Tertekan Sanksi Ekonomi, Begini Cara Rusia Melawan Balik

Feri Sandria, CNBC Indonesia
14 March 2022 13:30
Presiden Rusia Vladimir Putin berbicara selama pertemuan Dewan Keamanan di Kremlin di Moskow, Rusia, Senin, 21 Februari 2022. Putin telah mengumpulkan pejabat tinggi untuk mempertimbangkan mengakui kemerdekaan wilayah separatis di Ukraina timur. (AP/Alexei Nikolsky)et up tensions with the West amid fears that the Kremlin could launch an invasion of Ukraine imminently. (Alexei Nikolsky, Sputnik, Kremlin Pool Photo via AP)
Foto: Presiden Rusia Vladimir Putin berbicara selama pertemuan Dewan Keamanan di Kremlin di Moskow, Rusia, Senin, 21 Februari 2022. Putin telah mengumpulkan pejabat tinggi untuk mempertimbangkan mengakui kemerdekaan wilayah separatis di Ukraina timur. (AP/Alexei Nikolsky)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Rusia telah mengancam untuk membayar pemegang obligasi internasional dalam mata uang rubel dan bukan dolar AS, beberapa hari sebelum jatuh tempo.

Anton Siluanov, menteri keuangan Rusia, mengatakan pada hari Minggu bahwa akan "benar-benar adil" bagi Rusia untuk melakukan semua pembayaran utang negaranya dalam rubel sampai sanksi barat yang dia klaim telah membekukan US$ 300 miliar cadangan devisa Rusia dicabut.

Moskow dijadwalkan untuk melakukan pembayaran bunga senilai US$ 117 juta atau setara dengan Rp 1,68 triliun (Rp 14.350/US$) Rabu ini pada dua obligasi berdenominasi dolar, menurut JPMorgan. Kontrak obligasi tidak memberikan Rusia pilihan untuk membayar dalam rubel, menurut bank Wall Street tersebut.

Peringatan terbaru kepada pemegang obligasi asing tersebut meningkatkan kemungkinan negara itu akan gagal membayar utangnya untuk pertama kalinya sejak krisis keuangan Rusia pada tahun 1998 kepada investor domestik, sedangkan untuk pemegang obligasi asing, ini merupakan yang pertama sejak lebih dari seabad lalu.

"Kita perlu membayar impor [untuk barang-barang] kritis [seperti] makanan, obat-obatan, berbagai macam barang vital lainnya," kata Siluanov dalam wawancara dengan televisi pemerintah, dilansir Financial Times. "Tetapi utang yang harus [pemerintah] bayar ke negara-negara yang tidak bersahabat dengan Federasi Rusia dan telah membatasi penggunaan cadangan mata uang asing - [pemerintah Rusia] akan melunasi utang ke negara-negara tersebut dalam mata uang rubel," katanya.

Siluanov mengatakan bahwa hampir setengah dari cadangan devisa Rusia yang totalnya senilai US$ 643 miliar telah terkena sanksi, tetapi tidak mengungkapkan denominasi dan yurisdiksi di mana Rusia memegang mata uang asing tersebut.

Investor telah bersiap untuk Rusia mengalami gagal bayar (default), dengan kedua obligasi diperdagangkan sekitar 20 sen per dolar. Moskow akan memiliki masa tenggang (grace period) 30 hari untuk melakukan pembayaran kupon.

Selain kondisi utang yang kemungkinan gagal dibayarkan, akibat kondisi pasar keuangan yang amburadul, puluhan perusahaan manajemen aset harus membekukan dana dengan eksposur ke Rusia yang signifikan, sementara beberapa yang lain harus rela nilai asetnya turun tajam.

Ada eksodus dari aset Rusia sejak invasi, karena AS dan Uni Eropa telah berusaha memutuskan hubungan Rusia dengan sistem keuangan global. Pasar saham Moskow telah ditutup sejak 28 Februari, sementara saham perusahaan Rusia yang terdaftar di luar negeri juga ikut anjlok. Rubel turun lebih dari 45% tahun ini, dan dapat menandai penurunan tahunan terbesar sejak 1998, ketika Rusia gagal membayar utang dalam mata uang lokalnya.

Direktur pelaksana IMF Kristalina Georgieva dalam wawancara dengan stasiun televisi AS Minggu (13/3) kemarin mengatakan bahwa "dalam hal pembayaran kewajiban utang, saya dapat mengatakan bahwa kita tidak lagi menganggap default Rusia sebagai peristiwa yang mustahil".

Pandangan investor barat terhadap kemampuan Moskow untuk membayar utangnya telah berubah drastis. Sebelum menyerang Ukraina dan dikenakan sanksi ekonomi, Rusia diberi peringkat layak investasi di Fitch, S&P Global, dan Moody's Investors Service - tiga lembaga pemeringkat utama - hingga 25 Februari.

Awal Februari lalu, Rusia menyimpan US$ 311 miliar cadev dalam sekuritas asing, US$ 152 miliar dalam bentuk tunai dan deposito di bank asing, US$ 30 miliar dalam penerimaan setoran khusus di IMF, dan tambahan US$ 132 miliar dalam bentuk emas. Rusia telah memangkas kepemilikan dolarnya dari 45% dari total saham pada 2013-setahun sebelum sanksi barat pertama atas aneksasi Krimea-menjadi hanya 16,4% pada 2021.

Bank sentral menerbitkan data tentang struktur cadangan devisa Rusia dengan jeda setidaknya enam bulan. Pada Juni 2021, euro membentuk 32,3% kepemilikan Rusia, renminbi 13,1%, poundsterling 6,5%, mata uang lain 10%, dan emas 21,7%.

China memegang 14,2% dari cadangan Rusia, terbesar dari negara lain, dengan Jepang memegang 12,3% dan Jerman 11,8%.

Siluanov mengklaim negara-negara barat mendorong China untuk membatasi penggunaan cadangan renminbi Rusia, tetapi mengatakan dia yakin Beijing tidak akan tunduk pada tekanan tersebut. "Saya pikir kemitraan kami dengan China akan memungkinkan kami untuk mempertahankan kerja sama yang telah kami capai dan meningkatkannya ketika pasar barat ditutup," katanya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article China Gagal Bayar Lagi, Siapa Taipan di Balik Modern Land?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular