AS dari resesi di 2023 adalah pekerjaan yang sangat berat, sebab suku bunga masih perlu dinaikkan tinggi guna meredam inflasi.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Amerika Serikat OTW Double Dip Recession

Pernyataan Powell menguatkan prediksi Amerika akan mengalami double dip recession. Produk domestik bruto (PDB) Paman Sam sebelumnya mengalami kontraksi pada kuartal I dan II lalu, sebelum tumbuh 2,6% di kuartal III-2022.

Kontraksi PDB dalam 2 kuartal beruntun secara teknis sudah disebut resesi. Namun, resesi di awal tahun ini ringan, bahkan mungkin belum terasa sebab pasar tenaga kerja AS masih sangat kuat, tetapi yang parah akan datang.

Survei terbaru yang dilakukan Wall Street Journal terhadap para ekonom menunjukkan sebanyak 63% memprediksi Amerika Serikat akan mengalami resesi 12 bulan ke depan. Persentase tersebut naik dari survei bulan Juli sebesar 49%.

Double dip recession pernah dialami Amerika Serikat pada 1980an. Resesi pertama terjadi pada kuartal I sampai III-1980, kemudian yang kedua pada kuartal III-1981 dan berlangsung hingga kuartal IV-1982.

Tidak hanya Amerika Serikat, banyak negara diperkirakan akan mengalami resesi tahun depan.

Ekonom Nouriel Roubini, atau yang dikenal dengan Dr. Doom, ketika sukses memprediksi krisis finansial 2008, kini memproyeksikan resesi panjang dan buruk.

"Ini tidak akan menjadi resesi yang singkat dan dangkal, ini akan menjadi resesi yang parah, panjang dan buruk," kata Roubini, sebagaimana dilansir Fortune, Rabu (21/9/2022).

Ia melihat kondisi ekonomi saat ini mirip dengan 2007/2008, dilihat dari tingginya utang negara dan korporasi. Menurut Roubini angka rasio jumlah utang swasta dan publik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) global yang telah melonjak dari 200% pada 1999 menjadi 350% tahun ini.

Artinya ada risiko resesi yang terjadi gabungan antara 1970an dan 2008, dan ini bisa sangat mengerikan.

Dalam artikel Majalah Time yang terbit Kamis (13/10/2022), Dr. Doom mengatakan dunia akan menuju "kebangkrutan besar-besaran dan krisis finansial yang berlarut-larut".

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Indonesia Jauh Dari Resesi

Dunia boleh terancam resesi di 2023, tetapi Indonesia hampir pasti tidak akan mengalaminya jika melihat proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun depan. Data terbaru dari sektor manufaktur Indonesia menguatkan proyeksi Indonesia jauh dari kata resesi.

Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo menuturkan ekonomi Indonesia akan tumbuh sebesar 4-5% pada tahun depan.

"Kita punya optimisme, ekonomi kita masih akan terus tubuh, di tengah negara maju bayak yang sudah mengatakan kita siap masuk resesi. Di regional mungkin Indonesia termasuk sedikit negara yg tumbuh pada kisaran 4-5%," paparnya dalam acara GNPIP, Senin (31/10/2022).

Jika mengacu pada ramalan Dana Moneter Internasional (IMF), Indonesia sendiri masih berpeluang tumbuh 5,3% tahun ini dan sedikit melambat menjadi 5% pada tahun depan. Pertumbuhan ini jauh di atas China dan AS.

China diperkirakan mengalami tumbuh 3,2% pada 2022 dan sedikit meningkat sebesar 4,4% pada 2023.

Sementara itu, AS akan tumbuh 1,6% pada 2022 dan kemudian turun menjadi 1% pada 2023.

Salah satu yang mendukung proyeksi tersebut adalah sektor manufaktur Indonesia yang terus menunjukkan ekspansi. Industri pengolahan merupakan penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar berdasarkan lapangan usaha, kontribusinya hampir 18% di kuartal II-2022.

S&P Global pada Selasa (1/11/2022) pagi melaporkan purchasing managers' index (PMI) manufaktur Indonesia tumbuh 51,8 pada Oktober. Meski turun cukup dalam dari bulan sebelumnya 53,7 tetapi masih berada di atas 50.

Angka di atas 50 artinya ekspansi, sementara di bawahnya adalah kontraksi.

Jika dilihat lebih detail, laporan S&P global menyatakan tingkat keyakinan bisnis naik ke level tertinggi sejak Maret. Hal ini tentunya menjadi kabar yang sangat bagus di tengah isu resesi dunia, nilai tukar rupiah yang terpuruk dan Bank Indonesia (BI) yang terus mengerek suku bunga acuannya dalam 3 bulan beruntun sebesar 125 basis poin menjadi 4,75%.

Saat suku bunga acuan naik, berisiko menghambat ekspansi dunia usaha, sebab suku bunga kredit, baik investasi maupun modal kerja, akan mengalami kenaikan.

Kenaikan tingkat keyakinan bisnis dalam kondisi tersebut memberikan harapan ekspansi sektor manufaktur akan terus berlanjut.

"Tingkat keyakinan usaha manufaktur terus menunjukkan peningkatan hingga mencapai level tertinggi sejak Maret. Perusahaan berharap kondisi ekonomi akan membaik yang bisa mendorong penjualan. Selain itu, dunia usaha juga terus menambah input dan merekrut tenaga kerja di awal kuartal IV-2022 yang merefleksikan ekspektasi positif terkait output ke depannya," kata Jingyi Pan, Economic Associate Director di S&P Global Market Intelligence, dalam rilis hari ini.

Perekrutan tenaga kerja memang terus dilakukan, tetapi berada di level terendah sejak Mei. Sementara itu tekanan inflasi dilaporkan mereda. Hal ini tentunya menjadi kabar baik.

Kenaikan harga memang masih terjadi, tetapi sudah melandai ketimbang September.

Meredanya tekanan inflasi tersebut juga terkonfirmasi oleh laporan Badan Pusat Statistik (BPS).

Kemarin, BPS melaporkan inflasi Indonesia pada Oktober 2022 mencapai 5,71% secara year on year (yoy), lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yaitu 5,95%.

"Inflasi di Oktober ini terlihat mulai melemah. Pada Oktober 2022 terjadi inflasi sebesar 5,71%," kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa (Disjas) BPS, Setianto dalam konferensi pers, Selasa (1/11/2022).

Setianto mengemukakan laju inflasi nasional saat ini masih jauh lebih baik dibandingkan negara lainnya, terutama negara G-20.

Setianto mengatakan, inflasi AS mencapai 8,2%, Jerman mencapai 10%, dan Turki menembus 83,5%. Sementara itu, inflasi di Korea Selatan mencapai 5,6%, dan Jepang menembus 16,8% khusus inflasi di sektor energi.

"Secara global, tekanan inflasi masih cukup tinggi di negara G20," kata Setianto.

Inflasi menjadi faktor yang paling penting untuk dikendalikan saat ini. Sebab, terkait dengan daya beli masyarakat. Semakin tinggi inflasi maka daya beli masyarakat akan menurun, dan berdampak ke pertumbuhan ekonomi.

Belanja rumah tangga merupakan penyumbang PDB terbesar berdasarkan pengeluaran, pada kuartal II-2022 kontribusinya lebih dari 51%.

Dengan inflasi yang bisa dikendalikan, maka perekonomian yang terus tumbuh dan semakin menjauhi resesi.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular