Minyak si Biang Kerok! Bikin Pertamax Naik, Bisa Bikin Resesi

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
13 April 2022 10:49
National Mall Amerika Serikat
Foto: Reuters

Masalah tingginya inflasi sudah dirasakan lebih dulu oleh negara-negara Barat. Di Amerika Serikat misalnya inflasi sudah berada di level tertinggi dalam lebih dari empat dekade terakhir. Kenaikan harga energi yang dipicu minyak mentah, gas alam hingga batu bara membuat inflasi tersebut semakin parah.

Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di bulan Maret melesat 8,5% year-on-year (yoy) tertinggi sejak Desember 1981. Sementara yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dilaporkan tumbuh 6,5% (yoy).

Sementara itu inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) yang menjadi acuan The Fed tumbuh 6,4% (yoy) di bulan Januari, dan inflasi inti PCE sebesar 5,4% (yoy). Inflasi PCE tersebut menjadi yang tertinggi dalam nyaris 40 tahun terakhir.

Tingginya inflasi membuat The Fed agresif menaikkan suku bunga, di bulan depan bahkan diperkirakan sebesar 50 basis poin menjadi 0,75% - 1%. The Fed juga berencana menaikkan suku bunga 6 kali lagi di tahun ini, setelah menaikkan pertama kali bulan lalu.

Dengan suku bunga yang tinggi, ekspansi dunia usaha tentunya akan melambat, jika inflasi tidak segera menurun maka perekonomian Amerika Serikat berisiko terpukul.

Hal ini yang membuat premi risiko dalam jangka pendek meningkat, yang membuat yield obligasi pemerintah AS mengalami inversi. Yield tenor pendek lebih tinggi dari tenor jangka panjang.

Dalam situasi normal, yield obligasi jangka pendek akan lebih rendah dari jangka panjang. Tetapi jika investor melihat dalam jangka pendek perekonomian akan memburuk bahkan mengalami resesi, maka premi risiko yang diminta akan lebih tinggi. Hal tersebut membuat yield obligasi jangka pendek menanjak hingga lebih tinggi dari tenor jangka panjang, yang disebut sebagai inversi.

Kabar buruknya, hampir setiap terjadi inversi, maka Amerika Serikat akan mengalami resesi.

Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield hanya sekali tidak memicu resesi (false signal).

Kali terakhir The Fed menaikkan suku bunga dengan agresif, hingga empat kali terjadi di 2018, inversi kemudian muncul di 2019 dan perekonomian AS mengalami resesi di 2020, meski salah satu faktor utama yakni pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).

Para ekonom yang disurvei Reuters pada periode 4 - 8 April kini memprediksi perekonomian Amerika Serikat akan mengalami resesi di tahun depan, dengan probabilitas sebesar 40%.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Awas Indonesia Bisa Terseret

(pap/pap)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular