BI Sinyalkan Tak Kerek Suku Bunga, Rupiah Melemah Lagi!

Jakarta, CNBC Indonesia - Selasa kemarin rupiah mampu menghentikan kemerosotan 6 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS). Tetapi, pada perdagangan Rabu (22/6/2022) rupiah kembali melemah, bahkan cukup tajam.
Pada awal perdagangan rupiah bergerak liar. Rupiah langsung menguat 0,07% ke Rp 14.800/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv. Hitungan detik saja, rupiah berbalik melemah dengan persentase yang sama. Kemudian berbalik lagi menguat 0,14% sebelum akhirnya terus melemah hingga 0,42% ke Rp 14.872/US$, yang merupakan level terlemah sejak Oktober 2020.
Saat perdagangan berakhir, rupiah berada di Rp 14.865/US$ melemah 0,37%.
Bank Indonesia (BI) yang diperkirakan masih akan mempertahankan suku bunga acuannya besok, membuat rupiah tertekan.
Gubernur Perry Warjiyo dan anggota Anggota Dewan Gubernur lain dijadwalkan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) Juni 2022 pada 22-23 Juni 2022. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan bertahan di 3,5%. Dari 13 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus tersebut hanya satu yang memproyeksi BI akan menaikkan suku bunga acuan bulan ini.
Bila BI nantinya memang tetap mempertahankan BI 7-DRRR berarti suku bunga acuan sebesar 3,5% akan bertahan selama 16 bulan terakhir. Level 3,5% adalah suku bunga acuan terendah dalam sejarah Indonesia.
Perry juga memberikan sinyal tidak ada kenaikan suku bunga acuan dalam waktu dekat. Arah kebijakan suku bunga masih tertuju mendorong perekonomian.
"Kebijakan moneter akan terus pro-stability. Dengan inflasi yang rendah, kita tidak perlu terburu-buru untuk menaikkan suku bunga," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam acara Bank Dunia, Rabu (22/6/2022).
Indikator BI tidak mau terburu-buru adalah inflasi yang masih terkendali. Kini inflasi berada di level 3,5% dan hingga akhir tahun BI memperkirakan inflasi 4,2%.
"Inflasi kemungkinan di 4,2%. Inflasi menjadi tantangan besar tetapi kami percaya dengan kerja sama yang erat dengan pemerintah, kami bisa menjaga stabilitas harga," jelasnya.
Sementara itu, sentimen pelaku pasar sebenarnya sedang bagus, tercermin dari penguatan bursa saham AS (Wall Street). Indeks Dow Jones kemarin melesat 2,15%, kemudian S&P 500 2,45% dan Nasdaq 2,5%.
Namun, jika Wall Street terus menanjak, maka inflasi yang tinggi di Amerika Serikat akan sulit untuk segera turun. Hal tersebut bisa memaksa bank sentral AS (The Fed) bertindak lebih agresif lagi.
"Saat ini, yang terbaik adalah bursa saham turun dengan cepat, jadi ketua The Fed Jerome Powell, bisa segera menurunkan inflasi," kata Jim Cramer dalam acara MAD Money CNBC International.
Ketika Wall Street menanjak, maka para investor tentunya akan mendapat cuan, hal ini bisa memicu kenaikan konsumsi yang pada akhirnya menahan inflasi di level tinggi.
Sebaliknya ketika Wall Street jeblok, portofolio investor akan menjadi negatif, dan bisa menahan niat konsumsi.
"Dalam beberapa tahun terakhir, kenaikan di pasar saham membuat para investor yang cuan belanja dalam jumlah yang besar. Jika Powell bisa membuat bursa turun dan tetap di bawah, membalikkan semua penguatan, maka investor kemungkinan akan menahan belanja mereka," tambah Cramer.
Seperti diketahui, The Fed pada pekan lalu menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak 1994.
Powell juga menyatakan di bulan depan suku bunga bisa dinaikkan lagi sebesar 50 - 75 basis poin. Jika Wall Street masih terus menanjak, kemungkinan kenaikan 75 basis poin lagi tentunya akan semakin besar. Hal ini membuat selisih suku bunga dengan BI akan semakin menyempit dan membuat rupiah tertekan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
Jurus Perry Warjiyo & BI Jaga Rupiah Dari Amukan Dolar AS
(pap/pap)