Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks dolar Amerika Serikat (AS) terus melaju kencang saat pasar keuangan Indonesia libur Hari Raya Idul Fitri lebih dari sepekan. Alhasil, begitu perdagangan kembali dibuka pada Senin (9/5/2022), rupiah langsung terpuruk.
Melansir data Refinitiv, rupiah kemarin mengakhiri perdagangan di Rp 14.555/US$, merosot 0,41% dan berada di level terlemah dalam 10 bulan terakhir.
Sementara itu indeks dolar AS kemarin sempat menyentuh 104,187 yang merupakan level tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini sudah naik dalam 5 pekan beruntun.
Bank sentral AS (The Fed) yang agresif menaikkan suku bunga membuat dolar AS terus menanjak. Pada Kamis (5/5/2022) dini hari waktu Indonesia, The Fed memutuskan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 50 basis poin menjadi 0,75-1%. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar dalam 22 tahun terakhir.
Tidak hanya itu, ketua The Fed Jerome Powell mengindikasikan akan kembali menaikkan suku bunga 50 basis poin dalam pertemuan mendatang.
"Kenaikan 50 akan didiskusikan dalam beberapa pertemuan mendatang. (Kenaikan) 75 basis poin bukan sesuatu yang dipertimbangkan anggota komite kebijakan moneter," kata Powell saat konferensi pers.
 Foto: CME Group |
Pasca pengumuman tersebut, pelaku pasar mayoritas melihat suku bunga di AS akhir tahun ini akan berada di rentang 2,75-3%, berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group. Artinya, suku bunga kemungkinan akan dinaikkan 200 basis poin lagi.
The Fed masih akan melakukan rapat kebijakan moneter 5 kali lagi. Jika ekspektasi pasar tersebut terealisasi maka The Fed kemungkinan menaikkan suku bunga masing-masing 50 basis poin dalam tiga pertemuan dan sisanya 25 basis poin.
Itu artinya The Fed akan sangat agresif dalam menormalisasi kebijakan moneter. Jika benar suku bunga mencapai 2,75-3% di akhir tahun ini, itu akan menjadi yang tertinggi sejak Maret 2008, lebih tinggi dari Maret 2019 di 2,25-2,5% yang pada akhirnya membuat perekonomian Negeri Adidaya melambat.
Inflasi yang tinggi, di level tertinggi dalam 40 tahun terakhir, membuat The Fed menjadi sangat agresif dalam menaikkan suku bunga. Tetapi, agresivitas tersebut membuat banyak analis, ekonom hingga pelaku pasar memprediksi Amerika Serikat akan kembali mengalami resesi.
Apalagi, The Fed juga sudah menyatakan akan mengurangi nilai neraca (balance sheet) yang saat ini senilai US$ 9 triliun. Nilai neraca tersebut akan dikurangi secara bertahap.
Pada Juni, Juli, dan Agustus, dikurangi masing-masing US$ 47,5 miliar per bulan. Mulai September, nilai pengurangannya menjadi US$ 90 miliar per bulan.
Pengurangan tersebut membuat likuiditas di perekonomian akan terserap, artinya dukungan moneter untuk memutar roda bisnis semakin berkurang. Di sisi lain, dolar AS akan semakin kuat sehingga semakin membebani perekonomian.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Konsisten Dovish, Rupiah Bakal Merosot ke Rp 15.000/US$?
Berbeda dengan banyak bank sentral di berbagai negara, Bank Indonesia (BI) justru masih mempertahankan sikap dovish-nya. Pada pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi April 2022, Gubernur Perry Warjiyo menyatakan masih bersabar untuk menaikkan suku bunga. Ia sekali lagi menegaskan kebijakan moneter tidak merespon administered prices atau harga yang ditentukan pemerintah.
"Esensinya, sabar. Menunggu koordinasi lebih lanjut, pada waktunya kami akan menjelaskan. Komitmen kami menjaga stabilitas, mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Perry dalam jumpa pers usai RDG, Selasa (19/4/2022).
Menariknya, rupiah meski mengalami tekanan hebat sejak akhir April lalu tetapi sepanjang tahun ini pelemahannya tidak terlalu besar. Sepanjang tahun ini, rupiah tercatat melemah sekitar 2% saja, padahal indeks dolar AS melesat tinggi.
Namun, dengan The Fed yang bisa menaikkan suku bunga menjadi 2,75-3% di akhir tahun ini, selisih (spread) dengan BI tentunya sangat sempit jika suku bunga 3,5% terus dipertahankan hingga akhir tahun.
Jika itu terjadi, rupiah tentunya terancam merosot. Capital inflow bisa masif terjadi di pasar obligasi sebab yield obligasi pemerintah AS terus menanjak hingga ke atas 3%.
Terbukti, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun Senin kemarin naik 15,8 basis poin ke 7,156%. Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga, ketika yield naik artinya harga turun. Saat harga turun artinya terjadi aksi jual yang kemungkinan ada capital outflow.
Jika terus terjadi, maka rupiah tentunya akan tertekan. Salah satu faktor yang membuat rupiah cukup stabil di tahun ini adalah capital inflow yang masif di pasar saham, itu pun kini terancam menyusut.
Kemarin, investor asing melakukan aksi jual bersih nyaris Rp 2,6 triliun di pasar reguler, nego dan tunai, meski sepanjang tahun ini masih tercatat net buy sebesar Rp 69,5 triliun. Namun, patut diingat aliran modal ke pasar saham dan obligasi gampang datang dan pergi, sehingga risiko rupiah terpuruk sangatlah besar.
Apalagi, posisi spekulatif rupiah justru berbalik dari beli menjadi jual. Hal tersebut terlihat dari survei dua mingguan yang dilakukan Reuters.
Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar. Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.
Survei terbaru yang dirilis hari ini Kamis (5/5/2022) menunjukkan angka untuk rupiah 0,56 berbalik dari dua pekan lalu -0,03. Hasil survei tersebut biasanya juga konsisten dengan pergerakan rupiah. Ketika posisi long meningkat, maka rupiah cenderung melemah. Meski demikian, dibandingkan mata uang Asia lainnya, angka long rupiah menjadi yang paling kecil.
Analisis Teknikal
 Grafik : Rupiah (USD/IDR) Harian Foto: Refinitiv |
Setelah berkonsolidasi sejak awal tahun ini di kisaran Rp 14.240/US$ sampai Rp 14.400/US$, rupiah akhirnya melewati batas atas tersebut di awal tahun ini. Selama tertahan di atas Rp 14.400/US$, risiko rupiah mengalami tekanan cukup besar.
Resisten kuat selanjutnya berada di kisaran Rp 14.730/US$ yang merupakan Fibonacci Retracement 61,8%. Fibonacci Retracement tersebut ditarik dari level terendah 24 Januari 2020 di Rp 13.565/US$ dan tertinggi 23 Maret 2020 di Rp 16.620/US$.
Jika resisten tersebut ditembus dan rupiah tertahan di atasnya maka risiko ke Rp 15.000/US$ akan semakin besar.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Inflasi Terus Menanjak, BI Bakal Lebih Hawkish?
Inflasi di Indonesia terus menanjak. Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin mengumumkan data inflasi Indonesia periode April 2022 tumbuh 0,95% dibandingkan sebulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Ini menjadi rekor tertinggi sejak 2017.
Sementara dibandingkan April 2021 (year-on-year/yoy), terjadi inflasi 3,47%. Ini adalah yang tertinggi sejak 2019. Inflasi inti dilaporkan tumbuh 2,6% (yoy), tertinggi sejak Mei 2020 tetapi sedikit lebih rendah dari hasil polling Reuters 2,61% (yoy).
BI sendiri menargetkan inflasi berada di kisaran 3% plus minus 1% dan berulang kali menegaskan kebijakan moneter yang akan diambil berdasarkan kenaikan inflasi inti, tetapi tidak merespon first round impact. Artinya, jika inflasi inti terus menunjukkan kenaikan secara konsisten ada kemungkinan BI akan sedikit lebih hawkish.
Jika BI pada akhirnya merubah sikapnya menjadi lebih hawkish, misalnya dengan memberikan sinyal suku bunga akan dinaikkan di semester II-2022, maka rupiah berpeluang bangkit. Hingga April lalu, inflasi inti sudah naik dalam 7 bulan beruntun, sehingga tidak menutup kemungkinan sikap BI akan berubah. Apalagi jika melihat beberapa bank sentral dunia yang sikapnya berubah hanya dalam tempo satu dua bulan saja.
Bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) menjadi yang teranyar menunjukkan bagaimana cepatnya perubahan sikap dari dovish menjadi hawkish. Pada awal bulan ini, RBA menegaskan tidak akan menaikkan suku bunga hingga 2023, tetapi nyatanya pada pekan lalu suku bunga dinaikkan 25 basis poin dari rekor terendah 0,1% menjadi 0,35%.
Kenaikan tersebut menjadi yang pertama sejak November 2010 dan lebih tinggi dari prediksi analis. Hasil survei dari Reuters yang dilakukan pada 27-29 April terhadap 32 ekonom menunjukkan mayoritas memperkirakan RBA akan menaikkan suku bunga sebesar 15 basis poin saja.
Selain itu, survei tersebut menunjukkan RBA akan diperkirakan agresif dalam menaikkan suku bunga. Sebanyak 23 dari 32 ekonom memperkirakan di bulan Juni, suku bunga diperkirakan akan kembali dinaikkan menjadi 0,5%, empat ekonom bahkan memprediksi suku bunga menjadi 0,75%.
Sikap RBA tersebut mirip dengan bank sentral Amerika Serikat (The Fed) sebelumnya. Di mana menunjukkan sikap sabar, tetapi berubah dalam waktu singkat, bahkan kini agresif dalam menaikkan suku bunga.
So, tidak menutup kemungkinan BI akan merubah sikapnya pada RDG bulan ini atau bulan depan, yang bisa memberikan suntikan tenaga bagi rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA