Minyak si Biang Kerok! Bikin Pertamax Naik, Bisa Bikin Resesi

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
13 April 2022 10:49
Suasana pengisian BBM di SPBU Bojongsari,
Foto: Suasana pengisian BBM di SPBU Bojongsari, Jawa Barat, Jumat (14/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia meroket di tahun ini, bahkan sempat mencapai level tertinggi dalam lebih dari 13 tahun terakhir. Sejatinya kenaikan harga minyak mentah bisa menjadi kabar baik jika pemicunya dari sisi demand. Hal tersebut bisa menjadi indikasi perekonomian global yang berputar lebih kencang.

Namun, jika harga minyak mentah terlalu tinggi, maka dampak buruk yang bisa didapat, seperti yang terjadi saat ini. Di Indonesia kenaikan minyak mentah membuat pemerintah mengerek naik harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax (RON 92) cukup signifikan. Sementara untuk skala global, yang nantinya bisa berdampak juga ke Indonesia, kenaikan harga minyak mentah bisa memicu resesi yang pada akhirnya akan menyeret perekomian Indonesia juga.

Pada 7 Maret lalu, harga minyak mentah jenis Brent US$ 139,13/barel sementara jenis West Texas Intermediate (WTI) di US$ 130,5/barel melansir data Refinitiv. Keduanya berada di level tertinggi sejak Juli 2008.

Dibandingkan posisi akhir 2021, Brent dan WTI tercatat melesat 78% dan 72%.

Harga minyak mentah setelahnya terkoreksi, dan saat ini masih berada di kisaran US$ 100/barel. Seperti disebutkan sebelumnya, kenaikan harga minyak mentah bisa menjadi kabar baik jika dipicu peningkatan demand. Hal tersebut terjadi sejak tahun lalu setelah perekonomian global perlahan bangkit dari kemerosotan akibat pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).

Sayangnya, saat demand meningkat, supply masih belum mampu mengimbangi, harga minyak mentah pun menanjak pelan-pelan hingga akhirnya terakselerasi akibat perang Rusia dan Ukraina.

Rusia merupakan salah satu pemain penting di pasar minyak mentah. Negeri Beruang Merah merupakan salah satu produsen dan eksportir terbesar. Perang yang terjadi menghambat distribusi sehingga supply mengalami gangguan, belum lagi sanksi yang diberikan Negara Barat.

Meroketnya harga di bulan Maret serta risiko gangguan supply dari Rusia membuat para analis ramai-ramai menaikkan proyeksi harga minyak mentah. Bahkan, skenario terburuk dikatakan bisa menembus US$ 200/barel.

Bank investasi papan atas, Goldman Sachs, menaikkan rata-rata harga minyak Brent di tahun ini menjadi US$ 135/barel dari sebelumnya US$ 98/barel. Sebagaimana dilansir Reuters, analis dari Goldman Sachs mengatakan dunia terancam mengalami "gangguan supply energi terbesar" akibat perang Rusia-Ukraina.

Barclays bahkan melihat harga minyak mentah bisa menembus US$ 200/barel akibat perang. Meski demikian, proyeksi tahun ini tidak diubah, sebab Barlcays menyebut situasi Rusia vs Ukraina masih cair.

Kemudian Energy Information Administration (EIA) Amerika Serikat (AS) memproyeksikan rata-rata harga minyak mentah WTI di kuartal II-2022 sebesar US$ 112/barel dan Brent di US$ 116/barel.

Sementara perusahaan riset energi berbasis di Oslo (Norwegia), Rystad Energy memperkirakan harga minyak mentah bisa menembus US$ 240/barel. Jika benar minyak mentah mencapai level tersebut, maka banyak analis memprediksi perekonomian global akan mengalami resesi.

"Jika Negara Barat mengikuti jejak Amerika Serikat dengan mengembargo minyak mentah Rusia, itu akan menghilangkan 4,3 juta barel per hari di pasar minyak mentah, dan itu tidak akan bisa ditutup dengan cepat dari produsen lainnya," kata Bjornar Tonhaugen, kepala pasar minyak mentah di Rystad Energy, sebagaimana dilansir Fortune Kamis (10/3/2022).

