Jurus 'Sedot-Semprot' BI Sukses Redam Inflasi

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
22 June 2022 16:29
Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan Mei 2022
Foto: Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo Memberikan Keterangan Pers Mengenai Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan Mei 2022. (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Kamis (23/6/2022). Namun, saat ini sudah ada sinyal kuat dari Gubernur BI Perry Warjiyo suku bunga masih akan dipertahankan.

"Kebijakan moneter akan terus pro-stability. Dengan inflasi yang rendah, kita tidak perlu terburu-buru untuk menaikkan suku bunga," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam acara Bank Dunia, Rabu (22/6/2022).

Indikator BI tidak mau terburu-buru adalah inflasi yang masih terkendali. Kini inflasi berada di level 3,5% dan hingga akhir tahun BI memperkirakan inflasi 4,2%.

"Inflasi kemungkinan di 4,2%. Inflasi menjadi tantangan besar tetapi kami percaya dengan kerja sama yang erat dengan pemerintah, kami bisa menjaga stabilitas harga," jelasnya.

Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia juga memperkirakan bertahan di 3,5%. Dari 13 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus tersebut hanya satu yang memproyeksi BI akan menaikkan suku bunga acuan bulan ini.

Bila BI nantinya memang tetap mempertahankan BI 7-DRRR berarti suku bunga acuan sebesar 3,5% akan bertahan selama 16 bulan terakhir. Level 3,5% adalah suku bunga acuan terendah dalam sejarah Indonesia.

BI sejauh ini menempuh jalan menaikkan Giro Wajib Minum (GWM) secara bertahap hingga September nant. Kebijakan tersebut diperkirakan akan menyerap likuiditas di perekonomian sebesar Rp 110 triliun.

Penyerapan likuiditas tersebut tentunya menjadi salah satu jalan meredam inflasi di dalam negeri. Tetapi di sisi lain, BI juga tetap menyuntikkan likuiditas melalui kebijakan burden sharing dengan pemerintah.

Seperti diketahui, dalam menangani pandemi Covid-19, BI membantu pemerintah dalam pendanaan APBN melalui skema burden sharing. BI menjadi standby buyer Surat Berharga Negara (SBN) di pasar primer.

Skema burden sharing ini sudah dilakukan sejak awal pandemi penyakit virus corona (Covid-19), dan akan berakhir tahun ini. BI menargetkan pembelian SBN senilai Rp 224 triliun pada 2022.

Lelang SBN yang dilakukan pemerintah belakangan ini juga kurang peminat akibat selisih imbal hasil (yield) yang semakin menyempit dengan Amerika Serikat. Kemarin misalnya, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, total penawaran yang masuk dalam lelang SUN hari ini mencapai Rp 35,06 triliun. Jumlah tersebut adalah yang terendah dalam tiga lelang terakhir.

Dari jumlah penawaran yang masuk, pemerintah hanya menyerap utang sebesar Rp 18,88 triliun. Artinya, pemerintah kembali gagal memenuhi target indikatif yang ditetapkan yakni Rp 20-30 triliun. Dalam delapan lelang terakhir, pemerintah hanya sekali mampu memenuhi target indikatif lelang yang ditetapkan yakni pada 24 Mei 2022.

Pada lelang hari ini, penawaran yang datang dari investor asing mencapai Rp 3,67 triliun atau hanya 10,5% dari total penawaran. Jumlah tersebut adalah yang paling kecil dalam tiga lelang terakhir.

Artinya, BI akan menyerap lelang SBN yang kurang dari target indikatif tersebut. Secara tidak langsung, BI kembali menyuntikkan likuiditas ke perekonomian.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Burden Sharing Tak Picu Inflasi?

Burden sharing yang dilakukan BI sejak 2020 dikhawatirkan akan memicu lonjakan inflasi. Tetapi, nyatanya tidak terjadi atau masih belum terjadi hingga saat ini.

Pada tahun 2020, BI telah membeli SBN dalam skema burden sharing sebesar Rp 473,42 triliun. Sepanjang 2021, BI telah membeli SBN untuk pendanaan APBN 2021 sebesar Rp 358,32triliun. Penggunaan skema burden sharing didasarkan pada kelompok pembiayaan untuk public goods/benefit dan non-public goods/benefit.

Pembiayaan public goods yang menyangkut hajat hidup orang banyak terdiri dari pembiayaan di bidang kesehatan, perlindungan sosial, serta sektoral kementerian/lembaga (k/l) dan pemerintah daerah (pemda).

Sementara, pembiayaan untuk non-public goods yang menyangkut upaya pemulihan ekonomi dan dunia usaha terdiri dari pembiayaan untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), Korporasi non-UMKM, dan non-public goods lainnya.

Yang menarik, dengan besarnya burden sharing dan disuntikkan ke masyarakat, inflasi di dalam negeri masih saja tetap rendah. Sepanjang 2020 inflasi hanya sebesar 1,68%, cukup jauh di bawah target BI 3% plus minus 1%. Sementara pada 2021 inflasi tercatat sebesar 1,87%, lagi-lagi di bawah target BI.

Apakah ini artinya BI sukses mengendalikan inflasi? Atau daya beli masyarakat memang sangat terpukul akibat akibat pandemi Covid-19, sehingga suntikan likuiditas BI masih belum mampu mendongkrak belanja?

Jika itu yang terjadi, burden sharing sepertinya tidak berdampak signifikan ke inflasi. Tetapi, seandainya masyarakat menahan konsumsi dalam 2 tahun terakhir, ada risiko belanja besar baru akan terjadi di tahun ini dan inflasi berisiko meroket.

Selama pandemi Covid-19, roda perekonomian tersendat-sendat. Pemerintah berulang kali mengetatkan maupun mengendurkan pembatasan sosial. Dipenuhi ketidakpastian, ada kemungkinan masyarakat menahan konsumsi.

Sementara di tahun ini, pembatasan sosial sudah dilonggarkan dan roda perekonomian sehingga masyarakat tentunya lebih berani meningkatkan belanja rumah tangga.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Jaga Inflasi Lewat Nilai Tukar Rupiah

Nilai tukar rupiah menjadi salah satu faktor yang bisa memicu inflasi. Jika nilai tukar rupiah merosot tajam, maka inflasi berisiko meninggi. BI sepanjang tahun ini sukses mengawal pergerakan rupiah.

Memang belakangan ini tekanan terhadap rupiah semakin membesar setelah bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5-1,75%. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak 1994.

Ketua The Fed, Jerome Powell juga menyatakan di bulan depan suku bunga bisa dinaikkan lagi sebesar 50-75 basis poin. Sementara di akhir tahun, suku bunga diproyeksikan berada di 3,25% - 3,5%.

Rupiah memang tertekan akibat kenaikan suku bunga tersebut, tetapikinerjanya masih cukup bagus ketimbang mata uang Asia lainnya. 

Sepanjang tahun ini pelemahan rupiah tercatat sebesar 4,3%, terbaik kedua dibandingkan mata uang utama Asia lainnya. Rupiah hanya kalah dari dolar Singapura yang melemah 3%.

Pelemahan rupiah yang tidak terlalu besar di tahun ini membuat BI memiliki ruang untuk mempertahankan suku bunga, dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Selain itu, melihat porsi asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN) yang saat ini sekitar 17%, turun jauh ketimbang sebelum pandemi di kisaran 40%, capital outflow yang terjadi tentunya tidak akan sebesar tahun 2020 saat awal masa pandemi.

BI juga punya cadangan devisa yang cukup besar guna menstabilkan rupiah ketika mengalami gejolak yang berlebihan. Sehingga, selama nilai tukar rupiah stabil, diharapkan inflasi masih bisa terkendali.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular