
Sesumbar Putin Soal Ekonomi: Rubel Meroket-Dolar Nyungsep

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa hampir 40% perdagangan negaranya kini dilakukan dalam mata uang rubel. Hal itu dikatakan Putin saat Moskow masih terkena sanksi ekonomi dari Barat pasca perang Ukraina yang membuatnya dibatasi dalam mengakses mata uang seperti Dolar Amerika Serikat (AS) dan Euro.
Berbicara di Forum Ekonomi Internasional St. Petersburg (SPIEF), Jumat (7/6/2024) Putin mengatakan negara-negara yang 'bersahabat dengan Rusia' adalah negara-negara yang patut mendapat perhatian khusus karena akan menentukan masa depan perekonomian global. Ia mengklaim jumlah negara sahabat Rusia ini berjumlah 75% dari volume perdagangan dunia.
Putin mengatakan pihaknya juga akan terus menggodok mata uang negara-negara BRICS, mengacu pada koalisi ekonomi negara-negara berkembang yang mencakup Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
"Penggunaan mata uang beracun telah berkurang setengahnya selama setahun terakhir. Dengan demikian, pangsa rubel dalam operasi impor dan ekspor meningkat, kini mencapai hampir 40%," kata Putin, mengacu kata beracun pada mata uang Barat, dikutip CNBC International.
Laporan menunjukkan bahwa jumlah ini meningkat dari sekitar 30% pada tahun lalu. Angka ini juga lebih tinggi dibandingkan 15% pada tahun-tahun sebelum perang.
Putin juga merinci rencana untuk melakukan perombakan besar-besaran pada pasar keuangan domestik negaranya, termasuk rencana untuk melipatgandakan nilai pasar saham Rusia pada akhir dekade ini, mengurangi impor dan meningkatkan investasi pada aset tetap.
Komentarnya muncul ketika Kremlin memanfaatkan SPIEF untuk menjalin hubungan baru dengan negara-negara di Asia, Amerika Latin, dan Afrika.
Negara-negara Barat telah berupaya untuk memotong perekonomian Rusia yang bernilai US$ 2 triliun sebagai respons terhadap serangan besar-besaran Moskow ke Ukraina pada bulan Februari 2022. Namun perekonomian Rusia tetap diperkirakan akan tumbuh lebih cepat dibandingkan semua negara maju pada tahun ini.
Dalam Outlook Ekonomi Dunia pada bulan April, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan Rusia akan tumbuh sebesar 3,2% pada tahun 2024, melebihi perkiraan tingkat ekspansi AS sebesar 2,7% (2,7%).
Jerman, Perancis dan Inggris diperkirakan akan mencatat pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah lagi yaitu kurang dari 1%.
Rusia mengklaim bahwa sanksi Barat terhadap industri-industri penting di negaranya telah membuatnya lebih mandiri dan konsumsi swasta serta investasi dalam negeri tetap tangguh. Moskow juga telah mencari pasar lain di luar Barat seperti China dan India untuk menjual hasil migasnya.
Sementara itu, perang di Ukraina masih belum menunjukan tanda-tanda berakhir. Terbaru, Rusia berhasil mengambil alih beberapa desa di wilayah Donbass.
Barat sendiri masih tetap berupaya membantu Ukraina dalam perangnya melawan Rusia. Diketahui, Kyiv mendapatkan sejumlah peralatan canggih dari Barat untuk melawan tentara Rusia.
Pada upacara peringatan internasional D-Day, yang memperingati pendaratan pasukan sekutu di daratan Eropa saat Perang Dunia II, Presiden AS Joe Biden mengatakan bahwa tunduk pada agresi Rusia adalah sesuatu yang 'tidak terpikirkan'.
Biden juga berjanji tidak akan berhenti memberikan dukungan AS kepada negara di Eropa Timur tersebut.
Presiden Prancis Emmanuel Macron bergabung dengan Biden dalam memuji pasukan Ukraina atas keberanian mereka dalam perjuangan melawan pasukan Rusia.
"Kami di sini dan tidak akan mundur," tegasnya.
(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Serang Balik AS, Putin Setop Perdagangan Dolar Cs