Terancam Default, Tapi Kremlin Klaim Telah Bayar Utang Bunga

chd, CNBC Indonesia
18 March 2022 16:10
Suasana jalan kosong selama serangan Rusia ke Ukraina berlanjut, di Kyiv, Ukraina, Jumat (17/3/2022). (AP/Vadim Ghirda)
Foto: Suasana jalan kosong selama serangan Rusia ke Ukraina berlanjut, di Kyiv, Ukraina, Jumat (17/3/2022). (AP/Vadim Ghirda)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Keuangan Rusia mengklaim bahwa pihaknya telah membayar bunga obligasi berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) ke bank korespondennya.

Dalam sebuah pernyataan pada Kamis (17/3/2021) kemarin waktu setempat, Kementerian Keuangan Rusia mengatakan telah membayar bunga obligasi tersebut sebesar US$ 117 juta setara Rp 1,67 triliun (asumsi kurs Rp 14.300/US$) pada Senin lalu ke bank koresponden yang tidak disebutkan namanya.

Pemerintah Rusia akan memberitahu pasar secara terpisah jika pembayaran tersebut telah disetorkan ke rekening agen pembayaran Citibank London.

Beberapa langkah akan dilakukan Kementerian Keuangan Rusia agar utang Rusia dapat dibayarkan sesuai jatuh temponya. Pertama-tama, mereka akan mencoba melakukan pembayaran dalam dolar. Jika gagal, maka mereka akan menggunakan rubel untuk membayar utang tersebut.

Namun sejauh ini, pemegang obligasi Rusia di Eropa belum menerima pembayaran bunga obligasi yang sudah jatuh tempo tersebut.

Pembayaran bunga obligasi berdenominasi dolar AS yang jatuh tempo pada Rabu (16/3) lalu, merupakan tantangan pertama Moskow dalam menghormati kewajiban utang luar negerinya sejak sanksi blok Barat diberlakukan.

Bahkan, salah satu lembaga pemeringkat utang internasional yakni Fitch Ratings mengatakan bahwa pemegang obligasi Rusia masih bisa menyatakan default jika Rusia membayarnya dalam bentuk rubel.

Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov mengatakan bahwa Rusia memiliki semua sumber daya yang dibutuhkan untuk menghindari default.

Namun, jika Rusia memang tidak memenuhi kewajiban utangnya, maka hasilnya dapat memperkuat pengecualian Rusia dari pasar modal global dan meningkatkan biaya pinjamannya.

Pemerintah Rusia dan beberapa perusahaan termasuk Gazprom dan Lukoil memiliki utang sekitar US$ 150 miliar berdenominasi asing.

Jumlah dan tekanan keuangan yang lebih luas mungkin tidak cukup untuk mengancam krisis keuangan global, tetapi ketegangannya dapat melonjak melalui pasar negara berkembang dan dapat menimbulkan guncangan pada ekonomi dunia yang mengalami transformasi seismik setelah agresi militer Rusia ke Ukraina.

"Kemerosotan utang Rusia sangat mendadak dan di negara di mana fundamentalnya kuat, jadi itu pasti akan lebih signifikan daripada, katakanlah, default Argentina," kata Anthony Kettle, senior manager portofolio di BlueBay Asset Management Plc, dilansir dari Bloomberg.

"Ini dapat mengarah pada diversifikasi lebih lanjut dari cadangan internasional, dengan kemungkinan banyak yang beralih ke yuan China, karena AS telah menggunakan sanksi dan status aset cadangan dolar dengan sangat efektif dalam kasus ini," tambah Kettle.

Adapun dampaknya terhadap Rusia sendiri yakni ekonominya berpotensi makin lesu karena langkah-langkah sanksi dari Barat seperti pembekukan sebagian besar cadangan kas bank sentral senilai US$ 640 miliar, meski dampak ini hanya bersifat sementara.

Pada tahun 1998 silam, terjadi krisis finansial Rusia, karena Moskow gagal membayar utang domestiknya dan pembayaran utang moratorium kepada kreditur asing.

Krisis finansial Rusia tersebut juga berkontribusi pada peristiwa jatuhnya Long-Term Capital Management (LTCM), perusahaan lindung nilai (hedge fund) yang juga menjadi penyebab krisis keuangan terbesar di dunia tahun 1998.

"Ingat kasus runtuhnya LTCM? atau krisis keuangan 1998? itu bisa saja kembali terjadi jika utang Rusia benar-benar default," kata Carmen Reinhart, kepala Ekonom Bank Dunia, dikutip dari Bloomberg.


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article China Gagal Bayar Lagi, Siapa Taipan di Balik Modern Land?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular