CNBC Indonesia Research

Asal Muasal Kelangkaan Dolar Amerika di RI, Begini Ceritanya

Muhammad Maruf, CNBC Indonesia
24 October 2022 07:16
Money Changer
Foto: Petugas menhitung uang asing di penukaran uang DolarAsia, Blok M, Jakarta, Senin, (26/9/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Seperti juga musim paceklik, kelangkaan pasokan dolar Amerika di dunia, di Indonesia dan dimana-mana sebetulnya sudah terendus sejak lama dan dipicu oleh banyak faktor. Kelangkaan, tidak semata diakibatkan oleh kebijakan bank sentral AS, (the Federal Reserve/Fed) yang ngebet menaikan suku bunga acuan yang menyedot likuiditas dolar AS di seluruh dunia.

DXY atau indek dolar AS, yaitu sebuah ukuran nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama dunia melonjakke level 112, tertinggi dalam dua dekade terakhir. Hanya, level DXY periode krisis finansial Asia 1997-1998 saja yang bisa mengalahkannya.

Dolar AS menguat terhadap semua mata uang dunia. Mengguat 22% terhadap yen Jepang, 13% terhadap Euro, dan 6% atas mata uang negara-negara emerging market sejak awal tahun.

Di dalam negeri, penguatan dolar AS membuat apa-apa yang terkait dengannya menjadi lebih mahal, mulai dari harga barang dan jasa impor hingga biaya utang. Juga, kalkulasi IMF menunjukkan setiap pelemahan 10% mata uang terhadap dolar AS itu setara dengan kenaikan inflasi 1% di negara yang kursnya terdepresiasi.

Sekarang, kurs rupiah melemah di kisaran 9% terhadap greenback (dolar AS) sepanjang tahun ini, atau level terendah dalam dua setengah tahun terakhir. Ia baru saja melewati angka psikologis Rp15,500/US$ dan kini menatap angka Rp16.000/US$--level yang menurut sejumlah pedagang valas sudah berbahaya.

Meskipun begitu, Indonesia termasuk 'top five' di Asia dalam urusan 'kuat-kuatan' nilai tukar terhadap dolar AS. Penguatan kurs dolar AS murni terjadi akibat kelangkaan pasokannya yang tak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga dunia. Berikut beberapa faktor penyebab dan bagaimana ia bisa memicu kelangkaan dolar AS.

Ini adalah faktor pertama dan utama, sebab kenaikan suku bunga acuan AS/ Fed fund rate-yang merepresentasikan suku bunga pinjaman harian antar bank di sana-membuat tingkat pengembalian investasi pada aset-aset berdenominasi dolar AS menjadi semakin lebih menarik dan aman. Ini disimbolkan oleh tingkat imbal hasil atau yield obligasi pemerintah AS, yang saat ini, untuk tenor 10 tahun  sudah di atas 4%, atau tertinggi sejak krisis global 2008.

Obligasi pemerintah AS termasuk kategori safe-haven assets atau aset investasi aman yang akan diburu investor dunia saat akan atau telah terjadi krisis. Yieldnya naik mengikuti suku bunga acuan yang dinaikkan oleh Fed guna memerangi inflasi yang sedang tinggi. Istilah kata, dolar AS sekarang sedang berbondong-bondong 'balik kampung' ke negeri asalnya karena imbal hasil yang lebih menarik dan dipastikan lebih aman dibandingkan aset investasi lain di muka bumi ini.

Sebenarnya, tren kenaikan suku bunga acuan AS-atau Fed sebut sebagai normalisasi kebijakan suku bunga-telah tampak sejak Desember 2015, di bawah arahan Ketua Fed Janet Yellen, yang sekarang menjadi Menteri Keuangan AS. Yellen memulai dari suku bunga acuan naik jadi 0.25-0.50% pada Desember 2015, secara gradual menjadi 2.25-2.50% pada Desember 2018.

Namun, Fed kembali mengetatkan kebijakan suku bunga pada pertengahan 2019, sebagai respon untuk menolong perekonomian AS akibat dampak buruk perang dagang dengan China yang tersulut sejak 2018. Secara gradual ada penurunan 75 basis poin menjadi 1.50-175% pada Oktober 2019.

Pandemi Covid-19 yang mewabah awal 2022 juga menggerus ekonomi Negeri Paman Sam. Maka, Fed memangkas suku bunga dengan cukup agresif, seperti pada Maret 2020 yang mencapai 100 basis poin sekaligus, menjadi 0-0,25%, level yang sama pada saat krisis global 2008. Kebijakan suku bunga rendah ini berlangsung sampai awal 2022, sebagai upaya untuk memulihkan ekonomi, dengan kebijakan 'uang mudah' saat pandemi.

Gelagat inflasi yang tak beres di AS mulai terendus pada awal tahun ini, dan mulai direspon dengan menaikkan suku bunga pada pertemuan anggota dewan Fed, atau FOMC pada Maret 2022. Fed sangat agresif, dengan menaikkan suku bunga hingga 300 basis poin (bp) dalam tempo tidak sampai satu tahun, menjadi 3.00-3.25% pada pertemuan September lalu.

Memang, tingkat inflasi tahunan AS sudah melandai sejak Juni yang mencapai 9,1% menjadi 8,2% pada September, tetapi level 8% tetap tertinggi sejak era great inflation 1980-an. Karenanya, Fed diprediksi akan terus menaikkan suku bunga acuannya, hingga inflasi mereda di kisaran target jangka panjang 2%. Rapat FOMC selanjutnya berlangsung bulan depan, dan diprediksi ada kenaikan sehingga makin memperkering likuditas dolar AS.

Ini yang banyak orang lupa, atau luput dari pengetahuan. Sebagaimana bank sentral lain, selain menaikkan suku  bunga acuan, Fed juga melakukan operasi moneter dengan-kasus saat ini-menjualsurat utang pemerintah ASuntuk menyedot dana masyarakat, sehingga inflasi lebih cepat teratasi.

Sampai dengan kuartal pertama tahun ini, the Fed memang masih berbelanja besar-besaran, membeli miliaran dolar AS setara obligasi di pasar untuk mensetimulan ekonomi pasca Covid-19. Namun, seiring pembalikan arah kebijakan menjadi moneter ketat pada Maret lalu, kini mereka tidak lagi membeli, tetapi berbalik menjual aset-aset yang telah dibeli dan dikumpulkan sejak krisis global 2008.

Ini berarti, tidak ada lagi pasokan baru dolar AS di pasar, tidak ada lagi cetak uang oleh bank sentral AS yang dilakukan sejak lama, atau keren dengan istilah quantitative easing (QE). Yang ada di AS kini justru bank sentralnya sedang giat menyedot uang beredar di masyarakat dengan menawarkan yield aset-aset keuangan menarik ke bank-bank, atau istilah populernya quantitative tightening (QT).

The Fed memulai lego besar-besaran aset untuk mengurang beban pada neracanya sejak Juni lalu, dengan menjual hingga US$47,5 miliar perbulan. Batas atas penjualan aset itu dinaikkan menjadi US$95 miliar pada pertemuan FOMC di September.

Rencananya, Fed akan menyedot lebih dari US$522 miliar uang dari sistem keuangan sampai akhir 2022, dan lebih dari US$1,1 triliun di akhir 2023. Hitungan Fed, setiap US$1,5 triliun penjualan asetnya itu setara dengan efek kenaikan suku bunga acuan 100 bp atau 1%.

Sekedar info, jumlah obligasi pemerintah AS dan mortgage-backed securities (di Indonesia, sejenis kontrak investasi kolektif efek beragun aset/KIK EBA) yang ada di neraca the Fed saat ini mencapai US$9 triliun. Mayoritas dari US$4,6 triliun berasal dari pembelian besar-besaran sejak pandemi Covid-19, dan sekarang hendak kembali dijual lagi ke pasar keuangan.

Inilah penyebab kedua kelangkaan uang dolar AS dimana mana. Uang greenback tersedot, kembali ke mesin pencetaknya, Fed dengan cara ditukar dengan obligasi AS yang dibeli oleh pelaku pasar di sana.

Kenaikan suku bunga acuan di AS turut diikuti oleh kenaikan suku bunga simpanan valuta asing (valas) dimana pun berada, termasuk Indonesia. Prospek ekonomi yang suram dan estimasi penguatan dolar di masa mendatang, membuat banyak pemilik dolar AS, cenderung menyimpan duit nya dalam bentuk simpanan.

Lebih runyamnya lagi, banyak yang kemudian menukarkan tabungan rupiahnya ke tabungan dalam bentuk dolar. Ini tercermin dari data Bank Indonesia dimana dana pihak ketiga (DPK) valas perbankan tumbuh 12,1% secara tahunan menjadi Rp 1.050 triliun pada Agustus 2022. Pertumbuhannya jauh lebih tinggi dari DPK rupiah yang hanya naik 7,6% menjadi Rp 6.305 triliun.

Sementara data terbaru, pertumbuhan DPK valas pada September melambat, jadi 8,4% sementara pertumbuan kredit, yang mencerminkan kebutuhan akan valas naik signifikan, bertumbuh 18,1%.

Eksportir, sebagai penghasil pundi-pundi devisa memang mulai banyak mengalihkan dana hasil ekspor (DHE) ke bank dalam negeri setelah aturan relaksasi-dapat menyimpan di luar negeri-oleh BI dicabut pada September lalu. Namun banyak diantara mereka tetap enggan menukarnya dalam rupiah. Mereka, lebih nyaman menyimpan dalam bentuk dolar AS, mengingat prospek suram ekonomi ke depan.