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Dampak Kenaikan Minyak Mentah Bagi RI: Nyusahin Semua Orang!

Kenaikan harga minyak mentah membuat pemerintah menaikkan harga BBM jenis Pertamax menjadi Rp 12.500-Rp 13.000 per liter dari yang sebelumnya Rp 9.000-Rp 9.400 per liter. Kenaikan tersebut mulai berlaku pada 1 April 2022.

Tidak hanya itu, wacana kenaikan BBM jenis Pertalite (RON 90) juga ikut mengemuka, begitu juga dengan harga gas LPG 3 kilogram. Kemungkinan tersebut disinyalkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.

"Jadi overall ya akan terjadi nanti (kenaikan), karena itu Pertamax, Pertalite. Premium belum. Mengenai gas (Elpiji) yang 3 kg itu kita bertahap. Jadi 1 April, nanti Juli, nanti bulan September, itu semua bertahap dilakukan oleh pemerintah," tuturnya usai uji coba pengoperasian Light Rail Transit (LRT) di Stasiun Harjamukti, Cibubur, Jakarta Timur, Jumat (1/4/2022).

Harga bensin Pertalite per 1 April 2022 ini justru dipatok merata sebesar Rp 7.650 per liter di seluruh wilayah Indonesia. Berbeda dari sebelumnya, di mana harga bensin Pertalite masih beragam di kisaran Rp 7.650 - Rp 8.000 per liter, tergantung provinsinya.

Ditetapkan merata sebesar Rp 7.650 per liter ini tak terlepas dari ditetapkannya bensin Pertalite sebagai produk Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan (JBKP), sehingga pemerintah memberikan kompensasi kepada PT Pertamina (Persero) atas selisih antara harga jual dan harga keekonomiannya.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menilai, menguatnya harga minyak dunia membuat harga keekonomian Pertalite di atas Rp 10.000/ liter.
Hal ini juga terlihat dari harga jual bensin dengan nilai oktan (RON) 90 yang dijual oleh badan usaha penyalur BBM swasta yang pada umumnya mengikuti harga pasar, harga bensin RON 90 di April 2022 ini kini berada di kisaran Rp 12.500 per liter.

BP-AKR misalnya, membanderol harga BP 90 (RON 90) atau setara Pertalite yang dijual Pertamina kini sebesar Rp 12.500 per liter. Sementara VIVO membanderol harga bensin Revvo 89 (RON 89), satu tingkat di bawah Pertalite, sebesar Rp 12.400 per liter, naik dari sebelumnya sebesar Rp 8.900 per liter pada Maret 2022.

Ini artinya, terdapat selisih sekitar Rp 4.850 per liter antara harga pasar bensin RON 90 dengan harga jual Pertalite yang dipatok Rp 7.650 per liter saat ini.

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan kenaikan Pertalite hingga 10% bisa menyumbang inflasi sebesar 0,32 poin persentase (ppt). Sementara itu, kenaikan harga Elpiji 3 kg hingga 10% bisa mendongkrak inflasi sebesar 0,35 ppt. Kenaikan Pertamax diperkirakan menyumbang inflasi sebesar 0,2 ppt.

Besarnya sumbangan inflasi tidak bisa dilepaskan dari tingginya jumlah pengguna Pertalite dan Elpiji 3 kg di Indonesia. Pertalite adalah BBM yang banyak digunakan masyarakat Indonesia. Penjualan Pertalite pada 2020 mencapai 18,13 juta kilo liter (kl) sementara Pertamax sebanyak 8,64 juta Kl

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Law and Economic Studies (Celios) Bhima Yudhistira memproyeksi inflasi pada tahun ini berpotensi meningkat hingga mencapai level 5%, terutama jika pemerintah tetap ngotot untuk menaikkan harga LPG 3 kg dan BBM jenis Pertalite.

"Mau tidak mau masyarakat akan tetap pakai Pertalite dan LPG subsidi karena kebutuhan utama. Akhirnya, berimbas ke mana-mana," ujar Bhima kepada CNBC Indonesia, Kamis (7/4/2022).

