
Putin Sakti! Rusia Default, Rubel dan Obligasi Malah Menguat

Jakarta, CNBC Indonesia - Rusia dinyatakan gagal bayar utang (default) pada Senin kemarin. Ini menjadi yang pertama bagi negara yang dipimpin Presiden Vladimir Putin gagal memenuhi kewajiban pembayaran obligasi sejak 1998. Bahkan, jika melihat obligasi valuta asing (valas) ini merupakan yang pertama dalam lebih dari 100 tahun terakhir.
Default seharusnya menjadi kabar buruk bagi Rusia, tetapi nyatanya pasar obligasinya masih menguat, begitu juga dengan nilai tukar rubel.
Melansir data Refinitiv, pada perdagangan Selasa (28/6/2022) pukul 9:45 WIB, imbal hasil (yield) obligasi Rusia hari ini mengalami penurunan di semua tenor.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga obligasi, ketika yield mengalami penurunan artinya harga naik. Saat harga naik artinya permintaan sedang meningkat.
Sementara itu nilai tukar rubel kemarin memang merosot lebih dari 4% melawan dolar Amerika Serikat (AS), tetapi pagi ini kembali menguat 2% ke RUB 52,05/US$. Sepanjang tahun ini penguatan rubel sekitar 40% dan menjadi mata uang terbaik di dunia.
Rusia mengalami default setelah gagal membayar bunga obligasi dua Eurobond yang jatuh tempo pada 27 Mei lalu, dan ada masa tenggang selama 30 hari yang berakhir Minggu kemarin.
Reuters melaporkan beberapa investor di Taiwan yang memiliki obligasi Rusia berdenominasi euro tidak menerima pembayaran tersebut hingga Minggu malam kemarin. Sehingga Rusia dianggap default.
Menteri Keuangan Rusia bahkan menyatakan default tersebut adalah sebuah "lelucon".
Jumlah bunga obligasi dua Eurobond yang gagal dibayar juga terbilang "receh", hanya US$ 100 juta.
Rusia sebenarnya memiliki obligasi dalam bentuk valuta asing sebesar US$ 40 miliar, dan total utang luar negerinya mencapai US$ 453,4 miliar pada akhir kuartal I-2022, berdasarkan data Trading Economics.
Utang luar negeri tersebut memang besar, tetapi Rusia sebenarnya memiliki cadangan devisa yang jauh lebih besar.
Cadangan devisa Rusia sekitar US$ 640 miliar, sekitar setengahnya ditempatkan di luar negeri. Besarnya cadangan devisa tersebut nyaris lima kali lipat dari yang dimiliki Indonesia US$ 135 miliar.
Masalahnya, perang Rusia dan Ukraina membuat Amerika Serikat dan sekutu membekukan cadangan devisa tersebut, sehingga tidak bisa diakses Bank Sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR).
Gubernur CBR, Elvira Nabiullina dua bulan lalu menyatakan sedang menyiapkan langkah hukum agar bisa mengakses kembali cadangan devisa milik Rusia tersebut, meski belum memberikan detail dan kapan akan dilakukan.
Dengan asumsi setengah cadangan devisanya dibekukan, Rusia tentunya masih memegang sekitar US$ 300 miliar, untuk membayar US$ 100 juta tentunya tidak akan kesulitan.
Namun, sekali lagi sanksi yang diberikan Barat membuat Rusia kesulitan membayar utangnya.
Kementerian Keuangan Rusia sudah mengirimkan pembayaran senilai US$ 100 juta ke Euroclear, sebuah bank yang kemudian akan mentransfer pembayaran tersebut ke investor.
Pihak Euroclear sendiri tidak menyatakan pembayaran tersebut diblokir, tetapi hanya menyatakan mematuhi semua sanksi.
Seperti diketahui, pada awal bulan ini Departemen Keuangan AS menutup akses investasi ke Rusia, yang berlaku untuk obligasi di pasar sekunder mau pun primer.
Dengan kebijakan tersebut, mayoritas perbankan menghentikan sementara transaksi obligasi Rusia. Hal tersebut diperkirakan menjadi pemicu investor tidak menerima pembayaran dari Rusia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Terancam Default, Tapi Kremlin Klaim Telah Bayar Utang Bunga