
Inflasi di AS Melonjak Lagi, Investor Kembali Lepas SBN

Jakarta, CNBCIndonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah pada perdagangan Kamis (14/7/2022), karena investor masih mengevaluasi data inflasi terbaru di Amerika Serikat (AS).
Mayoritas investor melepas SBN hari ini, ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield) di hampir seluruh tenor. Hanya SBN tenor 15 tahun yang masih ramai diburu oleh investor, ditandai dengan turunnya yield dan menguatnya harga.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 15 tahun turun 2,8 basis poin (bp) ke posisi 7,394% pada perdagangan hari ini.
Sementara itu, yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara berbalik naik 4 bp ke 7,281%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Dari AS, yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) cenderung menguat pada hari ini, karena investor masih mengevaluasi data inflasi terbaru di AS.
Dilansir dari CNBC International, yield Treasury tenor 10 tahun naik 5,3 bp ke posisi 2,959% pada hari ini pukul 06:20 waktu setempat, dari sebelumnya pada perdagangan Rabu kemarin di 2,906%.
Sedangkan, yield Treasury berjangka pendek yakni tenor 2 tahun yang lebih sensitif terhadap perubahan kebijakan moneter bank sentral, naik sekitar 5,9 bp menjadi 3,203%, dari sebelumnya di posisi 3,144% pada perdagangan kemarin.
Dengan ini, maka masih terjadi inversi antara Treasury tenor 2 tahun dengan 10-tahun. Inversi kurva imbal hasil umumnya dipandang oleh pasar sebagai pertanda resesi.
Sebelumnya pada Rabu pagi waktu setempat, Inflasi AS dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) pada bulan lalu kembali melonjak 9,1%secara tahunan (year-on-year/yoy).
Laju inflasi aktual tersebut lebih tinggi dari perkiraan pasar yang memprediksi hanya naik 8,8% secara tahunan.
Laju inflasi Juni 2022 juga lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang hanya 8,6% (yoy). Kini, inflasi AS sudah mencapai laju tertingginya sejak November 1981.
Inflasi inti AS yang mencerminkan kenaikan harga barang dan jasa di luar harga pangan serta energi naik 5,9% (yoy). Pun lebih tinggi dari estimasi konsensus di angka 5,7%.
Melihat inflasi AS yang masih mengganas tersebut, pelaku pasar mulai memperkirakan bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 basis poin (bp).
Untuk diketahui, sebelum rilis data inflasi semalam, mayoritas pelaku pasar masih memperkirakan The Fed bakal mengerek Fed Funds Rate/FFR (suku bunga acuan AS) sebesar 75 bp.
Namun setelah rilis data inflasi tersebut, pelaku pasar memperkirakan ada peluang sebesar 51,1% Fed bakal lebih agresif dengan menaikkan FFR sebesar 100 bp, jika mengacu pada CME FedWatch.
"Tak ada jalan lain, kecuali The Fed harus lebih agresif dalam waktu dekat dan menghajar sisi permintaan. Itu yang akan memicu resesi sekarang," tutur Liz Ann Sonders, analis Charles Schwab seperti dikutip CNBC Internnational.
Dengan inflasi yang masih tinggi dan potensi semakin agresifnya The Fed untuk menaikkan suku bunga acuannya, maka potensi resesi di AS semakin besar. Tak sedikit analis yang memperkirakan bahwa Negeri Paman Sam akan kembali mengalami resesi.
Bank of America mengatakan bahwa ekonomi AS akan jatuh ke dalam mild recession tahun ini dan tingkat pengangguran akan mencapai 4,3% tahun depan dari level sekarang di 3,6%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasar SBN Masih Diburu Investor, Yieldnya Turun Lagi