Newsletter

Resesi Sudah Basi? Dow Jones Cetak Kinerja Terbaik Sejak 1976

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
01 November 2022 06:00
wall street
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sukses mencatat penguatan pada perdagangan Senin (31/10/2022) atau di perdagangan terakhir Oktober. Sayangnya kenaikan IHSG tidak diikuti rupiah yang justru melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS), sedangkan SBN bervariasi.

Pada perdagangan Selasa (1/11/2022), atau hari pertama November, ada peluang IHSG, rupiah dan SBN kompak menguat. Sebab, ada rilis data aktivitas sektor manufaktur dan inflasi dari dalam negeri, serta harapan bank sentral AS (The Fed) akan mengendurkan laju kenaikan suku bunganya.

Ulasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan pasar finansial dalam negeri akan dibahas pada halaman 3 dan 4.

Kembali pada perdagangan kemarin, IHSG tercatat mampu menguat 0,61% ke 7.098,89. Sepanjang Oktober IHSG tercatat menguat 0,83%.

Investor asing tercatat melakukan aksi beli bersih (net buy) senilai Rp 916 miliar. dan jika ditambahkan pasar nego dan tunai, nilainya mencapai Rp 963 miliar. Jika dilihat sepanjang bulan lalu, net buy tercatat hingga Rp 10,2 triliun di semua pasar, tetapi di pasar reguler terjadi net sell sebesar Rp 900 miliar.

Sementara itu rupiah tercatat melemah 0,3% kemarin ke Rp 15.595/US$. Sepanjang Oktober pelemahannya sebesar 2,4%, dan membukukan pelemahan 3 bulan beruntun.

The Fed yang akan mengumumkan kebijakan moneter di pekan ini membuat rupiah kesulitan menguat. Pelaku pasar menanti kepastian apakah Jerome Powell dan kolega masih akan terus agresif ke depannya atau tidak.

Rupiah dan SBN menjadi 'korban' agresivitas The Fed di tahun ini. Sementara IHSG masih mampu menguat berkat tingginya harga komoditas, serta kinerja keuangan emiten yang apik.

Kenaikan suku bunga The Fed hingga 300 basis poin di tahun ini membuat indeks dolar AS melesat ke level tertinggi dalam 20 tahun terakhir, rupiah menjadi sulit menguat. Imbal hasil (yield) obligasi AS (Treasury) juga mengalami kenaikan, alhasil SBN juga mengalami tekanan.

Senin kemarin, dari pasar obligasi hanya tenor 1, 3 dan 30 tahun mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari pergerakan yield yang mengalami penurunan.

Pergerakan obligasi berbanding terbalik dengan harganya, Ketika harga naik maka yield akan turun, begitu juga sebaliknya.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Dow Jones Catat Bulan Terbaik Sejak 1976

Bursa saham Amerika Serikat (AS) melemah di perdagangan terakhir Oktober. Meski demikian, Wall Street mencatat rebound yang cukup signifikan di Oktober, sekaligus mengakhiri pelemahan 2 hari beruntun.

Pada Senin (31/10/2022), indeks Dow Jones berakhir melemah 0,4% ke 32.732,95, kemudian S&P 500 0,8% ke 3.871,98 dan Nasdaq merosot 1,% ke 10.988,15.

Sepanjang Oktober, indeks Dow Jones tercatat melesat nyaris 14%, menjadi kenaikan bulanan terbesar sejak 1976. S&P 500 dan Nasdaq masing-masing menguat 8% dan 4% bulan ini.

Kenaikan tersebut terjadi meski para raksasa teknologi Amerika Serikat membukukan kinerja keuangan yang buruk di kuartal III-2022.

Amazon, Alphabet, Microsoft dan Meta semuanya melaporkan kinerja yang di bawah ekspektasi pasar. Meski demikian, Wall Street akan mampu mencatat penguatan bulan ini.

Para pelaku pasar kini menanti pengumuman kebijakan moneter The Fed pada Kamis (3/10/2022) dini hari waktu Indonesia.

Bank sentral paling powerful di dunia ini diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 3,75% - 4%.

Tetapi pelaku pasar akan melihat apakah The Fed setelahnya akan menghentikan sementara kenaikan suku bunganya, atau menurunkan agresivitasnya.

Beberapa bank sentral AS ini sudah mulai mengendur, dan beberapa pejabat The Fed juga sudah mengungkapkan keinginan untuk mengendurkan laju kenaikan suku bunga. Sebabnya, ada risiko perekonomian AS akan kembali mengalami double dip recession.

Kontraksi produk domestik bruto (PDB) dalam 2 kuartal sebelumnya secara teknis sudah disebut resesi. Namun, resesi Amerika Serikat di awal tahun ini ringan, bahkan mungkin belum terasa sebab pasar tenaga kerja AS masih sangat kuat, tetapi yang parah akan datang. Kemudian, pada kuartal III-2022, PBB AS mampu tumbuh sehingga lepas dari resesi. Tetapi, risiko kembali mengalaminya, bahkan lebih parah alias double dip recession sangat besar jika suku bunga terus dinaikkan dengan agresif. 

Harapan The Fed akan mengendurkan laju kenaikan suku bunga tersebut menjadi salah satu pemicu Wall Street mampu melesat di Oktober.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini

Wall Street yang melemah Senin kemarin tentunya menjadi kabar kurang bagus bagi pasar finansial Indonesia pada Selasa (1/11/2022).

Namun, harapan akan berakhirnya era kenaikan suku bunga yang agresif bisa menjadi sentimen positif ke pasar finansial dalam negeri.

Bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) akan mengumumkan kebijakan moneternya pada siang ini. Pada pengumuman Oktober lalu, RBA mengejutkan pasar dengan menaikkan suku bunga 25 basis poin menjadi 2,6%. Terbilang mengejutkan, sebab pasar memperkirakan RBA akan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin.

Sementara untuk hari ini, pasar melihat RBA akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin, sesuatu yang dianggap normal.

Pada pekan lalu, giliran bank sentral Kanada (Bank of Canada/BoC) yang mengejutkan dengan kenaikan suku bunga suku bunga 50 basis poin menjadi 3,5%, lebih rendah dari ekspektasi pasar 75 basis poin.

BoC bahkan mengatakan, periode kenaikan suku bunga sebentar lagi akan berakhir, sebab perekonomiannya diperkirakan akan stagnan dalam 3 kuartal ke depan.

Dua bank sentral utama dunia yang mulai mengendurkan kenaikan suku bunganya tentunya membuat pelaku pasar melihat bank sentral AS (The Fed) bisa melakukan hal yang sama.

The Fed akan mengumumkan kebijakan moneter pada Kamis (3/11/2022) dini hari waktu Indonesia. bank sentral pimpinan Jerome Powell ini diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 3,75% - 4%.

Pasar sudah jauh-jauh hari mengantisipasi kenaikan tersebut, jika The Fed juga memberi kejutan, tentunya akan berdampak positif ke pasar finansial global, termasuk Indonesia.

Pun, jika tidak ada kejutan, pasar akan melihat bagaimana proyeksi kenaikan ke depannya, apakah akan dikendurkan juga, mengingat pendapat para pejabat The Fed sudah terbelah.

Presiden The Fed San Francisco Mary Daly adalah salah satu pejabat yang menyuarakan keinginan agar The Fed bisa mengendurkan laju kenaikan suku bunga. Menurutnya, pelonggaran kebijakan diperlukan untuk mencegah ekonomi AS melambat lebih dalam.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Cermati Sentimen Penggerak Pasar Hari Ini (2)

Dari dalam negeri, pelaku pasar menanti rilis data inflasi Oktober. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 institusi memperkirakan inflasi Oktober akan menembus 0,08% dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/mtm). Inflasi bulanan Oktober jauh lebih kecil dibandingkan yang tercatat pada September yakni 1,17% (mtm).

Hasil polling juga memperkirakan inflasi secara tahunan (year on year/yoy) akan sebesar 5,95% atau sama dengan pertumbuhan September. Hasil polling tersebut lebih rendah ketimbang yang dilakukan Reuters sebesar 6% (yoy).

Ekonom BNI Sekuritas Damhuri Nasution mengatakan dampak lanjutan (second round effect) kenaikan harga BBM Subsidi masih ada.

"Second round effect kenaikan harga BBM bersubsidi pada bulan September masih ada pada bulan Oktober, terutama di sektor transportasi seperti tarif angkutan kota dan antar kota di beberapa daerah, dan lain-lain," ujar Damhuri, kepada CNBC Indonesia.

Namun, melandainya harga sejumlah komoditas pangan membuat inflasi bisa ditekan.

"Penurunan harga beberapa bahan kebutuhan pokok seperti cabai, bawang, minyak goreng dan lain-lain menjadi penahan inflasi ke level yang lebih tinggi," tuturnya.

Inflasi yang mulai melandai tentunya menjadi kabar baik, daya beli masyarakat masih bisa dijaga dan mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi.

Selain itu ada rilis data Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur bulan Oktober. September lalu PMI manufaktur tercatat naik menjadi 53,7 dan sudah naik dalam 3 bulan beruntun.

Jika laju ekspansi kembali meningkat, tentunya akan berdampak bagus ke pasar finansial. Sebab bisa menunjukkan optimisme pelaku usaha meski suku bunga sudah mulai dinaikkan oleh Bank Indonesia (BI) dan nilai tukar rupiah yang terpuruk.

Sektor industri pengolahan merupakan penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar berdasarkan lapangan usaha, kontribusinya hampir 18% di kuartal II-2022. Sementara dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga menjadi yang terbesar, dengan kontribusi lebih dari 51%.

Oleh karena itu, sangat penting menjaga inflasi agar tidak lepas kendali, sehingga Indonesia tidak mengalami resesi. Indonesia menjadi satu dari sedikit negara yang diprediksi tidak mengalami resesi di tahun depan. 

Jika mengacu pada ramalan Dana Moneter International (IMF), Indonesia sendiri masih berpeluang tumbuh 5,3% tahun ini dan sedikit melambat menjadi 5% pada tahun depan. Pertumbuhan ini jauh di atas China dan AS.

China diperkirakan mengalami tumbuh 3,2% pada 2022 dan sedikit meningkat sebesar 4,4% pada 2023. Sementara itu, AS akan tumbuh 1,6% pada 2022 dan kemudian turun menjadi 1% pada 2023.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Simak Rilis Data dan Agenda Hari Ini

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Neraca perdagangan Korea Selatan (7:00 WIB)
  • PMI manufaktur Indonesia (7:30 WIB)
  • PMI manufaktur Jepang (7:30 WIB)
  • PMI manufaktur China versi Caixin (8:45 WIB)
  • Inflasi Indonesia (11:00 WIB)
  • PMI manufaktur Amerika Serikat (21:00 WIB)
  • Pembukaan lapangan kerja Amerika Serikat (21:00 WIB)

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  • Public expose : HMSP, BNGA
  • RUPS: SHID, WIFI

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q2-2022 YoY)

5,44%

Inflasi (September 2022 YoY)

5,95%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2022)

4,75%

Surplus Anggaran (APBN 2022)

3,92% PDB

Surplus Transaksi Berjalan (Q2-2022 YoY)

1,1% PDB

Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q2-2022 YoY)

US$ 2,4 miliar

Cadangan Devisa (September 2022)

US$ 130,8 miliar

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular