Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) akan mengadakan rapat kebijakan moneter pada 20 dan 21 Juli mendatang. Pasar akan melihat apakah Gubernur BI Perry Warjiyo dan kolega akan menaikkan suku bunga acuannya BI 7-Day Reverse Repo Rate, atau masih mempertahankannya di rekor terendah sepanjang sejarah 3,5%.
Sejauh ini BI masih enggan menaikkan suku bunga, sebab inflasi inti di dalam negeri masih rendah, begitu juga nilai tukar rupiah yang masih di bawah Rp 15.000/US$.
Memang sepanjang tahun ini rupiah sudah melemah sekitar 4,9% melawan dolar Amerika Serikat (AS), tetapi kinerjanya jauh lebih baik dari mata uang utama Asia lainnya.
Meski bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) sangat agresif menaikkan suku bunga, tetapi Perry berulang kali menegaskan tidak perlu merespon dengan ikut menaikkan suku bunga. Inflasi inti dan stabilitas rupiah tetap dijadikan patokan.
Meski demikian, Perry juga menyatakan kesiapannya dalam menaikkan suku bunga.
"Bank Indonesia akan tetap mewaspadai tekanan inflasi dan dampaknya terhadap ekspektasi inflasi, serta siap menyesuaikan suku bunga jika ditemukan tanda-tanda peningkatan inflasi inti," kata Deputi Gubernur Juda Agung dalam diskusi bertema 'Central Bank Policy Mix for Stability and Economic Recovery' yang merupakan rangkaian Pertemuan ketiga Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) dan Finance Central Bank Deputies Meeting (FCBD) resmi berlangsung hari ini, Rabu (13/7/2022) di Bali Nusa Dua Convention Center.
Secara tahunan, inflasi Juni 2022 berada di 4,35% year-on-year (yoy). Lebih tinggi dibandingkan Mei 2022 yang 3,55% sekaligus jadi yang tertinggi sejak Juni 2017. Sementara itu, inflasi inti yang menjadi patokan BI sebesar 2,63%.
Fundamental dari dalam negeri pun masih cukup kuat. Berkat tingginya harga komoditas, neraca perdagangan sukses mencatat penguatan 26 bulan beruntun Juni lalu, dan berpeluang membuat transaksi berjalan surplus lagi di kuartal II-2022.
Artinya, pasokan valuta asing (valas) besar ke dalam negeri yang membuat rupiah menjadi cukup stabil.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Jadikan Suku Bunga Sebagai Senjata Pamungkas?
Dengan rupiah yang pelemahannya masih terjaga, tekanan bagi BI untuk menaikkan suku bunga masih belum besar. Apalagi BI memiliki cadangan devisa yang cukup besar untuk melakukan triple intervention, yakni intervensi di pasar spot, Surat Berharga Negara (SBN) dan pasar domestic non-deliverable forward (DNDF) guna menstabilkan rupiah.
Capital outflow yang terjadi di pasar SBN tentunya memerlukan intervensi dari BI. Namun, dengan pada Juni tercatat sebesar US$ 136,4 miliar, lebih tinggi dari awal 2020 sekitar US$ 130 miliar, tentunya BI sangat mampu melakukan intevensi.
Saat awal pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) juga terjadi capital outflow yang sangat masif.
Data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko (DJPPR) di bulan Maret 2020 saat Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi, capital outflow yang terjadi di pasar SBN sangat masif, mencapai Rp 120 triliun.
Nilai tukar rupiah pun sempat jeblok hingga menyentuh Rp 16.620/US$, terlemah sejak 1998. BI pun menguras cadangan devisanya hingga untuk melakukan intervensi, pada akhir Maret 2020 berada di US$ 121 miliar, dari akhir Februari 2020 US$ 130,4 miliar. Artinya dalam sebulan cadangan devisa tergerus hingga US$ 9,4 miliar.
Sementara itu capital outflow di pasar SBN di tahun ini memang besar, tetapi tidak semasif 2020 lalu. Capital outflow paling besar juga terjadi pada Maret tahun ini, sekitar Rp 48 triliun, terjadi akibat kenaikan suku bunga The Fed ditambah dengan perang Rusia - Ukraina.
Setelahnya, outflow yang terjadi semakin rendah.
Selain itu, kepemilikan asing di pasar SBN juga jauh menurun. Di awal 2020, persentasenya mencapai 38%, sementara saat ini hanya sekitar 19% saja. Tentunya jika terus terjadi outflow, maka kemungkinannya tidak akan masif lagi.
Dengan demikian, BI masih akan mampu melakukan interensi di pasar SBN, dan kemungkinan menjadikan suku bunga sebagai sejata pamungkas, ketika tekanan iflasi inti mulai meninggi atau nilai tukar rupiah sangat terpuruk.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> The Fed Sangat Agresif, Rupiah Masih Selow!
Tidak bisa dipungkiri The Fed sangat agresif menaikkan suku bunga di tahun ini. Pada semester I-2022, suku bunga dinaikkan sebanyak 3 kali dengan total 150 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%.
Ketua The Fed, Jerome Powell bahkan terang-terangan mengatakan akan menaikkan lagi sebesar 50 - 75 basis poin di bulan ini.
Bahkan, dengan inflasi yang meroket ke 9,1% (yoy) pada bulan Juni lalu, pasar melihat The Fed berpeluang menaikkan suku bunga sebesar 100 basis poin.
Kabar baiknya, dengan kenaikan yang agresif tersebut rupiah masih bertahan di bawah Rp 15.000/US$.
Memang tekanan dari eksternal sangat besar bagi rupiah, tetapi tidak sampai pada level mengerikan.
Kini, beberapa pejabat elit The Fed mulai mengesampingkan kemungkinan kenaikan 100 basis poin pada pekan depan. Hal ini tentunya menjadi kabar baik, tekanan bagi rupiah sedikit mereda, terbukti di awal perdagangan Senin (18/7/2022) rupiah mampu menguat cukup tajam, meski tipis di akhir.
Presiden The Fed wilayah St. Louis, James Bullard mengatakan meski inflasi belum mencapai puncaknya, ia yakin di tahun 2023 akan terjadi penurunan, dan untuk saat ini ia tidak mendukung kenaikan 100 basis poin.
Bullard merupakan salah satu pejabat The Fed yang paling hawkish. Pernyataanya yang tidak mendukung kenaikan 100 basis poin menjadi 2.5% - 2,75% langsung membuat probabilitas di pasar menurun.
Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar kini melihat probabilitas kenaikan 100 basis poin hanya 28%, turun jauh ketimbang pekan lalu yang mencapai 80%. Sementara probabilitas kenaikan sebesar 75 basis poin menjadi 2,25% - 2,5% kini sebesar 71%.
TIM RISET CNBC INDONESIA