Sudah Disanksi Hingga Default, Rubel Rusia Tetap Juara Dunia!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
29 June 2022 11:35
Anggota delegasi, yang dipimpin oleh Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping, menghadiri pertemuan di Beijing, China (4/2/2022) (via REUTERS/SPUTNIK)
Foto: Anggota delegasi, yang dipimpin oleh Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping, menghadiri pertemuan di Beijing, China (4/2/2022) (via REUTERS/SPUTNIK)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rusia mengalami gagal bayar (default) utang obligasi valuta asing di pekan ini. Meski default tersebut terjadi bukan karena Rusia tidak mampu membayar, tetapi karena berbagai sanksi yang diberikan Amerika Serikat (AS) dan sekutu ke Rusia.

Default merupakan sesuatu yang sangat buruk yang bisa berdampak besar ke perekonomian suatu negara. Mata uang juga bisa merosot, tetapi tidak dengan rubel Rusia yang posisinya sebagai mata uang terbaik di dunia tak goyah.

Pada perdagangan Selasa kemarin, rubel mampu menguat 3,5% melawan dolar AS ke RUB 51,25/US$. Sepanjang tahun ini rubel tercatat melesat lebih dari 40%, jauh meninggalkan real Brasil yang berada di urutan terbaik kedua di dunia dengan penguatan 6,4%.

idrFoto: Refinitiv

Negeri yang dipimpin Vladimir Putin ini mengalami default setelah gagal membayar bunga obligasi dua Eurobond yang jatuh tempo pada 27 Mei lalu, dan ada masa tenggang selama 30 hari yang berakhir Minggu kemarin.

Reuters melaporkan beberapa investor di Taiwan yang memiliki obligasi Rusia berdenominasi euro tidak menerima pembayaran tersebut hingga Minggu malam kemarin. Sehingga Rusia dianggap default.

Menteri Keuangan Rusia bahkan menyatakan default tersebut adalah sebuah "lelucon". Jumlah bunga obligasi dua Eurobond yang gagal dibayar juga terbilang "receh", hanya US$ 100 juta.

Rusia memiliki obligasi dalam bentuk valuta asing sebesar US$ 40 miliar, dan total utang luar negerinya mencapai US$ 453,4 miliar pada akhir kuartal I-2022, berdasarkan data Trading Economics.

Utang luar negeri tersebut memang besar, tetapi Rusia sebenarnya memiliki cadangan devisa yang jauh lebih besar.

Cadangan devisa Rusia sekitar US$ 640 miliar, sekitar setengahnya ditempatkan di luar negeri. Besarnya cadangan devisa tersebut nyaris lima kali lipat dari yang dimiliki Indonesia US$ 135 miliar.

Masalahnya, perang Rusia dan Ukraina membuat Amerika Serikat dan sekutu membekukan cadangan devisa tersebut, sehingga tidak bisa diakses Bank Sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR).

Gubernur CBR, Elvira Nabiullina dua bulan lalu menyatakan sedang menyiapkan langkah hukum agar bisa mengakses kembali cadangan devisa milik Rusia tersebut, meski belum memberikan detail dan kapan akan dilakukan.

Dengan asumsi setengah cadangan devisanya dibekukan, Rusia tentunya masih memegang sekitar US$ 300 miliar, untuk membayar US$ 100 juta tentunya tidak akan kesulitan.

Namun, sekali lagi sanksi yang diberikan Barat membuat Rusia kesulitan membayar utangnya.

Kementerian Keuangan Rusia sudah mengirimkan pembayaran senilai US$ 100 juta ke Euroclear, sebuah bank yang kemudian akan mentransfer pembayaran tersebut ke investor.

Pihak Euroclear sendiri tidak menyatakan pembayaran tersebut diblokir, tetapi hanya menyatakan mematuhi semua sanksi.

Seperti diketahui, pada awal bulan ini Departemen Keuangan AS menutup akses investasi ke Rusia, yang berlaku untuk obligasi di pasar sekunder mau pun primer.

Dengan kebijakan tersebut, mayoritas perbankan menghentikan sementara transaksi obligasi Rusia. Hal tersebut diperkirakan menjadi pemicu investor tidak menerima pembayaran dari Rusia.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rusia Default atau Tidak? Ini Kata Lembaga Pemeringkat Kredit

Lembaga pemeringkat kredit, Moody's Senin kemarin mengatakan pembayaran kupon obligasi yang melewati batas waktu adalah default. Moody's juga memperkirakan default akan kembali dialami Rusia.

"Default pembayaran kupon akan kembali terjadi," tulis Moody's dalam sebuah catatan yang dikutip Reuters.

Berdasarkan data dari Bloomberg, pembayaran kupon obligasi valas Rusia yang jatuh tempo di bulan ini sebesar US$ 400 juta.

Sebelum pekan ini, S&P 500 sebenarnya sudah menurunkan peringkat kredit obligasi valas Rusia menjadi "selective default" pada April lalu.

S&P memberikan peringkat "selective default" ketika yakin debitur mengalami gagal bayar obligasi spesifik, tetapi masih mampu memenuhi kewajiban pembayaran obligasi lainnya.

Saat itu, Rusia diperkirakan tidak bisa membayar membayar bunga obligasi berdenominasi dolar AS. Pada 4 April pembayaran obligasi berdenominasi dolar AS Rusia senilai US$ 650 juta jatuh tempo, dengan masa tenggang selama 30 hari.

Rusia secara mengejutkan mampu melakukan pembayaran dengan dolar AS senilai US$ 349 juta, tetapi masih kekurangan pembayaran bunga yang terakumulasi selama masa tenggang sebesar US$ 1,9 juta

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular