Punya Banyak Uang, Rusia Gagal Bayar Utang "Receh", Kok Bisa?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
27 June 2022 16:10
Anggota delegasi, yang dipimpin oleh Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping, menghadiri pertemuan di Beijing, China (4/2/2022) (via REUTERS/SPUTNIK)
Foto: Anggota delegasi, yang dipimpin oleh Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping, menghadiri pertemuan di Beijing, China (4/2/2022) (via REUTERS/SPUTNIK)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rusia gagal mengalami gagal bayar utang (default) obligasi untuk pertama kalinya sejak 1998. Bahkan, jika melihat obligasi valuta asing (valas) ini merupakan yang pertama dalam lebih dari 100 tahun terakhir. Namun, default tersebut bukan karena Rusia tidak memiliki dana, tetapi karena sanksi yang diberikan Amerika Serikat (AS).

Jumlah bunga obligasi dua Eurobond yang gagal dibayar juga terbilang "receh", hanya US$ 100 juta. Jatuh tempo pembayaran sebenarnya pada 27 Mei lalu, dan ada masa tenggang selama 30 hari yang berakhir Minggu kemarin.

Rusia sebenarnya memiliki obligasi dalam bentuk valuta asing sebesar US$ 40 miliar, dan total utang luar negerinya mencapai US$ 453,4 miliar pada akhir kuartal I-2022, berdasarkan data Trading Economics.

Utang luar negeri tersebut memang besar, tetapi Rusia sebenarnya memiliki cadangan devisa yang jauh lebih besar.

Cadangan devisa Rusia sekitar US$ 640 miliar, sekitar setengahnya ditempatkan di luar negeri. Besarnya cadangan devisa tersebut nyaris lima kali lipat dari yang dimiliki Indonesia US$ 135 miliar.

Masalahnya, perang Rusia dan Ukraina membuat Amerika Serikat dan sekutu membekukan cadangan devisa tersebut, sehingga tidak bisa diakses Bank Sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR).

Gubernur CBR, Elvira Nabiullina dua bulan lalu menyatakan sedang menyiapkan langkah hukum agar bisa mengakses kembali cadangan devisa milik Rusia tersebut, meski belum memberikan detail dan kapan akan dilakukan.

"Tentu saja, pembekuan ini tidak pernah terjadi sebelumnya, jadi kami mempersiapkan tuntutan hukum, kami akan mengajukannya," kata Nabiullina, sebagaimana dilansir Financial Times pertengahan April lalu.

Dengan asumsi setengah cadangan devisanya dibekukan, Rusia tentunya masih memegang sekitar US$ 300 miliar, untuk membayar US$ 100 juta tentunya tidak akan kesulitan. Namun, sekali lagi sanksi yang diberikan Barat membuat Rusia dipersulit dalam membayar utangnya.

Menteri Keuangan Rusia bahkan menyatakan default tersebut adalah sebuah "lelucon". Kementerian Keuangan Rusia sudah mengirimkan pembayaran senilai US$ 100 juta ke Euroclear, sebuah bank yang kemudian akan mentransfer pembayaran tersebut ke investor.

Namun, Reuters melaporkan beberapa investor di Taiwan yang memiliki obligasi Rusia berdenominasi euro tidak menerima pembayaran tersebut hingga Minggu malam kemarin. Sehingga Rusia dianggap default.

Pihak Euroclear sendiri tidak menyatakan pembayaran tersebut diblokir, tetapi hanya menyatakan mematuhi semua sanksi.

Seperti diketahui, pada awal bulan ini Departemen Keuangan AS menutup akses investasi ke Rusia, yang berlaku untuk obligasi di pasar sekunder mau pun primer.

Dengan kebijakan tersebut, mayoritas perbankan menghentikan sementara transaksi obligasi Rusia.

Hal ini ditengarai menjadi pemicu default yang dikatakan "lelucon" oleh Menteri Keuangan Rusia.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tertekan Sanksi Ekonomi, Begini Cara Rusia Melawan Balik

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular