Semua Gara-gara Harga BBM! 'Malapetaka' Itu Semakin Nyata

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
25 September 2022 08:40
Kombinasi foto logo 5 Perusahaan minyak

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian dunia baru saja bangkit dari kemerosotan akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19). Tetapi 'malapetaka' kini kembali menghantui, perekonomian dunia terancam mengalami resesi di tahun depan.

Resesi menjadi menakutkan sebab roda perekonomian akan mengalami pelambatan, tingkat pengangguran akan mengalami kenaikan. Risiko resesi terjadi akibat inflasi yang sangat tinggi. Perekonomian global mulai berputar kencang pasca bangkit dari resesi akibat pandemi Covid-19, demand melesat yang belum bisa diimbangi dengan supply.

Inflasi perlahan mulai menanjak. Harga energi juga mulai merangkak naik, yang diperparah dengan perang Rusia - Ukraina.

Alhasil harga energi meroket, gas alam, minyak mentah dan batu bara naik gila-gilaan. Tingginya harga minyak mentah membuat harga Bahan Bakar Minyak (BBM) melambung khususnya di negara-negara Barat yang tidak memberikan subsidi.

Di Amerika Serikat (AS) misalnya, harga BBM mencatat rekor termahal pada Juni lalu US$ 5,02/galon. Inflasi energi semakin meroket, apalagi dengan tingginya harga gas alam membuat tarif listrik menjadi semakin mahal.

Tingginya harga BBM juga memberikan andil terhadap kenaikan harga pangan. Inflasi akhirnya menjadi tak terkendali. Di Amerika Serikat (AS), dan Eropa inflasi tercatat berada di level tertinggi dalam beberapa dekade terakhir. Di negara-negara lain juga mengalami hal yang sama, Indonesia juga merasakan dampaknya.

Bank sentral pun bertindak. Semuanya menaikkan suku bunga, bahkan dengan sangat agresif. Bank sentral AS (The Fed) Kamis lalu menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 3% - 3,25%, serta menegaskan sikap agresifnya.

Suku bunga The Fed kini berada di level tertinggi sejak awal 2008.

The Fed kini melihat suku bunga akan mencapai 4,6% (kisaran 4,5% - 4,75%) di tahun depan. Artinya, masih akan ada kenaikan 150 basis poin dari level saat ini. Bahkan, beberapa pejabat The Fed melihat suku bunga berada di kisaran 4,75 - 5% di 2023, sebelum mulai turun di 2024.

Dua hari sebelum The Fed, ada bank sentral Swedia (Riksbank) yang mengejutkan pasar dengan menaikkan suku bunga 100 basis poin.

Di hari yang sama dengan The Fed, ada bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) yang menaikkan suku bunga 50 basis poin menjadi 2,25%, tertinggi dalam 14 tahun terakhir.

BoE bahkan sudah terang-terangan mengatakan perekonomian Inggris sudah mengalami resesi.

Semakin tinggi suku bunga acuan maka suku bunga kredit akan menanjak, ekspansi dunia usaha menjadi melambat. Belum lagi konsumsi rumah tangga akan tertekan, risiko resesi semakin besar.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Juga Agresif, Bank Dunia Sebut Resesi di 2023

Bank dunia juga sudah mengatakan perekonomian dunia akan mengalami resesi di 2023, akibat suku bunga tinggi.

"Tiga ekonomi terbesar dunia-Amerika Serikat, China, dan kawasan Eropa- telah melambat tajam," tulisnya dalam sebuah studi baru, dikutip Jumat (16/9/2022).

Bank Dunia yakin pukulan moderat sekalipun akan memicu resesi global. Bank Dunia pun memperkirakan kenaikan suku bunga akan terus dilakukan hingga tahun depan.

Bank Dunia mengingatkan kenaikan suku bunga yang lebih tinggi ini dapat memperlambat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global. Pada 2023, PDB dunia diperkirakan bisa susut menjadi 0,5% setelah terkontraksi 0,4%. Menurut Bank Dunia, ini akan memenuhi definisi teknis dari resesi global.

Kenaikan harga BBM subsidi di dalam negeri juga membuat BI agresif mengerek suku bunga acuannya.

"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 21-22 September 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 50 bps menjadi 4,25%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,5%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 5%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (22/9/2022).

Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia mayoritas memperkirakan kenaikan sebesar 25 basis poin.

Perry mengatakan kenaikan suku bunga sebagai bagian dari langkah pre-emptive, front-loading dan forward looking untuk menekan ekspektasi inflasi.Ekspektasi diperkirakan akan melonjak setelah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Subsidi pada 2 September lalu.

"Kenaikan suku bunga untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasarannya.Yang kita kendalikan adalah inflasi inti karena itu menunjukkan sisi permintaan," tutur Perry dalam konferensi pershasil RDG Bulanan Bulan September 2022, Kamis (22/9/2022).

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular