CNBC Indonesia Research
Indonesia Raja Minyak Sawit yang 'Diatur' Malaysia! Kok Bisa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia merupakan produsen terbesar minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) di dunia, tapi sayangnya hingga saat ini harga CPO masih ditentukan oleh Malaysia.
Sejatinya, sawit berasal dari Afrika Barat dan bukan tanaman asli Indonesia. Melansir data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), kelapa sawit pertama kali diperkenalkan orang Belanda ke Indonesia dan ditanam di Kebun Raya Bogor pada 1848.
Kelapa sawit akhirnya mulai digemari karena pertumbuhan perkebunan yang relatif sangat cepat, produksi minyaknya yang melimpah dan murah ketimbang minyak nabati lain seperti kedelai, jagung, dan bunga matahari.
Pada 1980-an, luas pertanaman kelapa sawit di Tanah Air masih seluas 200.000 ha dan sebagian besar adalah tanaman warisan pemerintah colonial Belanda. Namun, perkebunan kelapa sawit tumbuh pesat.
Bahkan sejak 2006, produksi CPO di Indonesia telah berhasil menyaingi negara tetangga Malaysia. Hingga saat ini, Indonesia menduduki peringat pertama sebagai produsen CPO dunia terbesar. Jika melansir data dari Badan Pusat Statistik (BPS), produksi CPO pada 2021 mencapai 46,2 juta ton, sedangkan produksi CPO Malaysia berada di 18 juta ton.
Porsi ekspor CPO pun sangat besar hingga 34,23 juta ton pada 2021, jika mengacu pada data yang dihimpun oleh GAPKI. Hal tersebut membuat CPO menjadi salah satu komoditas pemasok utama untuk neraca perdagangan Indonesia.
Produksi CPO Tanah Air yang cukup banyak tentunya merupakan prestasi yang baik, tapi jika ditelusuri lebih dalam sebenarnya prestasi tersebut belum cukup. Pasalnya, Malaysia masih menjadi juru kunci yang menentukan naik turunnya harga CPO dunia melalui Bursa Malaysia Derivatives (BMD).
Bukan tanpa alasan, pengaruh BMD dalam penetapan harga sawit global cukup masuk akal mengingat Negeri Jiran sebelumnya merupakan negara penghasil CPO terbesar dunia sebelum akhirnya Indonesia menyalip posisinya yang selama bertahun-tahun sudah ditempati Malaysia.
Melansir dari laman resmi BMD, perdagangan CPO sudah mulai beroperasi sejak Oktober 1980 dan ditentukan dengan mata uang ringgit Malaysia dan dolar Amerika Serikat (AS).
Selain itu, perkebunan kelapa sawit di Tanah Air masih di dominasi oleh perusahaan Asal Malaysia dan Singapura. Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melaporkan investasi asing atau penanaman modal asing (PMA) di sektor pertanian pada 2015-Maret 2021 masih didominasi investasi perkebunan sawit, di mana investasi dari Singapura mencapai 53,7% dan Malaysia 15,8%.
Tentunya, hal tersebut tidak menguntungkan bagi Indonesia. Salah satu contohnya, ketika harga acuan CPO dunia melonjak pada beberapa waktu lalu, turut mengerek harga minyak goreng dalam negeri sebab CPO merupakan bahan baku untuk minyak goreng.
Bahkan pemerintah sempat memberlakukan Domestic Market Obligation (DMO) hingga melarang kegiatan ekspor CPO selama tiga pekan pada 28 April- 23 Mei 2022 untuk mengendalikan harga minyak goreng dalam negeri.
Pada 2021 lalu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berencana untuk meningkatkan program hilirisasi berbasis sumber daya alam termasuk di sektor agro agar dapat terus memacu nilai tambah ekonomi. Salah satunya dengan mengembangkan industri pengolahan minyak kelapa sawit.
Melalui kebijakan hilirisasi, pemerintah menargetkan Indonesia bisa menjadi pusat produsen produk turunan minyak sawit dunia pada 2045. Selain itu, diharapkan hal tersebut juga dapat membuat Indonesia menjadi penentu harga CPO global. Pasalnya, Indonesia sudah menguasai pasar ekspor CPO sebesar 55%.
Lantas, apa saja yang dapat dikembangkan dari hilirisasi CPO di masa mendatang? Simak di halaman berikutnya