Kenaikan inflasi tentunya berdampak buruk pada daya beli masyarakat di saat baru mulai pulih pasca dihantam pandemi Covid-19. Ketika daya beli masyarakat menurun maka pertumbuhan ekonomi bisa kembali terpukul.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Resesi Mengintai Negara Barat

Masalah tingginya inflasi sudah dirasakan lebih dulu oleh negara-negara Barat. Di Amerika Serikat misalnya inflasi sudah berada di level tertinggi dalam lebih dari empat dekade terakhir. Kenaikan harga energi yang dipicu minyak mentah, gas alam hingga batu bara membuat inflasi tersebut semakin parah.

Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di bulan Maret melesat 8,5% year-on-year (yoy) tertinggi sejak Desember 1981. Sementara yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dilaporkan tumbuh 6,5% (yoy).

Sementara itu inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang menjadi acuan The Fed tumbuh 6,4% (yoy) di bulan Januari, dan inflasi inti PCE sebesar 5,4% (yoy). Inflasi PCE tersebut menjadi yang tertinggi dalam nyaris 40 tahun terakhir.

Tingginya inflasi membuat The Fed agresif menaikkan suku bunga, di bulan depan bahkan diperkirakan sebesar 50 basis poin menjadi 0,75% - 1%. The Fed juga berencana menaikkan suku bunga 6 kali lagi di tahun ini, setelah menaikkan pertama kali bulan lalu.

Dengan suku bunga yang tinggi, ekspansi dunia usaha tentunya akan melambat, jika inflasi tidak segera menurun maka perekonomian Amerika Serikat berisiko terpukul.

Hal ini yang membuat premi risiko dalam jangka pendek meningkat, yang membuat yield obligasi pemerintah AS mengalami inversi. Yield tenor pendek lebih tinggi dari tenor jangka panjang.

Dalam situasi normal, yield obligasi jangka pendek akan lebih rendah dari jangka panjang. Tetapi jika investor melihat dalam jangka pendek perekonomian akan memburuk bahkan mengalami resesi, maka premi risiko yang diminta akan lebih tinggi. Hal tersebut membuat yield obligasi jangka pendek menanjak hingga lebih tinggi dari tenor jangka panjang, yang disebut sebagai inversi.

Kabar buruknya, hampir setiap terjadi inversi, maka Amerika Serikat akan mengalami resesi.

Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield hanya sekali tidak memicu resesi (false signal).

Kali terakhir The Fed menaikkan suku bunga dengan agresif, hingga empat kali terjadi di 2018, inversi kemudian muncul di 2019 dan perekonomian AS mengalami resesi di 2020, meski salah satu faktor utama yakni pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).

Para ekonom yang disurvei Reuters pada periode 4 - 8 April kini memprediksi perekonomian Amerika Serikat akan mengalami resesi di tahun depan, dengan probabilitas sebesar 40%.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Awas Indonesia Bisa Terseret

Amerika Serikat merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, ketika mengalami pelambatan atau bahkan sampai resesi maka negara-negara lain akan ikut terseret. Posisi Amerika Serikat juga cukup penting bagi Indonesia, sebab merupakan mitra dagang terbesar kedua setelah China.

Sepanjang 2021, nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat sebesar US$ 25,8 miliar, yang berkontribusi 11,75% terhadap total ekspor. Ketika resesi terjadi, permintaan dari negara adidaya tersebut tentunya akan menurun.

Tahun 2020 saat AS mengalami resesi, Indonesia juga ikut menyusul. Tetapi faktor utamanya kala itu yakni pandemi Covid-19. Tidak hanya AS dan Indonesia, banyak negara juga mengalami hal yang sama.

Jika melihat ke belakang, resesi yang dialami AS pada periode 2007 hingga 2009 serta krisis finansial global memang tidak membuat Indonesia mengalami resesi, tetapi cukup membuat produk domestik bruto (PDB) mengalami pelambatan.

Pada kuartal I-2009, PDB Indonesia terjun ke bawah 5% (yoy), dan baru bisa kembali lagi ke atasnya di kuartal IV-2009.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular