Ada Bencana Gentayangan di RI! Lebih Seram dari Covid-19?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
10 May 2022 08:10
Perry Warjiyo Proyeksi The Fed Naikkan Suku Bunga 7 Kali, BI Kapan? (CNBC Indonesia TV)
Foto: Perry Warjiyo Proyeksi The Fed Naikkan Suku Bunga 7 Kali, BI Kapan? (CNBC Indonesia TV)

Berbeda dengan banyak bank sentral di berbagai negara, Bank Indonesia (BI) justru masih mempertahankan sikap dovish-nya. Pada pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi April 2022, Gubernur Perry Warjiyo menyatakan masih bersabar untuk menaikkan suku bunga. Ia sekali lagi menegaskan kebijakan moneter tidak merespon administered prices atau harga yang ditentukan pemerintah.

"Esensinya, sabar. Menunggu koordinasi lebih lanjut, pada waktunya kami akan menjelaskan. Komitmen kami menjaga stabilitas, mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Perry dalam jumpa pers usai RDG, Selasa (19/4/2022).

Menariknya, rupiah meski mengalami tekanan hebat sejak akhir April lalu tetapi sepanjang tahun ini pelemahannya tidak terlalu besar. Sepanjang tahun ini, rupiah tercatat melemah sekitar 2% saja, padahal indeks dolar AS melesat tinggi.

Namun, dengan The Fed yang bisa menaikkan suku bunga menjadi 2,75-3% di akhir tahun ini, selisih (spread) dengan BI tentunya sangat sempit jika suku bunga 3,5% terus dipertahankan hingga akhir tahun.

Jika itu terjadi, rupiah tentunya terancam merosot. Capital inflow bisa masif terjadi di pasar obligasi sebab yield obligasi pemerintah AS terus menanjak hingga ke atas 3%.

Terbukti, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun Senin kemarin naik 15,8 basis poin ke 7,156%. Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harga, ketika yield naik artinya harga turun. Saat harga turun artinya terjadi aksi jual yang kemungkinan ada capital outflow.

Jika terus terjadi, maka rupiah tentunya akan tertekan. Salah satu faktor yang membuat rupiah cukup stabil di tahun ini adalah capital inflow yang masif di pasar saham, itu pun kini terancam menyusut.

Kemarin, investor asing melakukan aksi jual bersih nyaris Rp 2,6 triliun di pasar reguler, nego dan tunai, meski sepanjang tahun ini masih tercatat net buy sebesar Rp 69,5 triliun. Namun, patut diingat aliran modal ke pasar saham dan obligasi gampang datang dan pergi, sehingga risiko rupiah terpuruk sangatlah besar.

Apalagi, posisi spekulatif rupiah justru berbalik dari beli menjadi jual. Hal tersebut terlihat dari survei dua mingguan yang dilakukan Reuters.

Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar. Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.

Survei terbaru yang dirilis hari ini Kamis (5/5/2022) menunjukkan angka untuk rupiah 0,56 berbalik dari dua pekan lalu -0,03. Hasil survei tersebut biasanya juga konsisten dengan pergerakan rupiah. Ketika posisi long meningkat, maka rupiah cenderung melemah. Meski demikian, dibandingkan mata uang Asia lainnya, angka long rupiah menjadi yang paling kecil.

Analisis Teknikal

idrGrafik : Rupiah (USD/IDR) Harian
Foto: Refinitiv

Setelah berkonsolidasi sejak awal tahun ini di kisaran Rp 14.240/US$ sampai Rp 14.400/US$, rupiah akhirnya melewati batas atas tersebut di awal tahun ini. Selama tertahan di atas Rp 14.400/US$, risiko rupiah mengalami tekanan cukup besar.

Resisten kuat selanjutnya berada di kisaran Rp 14.730/US$ yang merupakan Fibonacci Retracement 61,8%. Fibonacci Retracement tersebut ditarik dari level terendah 24 Januari 2020 di Rp 13.565/US$ dan tertinggi 23 Maret 2020 di Rp 16.620/US$.

Jika resisten tersebut ditembus dan rupiah tertahan di atasnya maka risiko ke Rp 15.000/US$ akan semakin besar.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Inflasi Terus Menanjak, BI Bakal Lebih Hawkish?

(pap/pap)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular