Jakarta, CNBC Indonesia - Siapa yang tidak kenal dengan dolar Amerika Serikat (AS)? Mata uang yang diterima hampir di semua negara di Planet Bumii.
Dolar AS menjadi mata uang yang paling banyak digunakan dalam perdagangan internasional. Harga aset juga mayoritas dipatok dengan the greenback.
Berdasarkan data dari Atlantic Council yang mengutip data dari bank sentral AS (Federal Reserve/The) pada periode 1999-2019, penggunaan dolar AS dalam transaksi internasional di wilayah Amerika Utara dan Selatan mencapai 96,4%. Kemudian di Asia Pasifik nilainya mencapai 74%.
Porsi penggunaan dolar AS hanya lebih kecil di Eropa yakni 23,1% saja. Maklum saja, Eropa memiliki mata uang tunggal yakni euro yang kontribusinya terhadap perdagangan ekspor impor di Eropa mencapai 66,1%.
 Foto: Atlantic Council |
Di sisa dunia lainnya, penggunaan dolar AS mencapai 79,1%. Belum lagi melihat porsinya di cadangan devisa global yang hampir 60%, terlihat jelas bagaimana dominasi dolar AS di dunia finansial.
Peran vital dolar AS di dunia finansial global membuat Amerika Serikat disebut mendapat "hak istimewa setinggi langit" oleh Menteri Keuangan Prancis, Valéry Giscard d'Estaing pada 1965.
Dolar AS yang sangat dominan di dunia ini memberikan keuntungan yang besar bagi Negeri Adidaya. Obligasi pemerintah AS akan selalu ada peminatnya, bahkan bisa diterbitkan dengan kupon yang rendah.
Aliran modal yang besar ke Amerika Serikat bisa menambal defisit transaksi berjalan dan anggaran secara terus menerus. Selain itu, dengan vitalnya posisi dolar AS tersebut, banyak yang mengatakan Amerika Serikat menggunakannya sebagai senjata untuk menekan negara lain. Bahkan bisa digunakan untuk merusak perekonomian suatu negara.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Negara-negara Korban Dolar AS
Sanksi yang diberikan ke Rusia, begitu juga negara-negara lain dalam beberapa dekade ke belakang menjadi indikasinya Amerika Serikat menggunakan dolar AS menjadi senjata. Setidaknya tujuh bank dan institusi Rusia dikeluarkan dari jejaring informasi perbankan internasional yang dikenal sebagai SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication), yakni semacam platform jejaring sosial bagi bank.
Selain akan memutus SWIFT dari Rusia, Amerika Serikat dan Sekutu juga membekukan cadangan devisa bank sentral Rusia yang ditempatkan di luar negeri.
Sebelum perang Rusia-Ukraina dimulai akhir Februari lalu, cadangan devisa Rusia mencapai US$ 643 miliar, sekitar setengahnya ditempatkan di luar negeri dan dibekukan oleh AS dan sekutu.
Dampaknya, di awal Maret lalu nilai tukar rubel jeblok hingga lebih dari 100% ke rekor terlemah sepanjang sejarah RUB 150/US$, dan inflasi juga meroket.
Dengan dikeluarkannya Rusia dari SWIFT, dan cadangan devisa yang dibekukan, bank sentral Rusia tentunya kesulitan memenuhi kebutuhan valuta asing khususnya dolar AS di dalam negeri.
Importir akan kesulitan membayar kepada pemasok, begitu juga eksportir kesulitan menjual produknya. Perekonomian suatu negara akan mengalami gonjang ganjing akibat minimnya pasokan dolar AS. Perekonomian Rusia pun diramal mengalami kontraksi di tahun ini.
Sebelum Rusia, ada Iran yang merasakan efek yang sama. Pada 2012, Iran dikeluarkan dari SWIFT sebagai bagian dari sanksi Amerika Serikat yang menyebut Iran menjalankan program nuklir. Dengan dikeluarkannya dari SWIFT, Iran dilaporkan kehilangan pendapatan dari ekspor minyak mentah hingga 50% dan sekitar 30% dari total perdagangan international.
Selain itu, nilai tukar rial Iran juga jeblok ke rekor terlemah sepanjang sejarah, dan inflasi menjadi meroket hingga lebih dari 45%.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Bagaimana Nasib Dolar AS ke Depannya?
Langkah yang diambil Amerika Serikat tersebut membuat beberapa negara mempertimbangkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS. Dominasi dolar AS diperkirakan perlahan mulai tergerus.
Bank investasi asal AS, Goldman Sachs dalam sebuah catatan yang dirilis akhir Maret lalu menyatakan dolar AS akan menghadapi tantangan penurunan dominasinya di finansial global, sama seperti poundsterling di awal 1900an.
Poundsterling Inggris sebelumnya merupakan mata uang yang menjadi cadangan devisa terbesar, sebelum akhirnya disalip dolar AS. Porsi poundsterling saat ini bahkan hanya 5% saja di cadangan devisa global.
Ekonom Goldman Sachs, Cristina Tessari mengatakan salah satu tantangan yang dihadapi adalah nilai perdagangan Amerika Serikat yang relatif kecil ketimbang penggunaan dolar AS secara global. Berdasarkan data dari Statista, nilai ekspor Amerika Serikat pada 2020 sebesar US$ 1,43 triliun atau berkontribusi sebesar 8,1% dari total ekspor global. Sementara impor tercatat sebesar US$ 2,4 triliun yang berkontribusi 13,5% dari total impor global.
Dengan nilai perdagangan itu, dibandingkan dengan penggunaan dolar AS sangat dominan dalam perdagangan, ada ruang bagi negara-negara lain untuk menggunakan mata uang alternatif. Sehingga ketergantungan akan dolar AS menjadi berkurang.
Hal yang sama juga diungkapkan Gina Gopinath, wakil direktur Dana Moneter Internasional (IMF). Ia menyatakan sanksi yang diberikan negara-negara Barat ke Rusia dapat membuat fragmentasi sistem finansial global yang bisa merusak dominasi dolar AS.
 Foto: IMF |
Gopinath juga mengatakan meningkatnya penggunaan mata uang selain dolar AS dalam perdagangan akan membuat bank sentral mendiversifikasi cadangan devisa mereka. Artinya porsi dolar AS akan dikurangi, yang sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Data terbaru dari IMF menunjukkan porsi dolar AS di cadangan devisa global mengalami penurunan menjadi 59% di kuartal IV-2021. Sementara euro masih stabil di kisaran 21%, yen 6% dan poundsterling 5%.
Kenaikan sigifikan ditunjukkan oleh mata uang non-tradisional, selain yang disebutkan di atas. Termasuk di dalamnya ada yuan China, yang porsinya di cadangan devisa global mengalami kenaikan konsisten, saat ini berada di kiasaran 10%.
Itu artinya, bank sentral sudah mulai mengurangi porsi dolar AS di cadangan devisanya, dan beralih ke mata uang alternatif.
TIM RISET CNBC INDONESIA