Anthoni Salim adalah putra konglomerat orde baru yang dekat dengan Cendana, Liem Sioe Liong atau Sudono Salim. Anthoni lahir dengan nama Liem Hong Sien pada 25 Oktober 1949 lalu. Anthoni merupakan anak bungsu dari Sudono dan Lie Las Nio.
Ia menyelesaikan sekolahnya pada 1971 di Ewell County Technical dan meraih gelar Bachelor of Arts. Sekembalinya ke kembali ke Indonesia ia membantu ayahnya mengurusi bisnis, yang sudah beranak pinak. Ada produsen semen, PT Indocement Tunggal Perkasa, Bank Central Asia, produsen dan importir otomotif PT Indomobil Sukses Internasional, hingga makanan PT Indofood Sukses Makmur Tbk, dan produsen terigu PT Bogasari Flour Mills.
Kepiawaian Anthoni teruji ia menggantikan ayahnya, saat BCA mengalami rush pada saat krisis multidimensional pada 1997. Anthoni harus menggunakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan berutang Rp 52 Triliun kepada negara. Ia kemudian menjual bisnis semen, bank dan otomotifnya guna melunasi utang. Ia menyisakan Indofood dan Bogasari Flour Mills untuk memulai perjalanannya sendiri.
Pilihan itu terbukti tepat, karena hampir tak ada masa krisis untuk makanan. Indofood kini adalah produsen mie instan terbesar di dunia. Riset Kantar berjudul 'Global Brand Footprint 2021' memasukkan Indomie dalam deretan merek fast moving consumer goods (FMCG) paling populer ketujuh di dunia dengan nilai Poin Jangkauan Konsumen (Consumer Reach Points) sebesar 2,2 miliar. Nomor satu dalam daftar ini adalah Coca-Cola.
Indofood adalah mesin uang utama Anthoni untuk tumbuh kembang. Laba bersih perusahaan ini sebesar Rp7,6 triliun pada 2021. Bermula dari sini, Anthoni dan keluarganya sebagai pemilik Grup Salim dinobatkan oleh majalah Forbes sebagai orang terkaya nomor 3 di Indonesia. Total kekayaan Keluarga Salim menurut Forbes mencapai US$ 8,5 miliar pada 2021, atau setara dengan hampir Rp 129 triliun (Rp 15.200/US$).
Selama ini Grup Salim paling dikenal dengan dua emiten konsumen yang mereka miliki yakni PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) serta anak usahanya PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP).
Sebagai perusahaan induk, INDF mengempit 80% saham ICBP yang menjual berbagai produk makanan dan minuman yang tentunya sudah tak asing lagi bagi konsumen di Indonesia.
Berbagai merek ICBP di berbagai segmen meliputi Indomie & Pop Mie untuk kategori mie instan, Susu Indomilk, Snack Chitato hingga Qtela, berbagai bumbu masak dengan merek Indofood mulai dari saus, kecap dan bumbu instan, makanan untuk bayi dengan merek SUN hingga berbagai merek minuman kemasan seperti Club untuk air mineral dan Ichi Ocha untuk kategori minuman berasa kemasan.
Segmen bisnis Indofood tidak hanya mencakup makanan jadi tetapi juga bahan makanan seperti gandum dengan merek Cakra Kembar, Segitiga Biru, Kunci Biru, Lencana Merah hingga Taj Mahal. Kemudian ada juga segmen bisnis yang membidangi usaha minyak goreng dan margarin dengan merek ternama seperti Bimoli, Delima, Happy, Palmia hingga Amanda.
Untuk memuluskan pelbagai aksi akusisi, Anthoni menggunakan First Pacific Co, perusahaan invetasi yang listing di bursa Hong Kong. Pada perusahaan beraset US$27 miliar dan beroperasi di enam negara ini, Grup Salim menggenggam lebih dari 40% kepemilikan.
INDF sendiri sebagai holding sebanyak 50,07% sahamnya juga dimiliki oleh Keluarga Salim lewat First Pacific Co. Selain INDF dan ICBP, portofolio bisnis Grup Salim terbilang sangat terdiversifikasi, baik yang merupakan perusahaan publik maupun privat dengan kepemilikan langsung maupun tak langsung.
Selain menggunakan First Pacific, dan perusahaan miliknya, Anthoni tidak segan-segan menggunakan nama pribadi untuk akusisi.
Kesuksesannya dengan produk mie instan menginspirasi Anthoni untuk melebarkan sayap seluas-luasnya, baik itu makanan jadi, bahan baku, hingga jaringan ritel. Di segmen konsumen lain, perusahaan "Tbk" yang juga terafiliasi dengan Keluarga Salim adalah perusahaan pembuat roti dengan merek Sari Roti yakni PT Nippon Indosari Corpindo Tbk (ROTI).
Keluarga Salim lewat PT Indoritel Makmur Internasional Tbk (DNET) menggenggam 7,92% saham ROTI. Sementara Anthoni Salim tercatat memiliki saham DNET sebesar 45,39%. DNET merupakan induk usaha PT Indomarco Prismatama (Indomaret), PT Nippon Indosari Corpindo Tbk (ROTI), PT Fastfood Indonesia Tbk (FAST) dan induk dari entitas anak, yaitu PT Mega Akses Persada (MAP/ FiberStar).
Jejak bisnis keluarga terkaya ketiga di Indonesia ini juga dapat dilacak lewat bisnis minyak gorengnya di bawah bendera PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) yang digenggam oleh INDF dan Indofood Agri Resources.
Kemudian di sektor hulu perkebunan sawit, Keluarga Salim juga memiliki perusahaan bernama PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) dengan kepemilikan lewat SIMP sebesar 59,48%.
Setelah kehilangan besar pada krisis 1998, Grup Salim kembali merambah di sektor otomotif dengan menguasai kembali 'anak' yang pernah hilang, PT Indomobil Sukses Internasional Tbk (IMAS) dan anak usahanya yakni PT Indomobil Multi Jasa Tbk (IMJS).
Untuk diketahui, 91,97% saham IMJS dikuasai oleh IMAS, sedangkan hampir 50% saham IMAS dikuasai oleh Gallant Venture yang merupakan perusahaan publik di Singapura yang sahamnya dikuasai oleh Salim dan Group Parallax dengan nilai kapitalisasi pasar mencapai hampir SGD 705 juta.
Selanjutnya, di bidang konstruksi dan engineering, Grup Salim juga memiliki portfolio bisnis lewat PT Metro Pacific Tollways Indonesia sebesar 74,65%. Asal tahu saja, Metro Pacific Tollways Indonesia merupakan anak usaha dari Metro Pacific Investment Corporation (MPIC) perusahaan publik yang listing di bursa Filipina yang juga dikendalikan oleh Salim sekeluarga.
Bisnis yang menggurita dari bos Indofood tersebut juga dibuktikan di sektor lain yakni energi lewat kepemilikan Grup Salim di PT Medco Energi International Tbk (MEDC).
Di perusahaan yang digawangi oleh Arifin Panigoro ini, sebanyak 13,95% sahamnya dimiliki oleh perusahaan Singapura bernama Diamond Bridge yang juga dimiliki oleh Keluarga Salim.
Portofolio investasi Grup Salim yang baru adalah di emiten data center PT DCI Indonesia Tbk (DCII) yang didirikan oleh Otto Sugiri. Sebagai informasi, DCII merupakan salah satu perusahaan yang fenomenal di pasar modal Tanah Air.
Perusahaan yang baru melantai pada 6 Januari 2021 tersebut harga sahamnya melesat puluhan ribu persen sejak penawaran umum perdana saham (IPO) hingga memiliki nilai kapitalisasi pasar mencapai lebih dari Rp 100 triliun.
Sebelumnya Grup Salim lewat Anthoni Salim memiliki saham DCII sebanyak 72,29 juta saham, namun pada akhir Mei tahun lalu, Anthoni Salim menambah kepemilikannya dengan memborong 192,7 juta saham DCII dengan modal sampai Rp 1 triliun sehingga kepemilikannya menjadi 11,12%.
Seperti juga otomotif, Keluarga Salim ingin kembali memiliki bisnis kembali di sektor keuangan. Ia masuk menggunakan perusahaan asuransi jiwa dan dana pensiun bernama PT Indolife Pensiontama. Lewat perusahaan asuransi ini, keluarga Salim memiliki berbagai saham bank di portfolionya.
Untuk diketahui, PT Indolife Pensiontama mengempit saham PT Bank Mega Tbk (MEGA) yang dimiliki oleh pengusaha nasional Chairul Tanjung lebih dari 5% atau tepatnya 5,7%.
Perusahaan perbankan milik Chairul Tanjung yang lain yang bergerak sebagai digital bank yaitu PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) juga sebesar 6% sahamnya dimiliki oleh Keluarga Salim lewat kendaraan PT Indolife Investama Perkasa.
Sempat kehilangan kendali atas BBCA saat krisis moneter 2 dekade silam, kini Keluarga Salim kembali memegang kendali sebuah bank yaitu PT Bank Ina Perdana Tbk (BINA).
Dalam keterbukaan informasi Bank Ina Perdana yang dipublikasikan pada 10 Januari 2020 yang disampaikan Direktur Utama Bank Ina Daniel Budirahayu dan Direktur Kepatuhan Bank Ina Wardoyo, menyebutkan Grup Salim resmi menjadi ultimate shareholder atau pemegang saham pengendali terakhir (PSPT) PT Bank Ina Perdana Tbk (BINA) bersama pemilik Bali United, Pieter Tanuri.
Dalam keterbukaan informasi tersebut, informasi fakta material yang disampaikan yakni terjadi perubahan struktur kepemilikan saham Bank Ina di mana perusahaan Grup Salim, PT Indolife Pensiontama menjadi pemegang saham pengendali, dari sebelumnya hanya dipegang oleh PT Philadel Terra Lestari milik Pieter. Lewat PT Indolife Pensiontama, Keluarga Salim mengempit 22,47% saham BINA.
Terakhir, jejak bisnis Grup Salim juga menjangkau sektor teknologi dan media yang dimiliki oleh Eddy Kusnadi Sariaatmadja yaitu PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK) yang dikempit langsung oleh Anthoni Salim sebesar 9%.
Kini Anthoni Salim sebagai nakhoda konglomerasi bisnisnya sudah berusia lebih dari 70 tahun. Suksesi kepemimpinan perusahaan pun sudah disiapkan jauh-jauh hari. Giliran putranya yaitu Axton Salim yang mulai terlibat dalam bisnis milik keluarganya.
Saat ini, Axton menjabat sebagai Direktur Utama PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) sejak tahun 2009. Seorang lulusan University of Colorado, Amerika Serikat, ini memang sudah disiapkan untuk menggantikan posisi sang Ayah, namun prosesnya tidak instan.
Setelah lulus dari jurusan Science Business Administration, Axton pergi ke Singapura untuk bekerja di Credit Suisse. Baru pada 2004 dia bergabung dengan Salim Group. Karirnya di perusahaan keluarga ini dimulai dari PT Indofood Fritolay Makmur sebagai Marketing Manager.
Tidak lama kemudian, dia dipromosikan menjadi asisten CEO di PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. Pada 2009, Axton Salim naik jabatan dan resmi jadi direktur di PT Indofood CBP Sukses Makmur. Di usianya yang ke-43, Axton juga tercatat menjabat direktur di beberapa anak perusahaan lain Salim Group.
Dia juga tercatat sebagai direktur non-eksekutif di Indofood Agri Resources sejak tahun 2007 dan komisaris di PT Salim Ivomas Pratama Tbk pada periode yang sama dan sederet posisi direksi di anak perusahaan di antaranya PT Indolakto and Pascari Pte Ltd, dan PT Indofood Asahi Sukses Beverage.
Saat memimpin Indofood, ia banyak melakukan inovasi dari rasa produk terkenal dari Indofood, yakni Indomie. Inovasi produk mie instan tersebut semakin bertambah banyak seiring tren makanan di Indonesia yang berkembang pesat.
Salah satu inovasi rasa Indomie yang mengikuti perkembangan zaman yakni Indomie goreng rasa ayam geprek. Ada pula inovasi lain seperti Chitato rasa Indomie Goreng yang sempat viral di media sosial.
Axton juga merupakan komisaris di PT Salim Ivomas Pratama Tbk, PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk dan PT Nestlé Indofood Citarasa Indonesia. Adapun, jabatan lain yang pernah dia emban sebelum menguasai Salim Group adalah direktur non-eksekutif Gallant Venture Ltd., eksekutif di Scaling Up Nutrition (SUN) Business Advisory Group dan Art Photography Centre Ltd.
Selain meneruskan dinasti perusahaan keluarga, Axton merambah peluangnya di sektor digital dengan membuka bisnis startup. Sejak 2017, Axton adalah inisiator untuk startup Block71, sebuah fasilitas inkubator dari kerja sama antara Salim Group dengan National University of Singapore (NUS) Enterprise, yang menghubungkan pelaku startup Indonesia dan Singapura.
Wadah ini juga bertujuan untuk membawa pasar Indonesia ke mancanegara. Apalagi sekarang Block71 juga sudah membuka kantor di San Fransisco, AS. Investasi Salim Group di sektor digital dilanjutkan dengan startup Popbox Asia Services di Singapura yang menyediakan jasa sewa loker serta layanan pengiriman, penerima dan pengembalian barang.
Anthoni Salim tidak main-main masuk ke bisnis batubara. Ia menggandeng pemain gaek, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) yang merupakan entitas milik Grup Bakrie. Jalan ceritanya, bersama-sama entitas Bakrie, perusahaan milik Anthoni Salim di Hong Kong akan menjadi pembeli saham private placement BUMI.
Entitas Salim akan menjadi pembeli dibelakang aksi BUMI menggelar penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (PMHMETD) dengan penerbitan 200 miliar saham baru. Adapun harga pelaksanaan dari aksi korporasi ini sebesar Rp 120 per saham.
Rencanannya, Mach Energy (Hongkong) Limited (MEL) bakal menyerap 85% dari emisi tersebut. Sedang 15% sisanya diserap oleh Treasure Global Investments Limited (TGIL). Dengan porsi itu, artinya MEL bakal menyerap sekitar 170 miliar saham private placement. Dengan harga Rp 120 per saham, maka kocek yang dikeluarkan MEL mencapai sekitar Rp 20,4 triliun.
Komposisi pemegang saham MEL adalah, PT Bakrie Capital Indonesia memiliki sebesar 42,5% saham MEL. Kemudian, Clover Wide Limited menguasai 15% saham. Terakhir, Mach Energy (Singapore) Pte. Ltd. (MPEL) memiliki 42,5% saham MEL. Nah, Mach Energy Pte. Ltd. adalah perusahaan di bawah kendali Grup Salim.
Masuknya Keluarga Salim ke bisnis batubara membuktikan simpulan, bila dimana ada cuan disitu ada kesempatan. Tak perduli sektor bisnis itu pernah dibilang sunset karena membikin polusi dan menambah pemanasan global. Toh, yang penting untung karena emas hitam kini sedang menjadi primadona dunia, akibat perang Rusia-Ukraina membuat duniam khususnya Eropa dalam krisis energi.
Harga Batubara kontrak berjangka Newcastle misalnya, pada perdagangan Kamis (6/10/2020) bertengger di angka US$405.95 per ton. Kendati dalam tren penurunan, dari posisi rekor puncak US$466 pada awal September lalu, angka US$400-an per ton tetaplah tinggi. Bandingkan dengan harga sebelum invasi Rusia pada awal tahun lalu di bawah US$150-an.
Cuan emiten-emiten batubara juga jumbo. BUMI, yang sahamnya hendak dibeli mencetak sejarah kenaikan laba bersih sebesar 8.771% pada semester I 2022, menjadi US$ 168 juta. PT Adaro Energy Indonesia Tbk mencetak laba mentereng paruh pertama 2022 dengan raihan laba bersih US$ 1,21 miliar, meroket 613% dibandingkan periode yang sama 2021.
Apakah batubara adalah sektor terakhir yang akan dimasuki Anthoni Salim. Tentu tidak, kalaupun bukan olehnya, pasti oleh ketiga anaknya.
TIM RISET CNBC INDONESIA