Data Kementerian Keuangan, jumlah dana asing keluar dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia tahun ini per 18 Oktober 2022, lalu mencapai mencapai Rp 172,80 triliun, atau setara lebih dari US$11 miliar. Dari dana itu, sebanyak Rp29 triliun terjadi pada September, dan Rp 12 triliun terjadi pada bulan ini.

Dana keluar atau outflow obligasi tersebut tampaknya benar-benar keluar dari Indonesia, dan tidak masuk ke pasar saham yang status aliran dana asingnya masih positif. Ini karena secara tipikal, investasi di saham lebih berisiko dibandingkan investasi di obligasi pemerintah. Biasanya, perpindahan aliran dana dari obligasi ke saham hanya terjadi saat prospek ekonomi membaik, sementara sekarang yang terjadi berkebalikan.

Aliran keluar dolar AS dari Indonesia juga dipicu oleh aktivitas perusahaan yang mayoritas kepemilikannya asing. Mereka hendak membagikan keuntungan perusahaan atau dividen kepada si pemilik. Biasanya menukarkan pendapatan mereka dalam rupiah menjadi dolar AS untuk di transfer ke rekening pemilik.

Jumlah mereka cukup banyak dan meningkat karena banyak diantara investor asing yang berbisnis di Indonesia menghasilkan pendapatan dalam bentuk rupiah. Ini karena orientasi pasar mereka ada di dalam negeri, dan bukan untuk tujuan ekspor. Inilah yang membuat permintaan dolar AS meningkat. Buktinya, bisa dilacak dari data investasi milik Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dimana nilai realisasi investasi penanaman modal asing (PMA) naik.

Realisasi PMA naik dari US$7,7 miliar pada kuartal pertama 2021, menjadi US$11,4 miliar pada kuartal II tahun ini.  Mereka yang berinvestasi ini secara reguler meminta pembayaran keuntungan dalam bentuk valas, atau umumnya dolar AS.

Kebutuhan ini belum termasuk perusahaan Indonesia yang hendak membayar utang dalam bentuk dolar AS. Ambil contoh, kelompok usaha Bakrie yang baru-baru ini menerbitkan saham baru senilai US$1,6 miliar untuk PT Bumi Reseources yang hasilnya akan dipakai untuk membayar utang.

Risk-averse atau tipikal strategi investasi cari aman meski imbal hasil rendah sedang digandrungi sekarang. Mereka yang punya dolar AS, atau yang berpenghasilanrupiah pun banyak memilih untuk menukarkan dan berinvestasi dalam produk-produk berdenominasi dolar AS.

Ada banyak alasan untuk orang pindah haluan cari aman. Salah satunya, prediksi perfect storm yang akan melanda perekonomian dunia ke depan, mulai tahun 2023. Nouriel Roubini, ekonom populer Amerika Serikat yang terkenal gegara ramalan tepatnya soal kejadian krisis global 2008 memprediksi krisis ke depan akan lebih ngeri, tidak pernah terbayangkan.

Krisis pada 2023 menurut Mr Kiamat, julukan Roubini adalah kombinasi krisis stagflasi-inflasi tinggi ditengah pertumbuhan ekonomi rendah-yang pernah terjadi pada tahun 1980-an dengan krisis utang yang melanda pemerintah, swasta dan rumah tangga pada 2008. Krisis akan sangat dahsyat, katanya.

Tak hanya itu, analisis geopolitik mengungkapkan bila perang Rusia-Ukraina akan berlangsung lama, dan perang nuklir adalah sebuah bencana yang bisa saja terjadi. Kombinasi proyeksi suram ekonomi dan geopolitik membuat banyak orang menahan diri untuk berinvestasi ke aset berisiko tinggi, dan membuat mereka mengalihkan dananya ke dolar AS.

Dalam setiap kesempitan, selalu ada kesempatan. Ini dimainkan oleh sejumlah spekulan di pasar, dan ini legal. Kehadirannya memang membuat tekanan semakin besar terhadap rupiah di saat-saat ada kabar buruk. Diantara alasan spekulan dan juga analisa pedagang, biasanya adalah gap yang masih lebar antara suku bunga pinjaman di RI dengan suku bunga di AS, sehingga dinilai masih ada celah dolar AS akan menguat lagi. Ini membuat spekulan membeli dolar.

Ada juga yang beranggapan dengan menggunakan tren pergerakan nilai tukar dolar AS terhadap Yuan China. Umumnya, para pedagangan pasar mengikuti pergerakan nilai tukar dua raksana dunia itu, dimana bila yuan melemah, maka rupiah juga ikut melemah terhadap dolar. Dengan aksi-aksi ini, tekanan terhadap rupiah meningkat sehingga menimbulkan permintaan dolar AS semakin besar, dan pasokannya berkurang.

Bank Indonesia telah menghabiskan lebih dari US$14 miliar cadangan devisa sepanjang tahun ini-sampai September-untuk membiayai upaya stabilitas rupiah. Diantaranya, selain karena memenuhi kebutuhan nyata seperti impor, juga menjaga rupiah dari ulah-ulah para spekulan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular