CNBC Indonesia Research

Indonesia Raja Minyak Sawit yang 'Diatur' Malaysia! Kok Bisa?

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
28 October 2022 07:10
Kabut asap menutupi pohon saat kebakaran hutan di sebelah perkebunan kelapa sawit di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Indonesia, (14/9/2019). (REUTERS / Willy Kurniawan)
Foto: Ist/astra.co.id

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia merupakan produsen terbesar minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) di dunia, tapi sayangnya hingga saat ini harga CPO masih ditentukan oleh Malaysia. 

Sejatinya, sawit berasal dari Afrika Barat dan bukan tanaman asli Indonesia. Melansir data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), kelapa sawit pertama kali diperkenalkan orang Belanda ke Indonesia dan ditanam di Kebun Raya Bogor pada 1848.

Kelapa sawit akhirnya mulai digemari karena pertumbuhan perkebunan yang relatif sangat cepat, produksi minyaknya yang melimpah dan murah ketimbang minyak nabati lain seperti kedelai, jagung, dan bunga matahari.

Pada 1980-an, luas pertanaman kelapa sawit di Tanah Air masih seluas 200.000 ha dan sebagian besar adalah tanaman warisan pemerintah colonial Belanda. Namun, perkebunan kelapa sawit tumbuh pesat.

Bahkan sejak 2006, produksi CPO di Indonesia telah berhasil menyaingi negara tetangga Malaysia. Hingga saat ini, Indonesia menduduki peringat pertama sebagai produsen CPO dunia terbesar. Jika melansir data dari Badan Pusat Statistik (BPS), produksi CPO pada 2021 mencapai 46,2 juta ton, sedangkan produksi CPO Malaysia berada di 18 juta ton.

Porsi ekspor CPO pun sangat besar hingga 34,23 juta ton pada 2021, jika mengacu pada data yang dihimpun oleh GAPKI. Hal tersebut membuat CPO menjadi salah satu komoditas pemasok utama untuk neraca perdagangan Indonesia.

Produksi CPO Tanah Air yang cukup banyak tentunya merupakan prestasi yang baik, tapi jika ditelusuri lebih dalam sebenarnya prestasi tersebut belum cukup. Pasalnya, Malaysia masih menjadi juru kunci yang menentukan naik turunnya harga CPO dunia melalui Bursa Malaysia Derivatives (BMD).

Bukan tanpa alasan, pengaruh BMD dalam penetapan harga sawit global cukup masuk akal mengingat Negeri Jiran sebelumnya merupakan negara penghasil CPO terbesar dunia sebelum akhirnya Indonesia menyalip posisinya yang selama bertahun-tahun sudah ditempati Malaysia.

Melansir dari laman resmi BMD, perdagangan CPO sudah mulai beroperasi sejak Oktober 1980 dan ditentukan dengan mata uang ringgit Malaysia dan dolar Amerika Serikat (AS).

Selain itu, perkebunan kelapa sawit di Tanah Air masih di dominasi oleh perusahaan Asal Malaysia dan Singapura. Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melaporkan investasi asing atau penanaman modal asing (PMA) di sektor pertanian pada 2015-Maret 2021 masih didominasi investasi perkebunan sawit, di mana investasi dari Singapura mencapai 53,7% dan Malaysia 15,8%.

Tentunya, hal tersebut tidak menguntungkan bagi Indonesia. Salah satu contohnya, ketika harga acuan CPO dunia melonjak pada beberapa waktu lalu, turut mengerek harga minyak goreng dalam negeri sebab CPO merupakan bahan baku untuk minyak goreng.

Bahkan pemerintah sempat memberlakukan Domestic Market Obligation (DMO) hingga melarang kegiatan ekspor CPO selama tiga pekan pada 28 April- 23 Mei 2022 untuk mengendalikan harga minyak goreng dalam negeri.

Pada 2021 lalu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berencana untuk meningkatkan program hilirisasi berbasis sumber daya alam termasuk di sektor agro agar dapat terus memacu nilai tambah ekonomi. Salah satunya dengan mengembangkan industri pengolahan minyak kelapa sawit.

Melalui kebijakan hilirisasi, pemerintah menargetkan Indonesia bisa menjadi pusat produsen produk turunan minyak sawit dunia pada 2045. Selain itu, diharapkan hal tersebut juga dapat membuat Indonesia menjadi penentu harga CPO global. Pasalnya, Indonesia sudah menguasai pasar ekspor CPO sebesar 55%.

Lantas, apa saja yang dapat dikembangkan dari hilirisasi CPO di masa mendatang? Simak di halaman berikutnya

Salah satu upaya pemerintah Indonesia untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi adalah dengan mengembangkan biodiesel. Biodiesel merupakan bahan bakar nabati yang dapat digunakan untuk menggantikan bahan bakar fosil. Hal tersebut juga sejalan dengan mimpi Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission pada 2060, dengan meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan yang lebih ramah lingkungan sebesar 23% pada 2025.

Program biodiesel tersebut sebenarnya sudah mulai di implementasikan sejak tahun 2016 dengan mewajibkan pencampuran 20% minyak kelapa sawit dengan 80% bahan bakar jenis solar untuk menghasilkan produk B20.

Pengembangan biodiesel tidak berhenti pada B20 saja, pemerintah kembali mengembangkan program B30, dengan meningkatkan campuran sebanyak 30% dari minyak kelapa sawit dan 70% bahan bakar minyak jenis solar. Program tersebut telah berjalan sejak Januari 2020.

Indonesia patut bangga, pasalnya kita menjadi negara pertama yang berhasil mengimplementasikan B20 dengan menggunakan bahan baku utama yang bersumber dari kelapa sawit. Pada 2018, Minesota dan AS menyusul. Adapun Kolombia baru memulai tahap B10 pada 2011 dan Malaysia mengimplementasi B10 pada 2019.

CPO 27 Oksumber: ESDM

Dengan pengimplementasian program biodiesel, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatatkan beberapa manfaat mulai dari aspek ekonomi serta lingkungan. Pada 2018, program biodiesel berhasil menghemat devisa hingga Rp 26,67 triliun dan terus bertambah menjadi Rp 63,39 triliun pada 2020.

Selain itu, program biodiesel turut membuka lapangan pekerjaan khususnya petani sawit hingga mencapai 1,2 juta orang pada 2020. Program tersebut juga dapat menurnkan emisi gas rumah kaca mulai dari 5,61 juta ton CO2 pada 2018 hingga 14,25 juta ton CO2 pada 2020.

Sementara itu, pada tahun ini, Kementerian ESDM memiliki target untuk menurunkan sebesar 91 juta ton CO2.

Menteri ESDM Arifin Tasrif pun optimis bahwa pangsa pasar biodiesel akan terus tumbuh di masa depan sebab akan menjadi alternatif bahan bakar fosil.

CPOSumber ESDM

Pada tahun ini, pemerintah menargetkan untuk menyelesaikan implementasi B40, di mana menggunakan campuran minyak kelapa sawit sebanyak 40% dengan solar atau disebut B40.

Pada Rabu 26 Oktober 2022, Kementerian ESDM melakukan uji coba cold startability (kemudahan penyalaan kendaraan saat temperature rendah) di dataran tinggi Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah pada pemakaian B40 untuk kendaraan.

Hasilnya, kendaraan penumpang yang diuji di suhu 17 derajat Celsius berhasil menyala dalam waktu kurang dari 2 detik. Catatan waktu ini berada dalam ambang batas yang disyaratkan, yakni harus di bawah 5 detik.

"Catatan yang paling cepat 1 detik, paling lama 1,4 detik. Semua masuk standar yang ditentukan," kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana.

"Ini bukti otentik kalau B40 siap digunakan di-engine," tambahnya.

Lalu, kapan B40 dapat diimplementasikan?

Menjawab pertanyaan ini, Dadan mengatakan bahwa uji jalan akan terus dilakukan sampai akhir tahun 2022. Dia menargetkan, pada akhir Desember nanti pihaknya sudah bisa memberikan rekomendasi teknis mengenai pemanfaatan B40 kepada kementerian terkait.

Program biodiesel memang memiliki manfaat yang sangat banyak mulai dari aspek ekonomi hingga lingkungan, tapi pemerintah juga sebaiknya memperhatikan sisi lainnya.

Jika kebijakan biodiesel makin agresif, tentu membutuhkan produksi kelapa sawit yang meningkat. Di mana untuk memproduksi CPO yang banyak tentunya diperlukan lahan yang luas. Sehingga potensi deforestasi lebih besar.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular